PERTEMUAN : KE - DELAPAN BELAS
BUKU : MUSTHALAH AL-HADITS
PENGARANG : IBNU 'UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
__________
بِسمِ اللهِ الرَّحمَنِ الرَّحِيمِ
"AL-MUDHTHARIB"
Alhamdulillah
dengan segala nikmat dan karuni-Nya, Ia kembali memudahkan kita untuk bisa
bertatap muka dalam kajian yang insya Allah istimewa dan mubarak ini.
Saudaraku
fillah yang Allah mulyakan, pada pertemuan kita yang ke - delapan belas ini,
insya Allah uraian yang akan kita kupas bersama adalah masail seputar "Al-Mudhtharib"
(kontradiksi/tidak teratur/tidak adanya kesamaan atau goncang).
Berkata
asy-syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah :
المُضطَرِبُ
أ_ تَعرِيفُهُ، ب_ حُكمُهُ
Al-Mudhtharib, Definisi dan Hukumnya.
__________
A). DEFINISI AL-MUDHTHARIB.
أ_ المُضطَرِبُ
مَا اختَلَفَ الرُّوَاةُ فِي سَنَدِهِ، أَوْ مَتنِهِ، وَتَعَذَّرَ الجَمعُ
فِي ذَلِكَ وَالتَّرجِيْحُ
Definisi Al-Mudhtharib yaitu :
Suatu hadits yang para perawinya berselisih
pada sanad atau pada matannya. Yang perselisihan tersebut berudzur (yakni tidak
memungkinkan_pent) untuk dikompromikan atau dirajihkan (dikuatkan salah
satunya_pent).
Di antara faidah dari apa yang
disampaikan oleh asy-syaikh rahimahullah
dalam definisi di atas adalah :
1).
Al-Idhthirab, adakalanya terjadi pada sanad. Dan adakalanya terjadi pada matan.
2).
Al-Idhthirab, tidak bisa di "Jama'" dan tidak bisa di
"Tarjih".
Contoh Al-Mudhtharib.
مِثَالُهُ : مَا رُوِيَ عَن أَبِي بَكرٍ رَضِيَ اللهُ عَنهُ أَنَّهُ قَالَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ : أَرَاكَ شِبْتَ. قَالَ : "شَيَّبَتنِيْ
هُود وَأَخَوَاتُهَا". الحديث
Contohnya adalah :
Apa yang diriwayatkan dari shahabat
yang mulya Abu Bakr radhiallahu 'anhu,
beliau berkata kepada nabi shallallahu 'alaihi
wasallam : aku melihat engkau telah beruban ya rasul Allah!
Maka nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda :
شَيَّبَتنِيْ هُود وَأَخَوَاتُهَا
"Hud dan saudari-saudarinya
telah membuatku beruban". (Al-hadits)
فَقَدِ اخْتَلَفَ فِيهِ عَلَى نَحوِ عَشرَة أَوجُهٍ : فَرُوِيَ مَوصُولاً
وَمُرسَلاً، وَرُوِيَ مِن مُسنَدِ أَبِي بَكرٍ وَعَائِشَةَ وَسَعدٍ، إِلَى غَيرِ ذَلِكَ
مِنَ الِاخْتِلاَفَاتِ الَّتِيْ لاَ يُمكِنُ الجَمعُ بَينَهَا وَلَا التَّرجِيحُ
Para perawi telah berselisih
mengenai hadits ini hingga mencapai sekitar sepuluh sisi perbedaan. Ada yang
diriwayatkan secara Maushul. Ada yang diriwayatkan secara Mursal. Dan ada yang
diriwayatkan melalui musnad Abu Bakr.
Dan ada yang melalui Aisyah. Dan ada
yang melalui Sa'd. Allahu yardha 'anil jami'. Dan berbagai
sisi-sisi perbedaan yang lainya, yang riwayat-riwayat tersebut tidak
memungkinkan untuk dikompromikan. Dan juga tidak memungkinkan untuk dikuatkan
salah satunya.
Kesimpulan.
Maka hadits tersebut masuk dalam kategori
Al-Idhthirab. Wallahu a'lam.
Lalu bagaimana jika pada suatu hadits yang bisa
dikompromikan?
فَإِنْ أَمكَنَ الجَمعُ وَجَبَ، وَانتَفَى الاِضطِرَابُ
Apabila bisa dikompromikan, maka
wajib dikompromikan. Sehingga hilanglah penyematan Al-Idhthirab.
Contoh hadits yang bisa dikompromikan.
مِثَالُهُ : اختِلاَفُ الرِّوَايَاتِ فِيمَا أَحرَمَ بِهِ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الوَدَاعِ، فَفِي بَعضِهَا أَنَّهُ أَحرَمَ
بِالحَجِّ، وَفِي بَعضِهَا أَنَّهُ تَمَتَّعَ، وَفِي بَعضِهَا أَنَّهُ قَرَنَ بَينَ
العُمرَةِ وَالحَجِّ
Contohnya adalah :
Perbedaan riwayat tentang ihramnya nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada haji
wada'. Pada sebagian riwayat menerangkan beliau shallallahu
'alaihi wasallam berihram untuk haji saja (yakni ifrad). Pada
sebagiannya menerangkan untuk haji tamattu'. Dan pada sebagian yang lainnya
lagi beliau berihram untuk haji qiran antara umrah dan haji.
قَالَ شَيخُ الإِسلاَمِ ابنُ تَيمِية رحمه الله : وَلَا تَنَاقُضَ بَينَ
ذَلِكَ، فَإِنَّهُ تَمَتَّعَ تَمَتُّعَ قِرَانٍ، وَأَفرَدَ أَعمَالَ الحَجِّ، وَقَرَنَ
بَينَ النُّسُكَينِ العُمرَةِ وَالحَجِّ، فَكَانَ قَارِناً بِاعتِبَارِ جَمعِهِ
النُّسُكَينِ، وَمُفرَداً بِاعتِبَارِ اقتِصَارِهِ عَلَى أَحَدِ الطَّوَافَينِ وَالسَّعيَينِ،
وَمُتَمَتِّعاً بِاعتِبَارِ تَرَفُّهِهِ بِتَركِ أَحَدِ السَّفَرَينَ
Telah berkata syaikhul islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : tidak
ada tanaqudh (kontradiksi) pada semua riwayat-riwayat tersebut. Sesungguhnya nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertamattu'
dengan tamattu' qiran. Dan berifrad dengan amalan haji. Beliau menggandengkan
antara dua nusuk umrah dan haji. Maka beliau berhaji qiran jika ditinjau dari
sisi penggabungannya terhadap dua nusuk. Dan berifrad apabila ditinjau dari
sisi beliau shallallahu 'alaihi wasallam
meringkas dengan salah satu thawaf dan sa'i. Dan bertamattu' apabila ditinjau
dari sisi bersuka citanya beliau dengan meninggalkan salah satu dari dua safar.
Demikian juga apabila bisa di "Tarjih".
وَإِن أَمكَنَ التَّرجِيحُ عَمِلَ بِالرَّاجِحِ، وَانتَفَى الاِضطِرَابُ
أَيْضاً
Apabila memungkinkan bisa ditarjih
(yakni bisa dikuatkan salah satu pendapat yang ada dari perbedaan
tersebut_pent), maka digunakan metode "Tarjih". Sehingga hilanglah
juga penyematan Al-Idhthirab.
Contoh hadits yang bisa di
"Tarjih".
مِثَالُهُ : اختِلاَفُ الرِّوَايَاتِ فِي حَدِيثِ بَرِيرَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنهَا حِينَ عُتِقَتْ فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
بَينَ أَن تَبقَى مَعَ زَوجِهَا أَو تُفَارِقُهُ؛ هَل كَانَ زَوجُهَا حُرًّا أَو عَبداً
؟
Contohny adalah :
Perbedaan berbagai riwayat tentang
hadits Barirah radhiallahu 'anha
tatkala beliau dimerdekakan. Nabi shallallahu
'alaihi wasallam memberikan pilihan kepada beliau radhiallahu 'anha. Apakah akan memilih tetap
bersama suaminya, atau akan memilih berpisah darinya. Apakah suaminya ikut
merdeka, atau tetap menjadi budak?.
فَرَوَى الأَسوَدُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنهَا أَنَّهُ كَانَ
حُرًّا، وَرَوَى عُروَةُ بنُ الزُّبَيرِ وَالقَاسِمُ بنُ مُحَمَّدٍ بنِ أَبِي بَكرٍ
عَنهَا أَنّهُ كَانَ عَبداً
Al-Aswad rahimahullah
meriwayatkan dari ummul mu'minin 'Aisyah
radhiallahu 'anha, bahwa suaminya adalah merdeka.
Di sisi yang lain, 'Urwah Ibnu Az-Zubair dan Al-Qasim Ibnu Muhammad Ibnu Abi Bakr
meriwayatkan juga dari ummul mu'minin 'Aisyah
radhiallahu 'anha, bahwa suaminya tetap menjadi budak.
وَرُجِّحَتْ رِوَايَتُهُمَا عَلَى رِوَايِةِ الأَسوَدِ، لِقُربِهِمَا
مِنهَا لِأَنَّهَا خَالَةُ عُروَةَ وَعَمَّةُ القَاسِمِ، وَأَمَّا الأَسوَدُ فَأَجنَبِيٌّ
مِنهَا؛ مَعَ أَنَّ فِي رِوَايَتِهِ انقِطَاعاً
Dan yang rajih adalah riwayat 'Urwah dan Al-Qasim ketimbang riwayat Al-Aswad.
Karena 'Urwah dan Al-Qasim
adalah kerabat ummul mu'minin. Beliau
radhiallahu 'anha adalah bibi 'Urwah dari jalur ibu. Dan bibi
Al-Qasim dari jalur bapak. Sementara Al-Aswad adalah ajnabi (tidak ada hubungan
kerabat) dengan ummul mu'minin radhiallahu 'anha.
Dan pada jalur Al-Aswad juga terdapat
cacat inqitha' (terputus).
__________
B). HUKUM HADITS MUDHTHARIB.
ب_ وَالمُضطَرِبُ
ضَعِيفٌ لاَ يُحتَجُّ بِهِ، لِأَنَّ اضْطِرَابَهُ يَدُلُّ عَلَى عَدَمِ
ضَبطِ رُوَاتِهِ
Dan hukum hadits Al-Mudhtharib
adalah :
Dha'if (lemah), tidak
boleh berargumentasi dengannya. Karena
idhthirabnya suatu hadits adalah bukti akan tidak adanya Dhabth (kekokohan hafalan_pent)
pada para perawinya.
إِلاَّ إِذَا كَانَ الاِضطِرَابُ لَا يَرجِعُ إِلَى أَصْلِ الحَدِيثِ،
فَإِنَّهُ لاَ يَضُرُّ
Terkecuali
apabila Idhthirab tersebut tidak kembali kepada asal (poin penting
yang terkandung) dalam hadits. Maka Idhthirab tersebut tidak memadharatkan.
مِثَالُهُ : اختِلاَفُ الرِّوَايَاتِ فِي حَدِيثِ فَضَالَةِ بنِ عُبَيدٍ
رَضِيَ اللهُ عَنهُ أَنَّهُ اشتَرَى قِلاَدَةً يَومَ خَيبَرَ بِاثنَيْ عَشَرَ دِينَاراً
فِيهَا ذَهَبٌ وَخَرزٌ، قَالَ : فَفَصَلتُهَا فَوَجَدتُ فِيهَا أَكثَرَ مِنِ اثنَيْ
عَشَرَ دِينَاراً، فَذَكَرتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
: "لاَ تُبَاعُ حَتَّى تُفصَلَ".الحديث
Contohnya adalah :
Aneka ragamnya periwayatan pada
hadits Fadhalah Ibnu 'Ubaid radhiallhu 'anhu.
Bahwa beliau membeli kalung pada hari Khaibar seharga dua belas dinar (mata
uang emas_pent). Kalung tersebut terdapat padanya emas dan permata. Berkata radhiallahu 'anhu ; maka aku memisahkan antara
dua hal tersebut, dan aku mendapati padanya lebih dari dua belas dinar. Maka
aku sampaikan hal tersebut kepada nabi
shallallahu 'alaihi wasallam. Maka beliau bersabda :
"لاَ تُبَاعُ
حَتَّى تُفصَلَ".الحديث
"Janganlah sesuatu tersebut
dijual hingga terpisah." (Al-hadits)
فَفِيْ بَعضِ الرِّوَايَاتِ أَنَّ فَضَالَةَ اشْتَرَاهَا، وَفِيْ بَعضِهَا
أَنَّ غَيرَهُ سَأَلَهُ عَن شِرَائِهَا، وَفِيْ بَعضِ الرِّوَايَاتِ أَنَّهُ ذَهَبٌ
وَخَرزٌ، وَفِي بَعضِهَا ذَهَبٌ وَجَوهَرٌ، وَفِي بَعضِهَا خَرزٌ مُعَلَّقَةٌ بٍذَهَبٍ،
وَفِي بَعضِهَا بِاثنَيْ عَشَرَ دِينَاراً، وَفِيْ بَعضِهَا بِتِسعَةِ دَنَانِيرَ،
وَفِيْ بَعضِهَا سَبعَةٌ
Pada sebagian riwayat diterangkan
bahwa Fadhalah radhiallahu 'anhu
membelinya. Sedangkan dalam sebagian riwayat yang lain menerangkan bahwa selain
beliau bertanya kepada beliau tentang pembeliannya. Dan dalam sebagian riwayat
yang lain menerangkan kalung tersebut adalah emas dan permata. Dan dalam
sebagian riwayat yang lain adalah emas dan jauhar. Dalam sebagian yang lain
adalah permata yang dihiasi emas. Dalam sebagian yang lain adalah seharga dua
belas dinar. Dalam sebagian yang lain adalah seharga sembilan dinar. Dan dalam
sebagian yang lain adalah seharga tujuh dinar.
قَالَ الحَافِظُ ابنُ حَجَرٍ رَحِمَهُ الله : وَهَذَا لاَ يُوجِبُ ضَعفاً
(يعني الحديث) بَلِ المَقصُودُ مِنَ الاِستِدلَالِ مَحفُوظٌ لاَ اختِلاَفَ فِيهِ؛
وَهُوَ النَّهيُ عَن بَيعِ مَا لَم يُفصَلْ، وَأَمَّا جِنسُهَا أَو مِقدَارُ ثَمَنِهَا
فَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ فِي هَذِهِ الحَالِ ماَ يُوجِبُ الاِضطِرَابَ. إهـ
Berkata al-hafizh
Ibu Hajar rahimahullah : keaneka ragaman bentuk periwayatan dalam
hadits ini tidak mengharuskan suatu kelemahan (yakni pada hadits tersebut).
Bahkan maksud dari sisi argumentasinya terjaga tanpa adanya perbedaan padanya,
yaitu "larangan menjual sesuatu yang belum
terpisah".
Adapun jenis dan kadar harganya pada keadaan ini (yakni yang beraneka
ragam_pent) yang mengharuskan Al-Idhthirab, ia tidak berkaitan dengan poin
penting tersebut. (Selesai)
وَكَذَلِكَ لَا يُوجِبُ الاِضطِرَابَ : مَا يَقَعُ مِنَ الاِختِلاَفِ
فِي اسمِ الرَّاوِيْ أَو كُنيَتِهِ، أَو نَحوِ ذَلِكَ، مَعَ الاِتِّفَاقِ عَلَى عَينِهِ،
كَمَا يُوجَدُ كَثِيراً فِي الأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ
Demikian
juga tidak mengharuskan Al-Idhthirab : apa yang terjadi berupa perbedaan
tentang nama seorang perawi atau kuniahnya. Atau yang semisal itu. Bersamaan
dengan disepakatinya tertuju pada sosok yang jelas. Sebagaimana terdapat dalam
banyak hadits-hadits yang shahih.
Wallahu
a'lam bish-shawab.
LATIHAN
1). Apa gerangan definsi Al-Mudhtharib?
2). Sebutkan contoh hadits yang mudhtharib dan
jelaskan!
3). Lalu bagaimana jika pada suatu hadits yang
bisa dikompromikan? Sebutkan contohnya dan jelaskan!
4). Lalu bagaimana jika pada suatu hadits yang
bisa di "Tarjih"? Sebutkan contohnya dan jelaskan!
5). Apa gerangan hukum hadits mudhtharib? Dan
sebutkan dua pengecualian beserta salah satu contohnya!
JAWABAN
1). Al-Mudhtharib
yaitu :
مَا اختَلَفَ الرُّوَاةُ فِي سَنَدِهِ، أَوْ مَتنِهِ، وَتَعَذَّرَ الجَمعُ
فِي ذَلِكَ وَالتَّرجِيْحُ
Suatu hadits yang para perawinya
berselisih pada sanad atau pada matannya. Yang perselisihan tersebut berudzur
(yakni tidak memungkinkan_pent) untuk dikompromikan atau dirajihkan (dikuatkan
salah satunya_pent).
2). Contohnya
adalah :
مَا رُوِيَ عَن أَبِي بَكرٍ رَضِيَ اللهُ عَنهُ أَنَّهُ قَالَ لِلنَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: أَرَاكَ شِبْتَ. قَالَ: "شَيَّبَتنِيْ هُود
وَأَخَوَاتُهَا". الحديث
Apa yang diriwayatkan dari shahabat
yang mulya Abu Bakr radhiallahu 'anhu,
beliau berkata kepada nabi shallallahu 'alaihi
wasallam : aku melihat engkau telah beruban ya rasul Allah! Maka nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
شَيَّبَتنِيْ هُود وَأَخَوَاتُهَا
"Hud dan saudari-saudarinya
telah membuatku beruban". (Al-hadits)
فَقَدِ اخْتَلَفَ فِيهِ عَلَى نَحوِ عَشرَة أَوجُهٍ : فَرُوِيَ مَوصُولاً
وَمُرسَلاً، وَرُوِيَ مِن مُسنَدِ أَبِي بَكرٍ وَعَائِشَةَ وَسَعدٍ، إِلَى غَيرِ ذَلِكَ
مِنَ الِاخْتِلاَفَاتِ الَّتِيْ لاَ يُمكِنُ الجَمعُ بَينَهَا وَلَا التَّرجِيحُ
Para perawi telah berselisih
mengenai hadits ini hingga mencapai sekitar sepuluh sisi perbedaan. Ada yang
diriwayatkan secara Maushul. Ada yang diriwayatkan secara Mursal. Dan ada yang
diriwayatkan melalui musnad Abu Bakr.
Dan ada yang melalui Aisyah. Dan ada
yang melalui Sa'd. Allahu yardha 'anil jami'. Dan berbagai
sisi-sisi perbedaan yang lainya, yang riwayat-riwayat tersebut tidak
memungkinkan untuk dikompromikan. Dan juga tidak memungkinkan untuk dikuatkan
salah satunya.
Kesimpulan.
Maka hadits tersebut masuk dalam
kategori Al-Idhthirab. Wallahu a'lam.
3). Berkata
asy-syaikh rahimahullah :
فَإِنْ أَمكَنَ الجَمعُ وَجَبَ، وَانتَفَى الاِضطِرَابُ
Apabila bisa dikompromikan, maka
wajib dikompromikan. Sehingga hilanglah penyematan Al-Idhthirab.
Contoh hadits yang
bisa dikompromikan.
مِثَالُهُ : اختِلاَفُ الرِّوَايَاتِ فِيمَا أَحرَمَ بِهِ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الوَدَاعِ، فَفِي بَعضِهَا أَنَّهُ أَحرَمَ
بِالحَجِّ، وَفِي بَعضِهَا أَنَّهُ تَمَتَّعَ، وَفِي بَعضِهَا أَنَّهُ قَرَنَ بَينَ
العُمرَةِ وَالحَجِّ
Contohnya adalah :
Perbedaan riwayat tentang ihramnya nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada haji
wada'. Pada sebagian riwayat menerangkan beliau
shallallahu 'alaihi wasallam berihram untuk haji saja (yakni ifrad).
Pada sebagiannya menerangkan untuk haji tamattu'. Dan pada sebagian yang
lainnya lagi beliau berihram untuk haji qiran antara umrah dan haji.
قَالَ شَيخُ الإِسلاَمِ ابنُ تَيمِية رحمه الله : وَلَا تَنَاقُضَ بَينَ
ذَلِكَ، فَإِنَّهُ تَمَتَّعَ تَمَتُّعَ قِرَانٍ، وَأَفرَدَ أَعمَالَ الحَجِّ، وَقَرَنَ
بَينَ النُّسُكَينِ العُمرَةِ وَالحَجِّ، فَكَانَ قَارِناً بِاعتِبَارِ جَمعِهِ
النُّسُكَينِ، وَمُفرَداً بِاعتِبَارِ اقتِصَارِهِ عَلَى أَحَدِ الطَّوَافَينِ وَالسَّعيَينِ،
وَمُتَمَتِّعاً بِاعتِبَارِ تَرَفُّهِهِ بِتَركِ أَحَدِ السَّفَرَينَ
Telah berkata syaikhul islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : tidak
ada tanaqudh (kontradiksi) pada semua riwayat-riwayat tersebut. Sesungguhnya nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertamattu'
dengan tamattu' qiran. Dan berifrad dengan amalan haji. Beliau menggandengkan
antara dua nusuk umrah dan haji. Maka beliau berhaji qiran jika ditinjau dari
sisi penggabungannya terhadap dua nusuk. Dan berifrad apabila ditinjau dari
sisi beliau shallallahu 'alaihi wasallam meringkas dengan salah satu thawaf dan sa'i. Dan
bertamattu' apabila ditinjau dari sisi bersuka citanya beliau dengan
meninggalkan salah satu dari dua safar.
4). Berkata
asy-syaikh rahimahullah :
وَإِن أَمكَنَ التَّرجِيحُ عَمِلَ بِالرَّاجِحِ، وَانتَفَى الاِضطِرَابُ
أَيْضاً
Apabila memungkinkan bisa ditarjih
(yakni bisa dikuatkan salah satu pendapat yang ada dari perbedaan
tersebut_pent), maka digunakan metode "Tarjih". Sehingga hilanglah
juga penyematan Al-Idhthirab.
Contoh
hadits yang bisa di "Tarjih".
مِثَالُهُ : اختِلاَفُ الرِّوَايَاتِ فِي حَدِيثِ بَرِيرَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنهَا حِينَ عُتِقَتْ فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
بَينَ أَن تَبقَى مَعَ زَوجِهَا أَو تُفَارِقُهُ؛ هَل كَانَ زَوجُهَا حُرًّا أَو عَبداً
؟
Contohny adalah :
Perbedaan berbagai riwayat tentang
hadits Barirah radhiallahu 'anha
tatkala beliau dimerdekakan. Nabi shallallahu
'alaihi wasallam memberikan pilihan kepada beliau radhiallahu 'anha. Apakah akan memilih
tetap bersama suaminya, atau akan memilih berpisah darinya. Apakah suaminya
ikut merdeka, atau tetap menjadi budak?.
فَرَوَى الأَسوَدُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنهَا أَنَّهُ كَانَ
حُرًّا، وَرَوَى عُروَةُ بنُ الزُّبَيرِ وَالقَاسِمُ بنُ مُحَمَّدٍ بنِ أَبِي بَكرٍ
عَنهَا أَنّهُ كَانَ عَبداً
Al-Aswad rahimahullah
meriwayatkan dari ummul mu'minin 'Aisyah
radhiallahu 'anha, bahwa suaminya adalah merdeka.
Di sisi yang lain, 'Urwah Ibnu Az-Zubair dan Al-Qasim Ibnu Muhammad Ibnu Abi Bakr
meriwayatkan juga dari ummul mu'minin 'Aisyah radhiallahu
'anha, bahwa suaminya tetap menjadi budak.
وَرُجِّحَتْ رِوَايَتُهُمَا عَلَى رِوَايِةِ الأَسوَدِ، لِقُربِهِمَا
مِنهَا لِأَنَّهَا خَالَةُ عُروَةَ وَعَمَّةُ القَاسِمِ، وَأَمَّا الأَسوَدُ فَأَجنَبِيٌّ
مِنهَا؛ مَعَ أَنَّ فِي رِوَايَتِهِ انقِطَاعاً
Dan yang rajih adalah riwayat 'Urwah dan Al-Qasim ketimbang riwayat Al-Aswad.
Karena 'Urwah dan Al-Qasim adalah kerabat ummul mu'minin. Beliau radhiallahu 'anha adalah bibi 'Urwah dari jalur ibu. Dan bibi Al-Qasim dari jalur bapak. Sementara Al-Aswad adalah ajnabi (tidak ada hubungan
kerabat) dengan ummul mu'minin radhiallahu 'anha.
Dan pada jalur Al-Aswad juga terdapat
cacat inqitha' (terputus).
5). Dan
hukum hadits Al-Mudhtharib adalah :
ضَعِيفٌ لاَ يُحتَجُّ بِهِ، لِأَنَّ اضْطِرَابَهُ يَدُلُّ عَلَى عَدَمِ
ضَبطِ رُوَاتِهِ
Dha'if (lemah), tidak
boleh berargumentasi dengannya. Karena
idhthirabnya suatu hadits adalah bukti akan tidak adanya Dhabth (kekokohan
hafalan) pada para perawinya.
إِلاَّ إِذَا كَانَ الاِضطِرَابُ لَا يَرجِعُ إِلَى أَصْلِ الحَدِيثِ،
فَإِنَّهُ لاَ يَضُرُّ
Terkecuali
apabila Idhthirab tersebut tidak kembali kepada asal (poin penting yang
terkandung) dalam hadits. Maka Idhthirab tersebut tidak memadharatkan.
مِثَالُهُ : اختِلاَفُ الرِّوَايَاتِ فِي حَدِيثِ فَضَالَةِ بنِ عُبَيدٍ
رَضِيَ اللهُ عَنهُ أَنَّهُ اشتَرَى قِلاَدَةً يَومَ خَيبَرَ بِاثنَيْ عَشَرَ دِينَاراً
فِيهَا ذَهَبٌ وَخَرزٌ، قَالَ : فَفَصَلتُهَا فَوَجَدتُ فِيهَا أَكثَرَ مِنِ اثنَيْ
عَشَرَ دِينَاراً، فَذَكَرتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
: "لاَ تُبَاعُ حَتَّى تُفصَلَ".الحديث
Contohnya adalah :
Aneka ragamnya periwayatan pada
hadits Fadhalah Ibnu 'Ubaid radhiallhu 'anhu.
Bahwa beliau membeli kalung pada hari Khaibar seharga dua belas dinar (mata
uang emas_pent). Kalung tersebut terdapat padanya emas dan permata. Berkata
radhiallahu 'anhu ; maka aku memisahkan antara dua hal tersebut, dan aku
mendapati padanya lebih dari dua belas dinar. Maka aku sampaikan hal tersebut
kepada nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Maka beliau bersabda :
"لاَ تُبَاعُ
حَتَّى تُفصَلَ".الحديث
"Janganlah sesuatu tersebut
dijual hingga terpisah." (Al-hadits)
فَفِيْ بَعضِ الرِّوَايَاتِ أَنَّ فَضَالَةَ اشْتَرَاهَا، وَفِيْ بَعضِهَا
أَنَّ غَيرَهُ سَأَلَهُ عَن شِرَائِهَا، وَفِيْ بَعضِ الرِّوَايَاتِ أَنَّهُ ذَهَبٌ
وَخَرزٌ، وَفِي بَعضِهَا ذَهَبٌ وَجَوهَرٌ، وَفِي بَعضِهَا خَرزٌ مُعَلَّقَةٌ بٍذَهَبٍ،
وَفِي بَعضِهَا بِاثنَيْ عَشَرَ دِينَاراً، وَفِيْ بَعضِهَا بِتِسعَةِ دَنَانِيرَ،
وَفِيْ بَعضِهَا سَبعَةٌ
Pada sebagian riwayat diterangkan
bahwa Fadhalah radhiallahu 'anhu
membelinya. Sedangkan dalam sebagian riwayat yang lain menerangkan bahwa selain
beliau bertanya kepada beliau dari membelinya. Dan dalam sebagian riwayat yang
lain menerangkan kalung tersebut adalah emas dan permata. Dan dalam sebagian
riwayat yang lain adalah emas dan jauhar. Dalam sebagian yang lain adalah
permata yang dihiasi emas. Dalam sebagian yang lain adalah seharga dua belas
dinar. Dalam sebagian yang lain adalah seharga sembilan dinar. Dan dalam
sebagian yang lain adalah seharga tujuh dinar.
قَالَ الحَافِظُ ابنُ حَجَرٍ رَحِمَهُ الله : وَهَذَا لاَ يُوجِبُ ضَعفاً
(يعني الحديث) بَلِ المَقصُودُ مِنَ الاِستِدلَالِ مَحفُوظٌ لاَ اختِلاَفَ فِيهِ؛
وَهُوَ النَّهيُ عَن بَيعِ مَا لَم يُفصَلْ، وَأَمَّا جِنسُهَا أَو مِقدَارُ ثَمَنِهَا
فَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ فِي هَذِهِ الحَالِ ماَ يُوجِبُ الاِضطِرَابَ. إهـ
Berkata al-hafizh
Ibu Hajar rahimahullah : keaneka ragaman bentuk periwayatan dalam
hadits ini tidak mengharuskan suatu kelemahan (yakni pada hadits tersebut).
Bahkan maksud dari sisi argumentasinya terjaga tanpa adanya perbedaan padanya,
yaitu "larangan menjual sesuatu yang belum
terpisah". Adapun jenis dan kadar harganya pada keadaan ini
(yakni yang beraneka ragam_pent) yang mengharuskan Al-Idhthirab, ia tidak
berkaitan dengan poin penting tersebut. (Selesai)
وَكَذَلِكَ لَا يُوجِبُ الاِضطِرَابَ : مَا يَقَعُ مِنَ الاِختِلاَفِ
فِي اسمِ الرَّاوِيْ أَو كُنيَتِهِ، أَو نَحوِ ذَلِكَ، مَعَ الاِتِّفَاقِ عَلَى عَينِهِ،
كَمَا يُوجَدُ كَثِيراً فِي الأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ
Demikian
juga tidak mengharuskan Al-Idhthirab : apa yang terjadi berupa perbedaan
tentang nama seorang perawi atau kuniahnya. Atau yang semisal itu. Bersamaan
dengan disepakatinya tertuju pada sosok yang jelas. Sebagaimana terdapat dalam
banyak hadits-hadits yang shahih.
Baarakallahu fikum wa waffaqanallahu wa iyakum ila tafaqquhi fid
din.
Ditulis
oleh :
Rabu, 26 - 8 - 2015 M
0 komentar:
Posting Komentar