بسم
الله الرحمن الرحيم
Soal : Apa
yang dimaksud dengan wahm dalam sebuah periwayatan, apa hukumnya, dan bagaimana
cara mengetahuinya? Dan apakah wahm fil hadits masuk dalam masalah ‘ilal,
sehingga sangat sulit untuk mengetahuinya?
Jawab :
1. Wahm
dalam sebuah periwayatan yaitu:
أن يروي الراوي الرواية على سبيل التوهم.
Seorang perawi meriwayatkan suatu periwayatan dengan jalan yang keliru.
2. Hukum wahm:
إن اطلِعَ عليه بالقرائن الدالة على وهم
راويه من رفع موقوف أو وصل مرسل أو إدخال حديث في حديث أو نحو ذلك قدح في صحة
الحديث بحسب تلك العلة. وتكون العلة غالبًا
في السند، وقد تكون في المتن.
Jika terlihat baginya berdasarkan adanya berbagai indikasi yang
menunjukan kekeliruan seorang perawi berupa me-marfu’-kan yang mauquf atau
me-maushul-kan yang mursal atau munqathi’, atau memasukkan suatu hadits pada
hadits yang lain, atau yang semisalnya berupa berbagai sesuatu yang merusak, maka
ke-shahih-an suatu hadits menjadi rusak dengan
sebab kekeliruan tersebut, sesuai dengan kadar ‘illat/cacatnya. Dan ‘illat/cacat
tersebut keseringannya berada dalam sanad, dan terkadang ditemukan dalam matan.
3. Cara mengetahui wahm pada suatu hadits:
وتحصل معرفة ذلك بكثرة التتبُّع وجمع
الطرق.
Wahm atau
kekeliruan dalam suatu riwayat dapat diketahui dengan banyak meneliti dan mengumpulkan
berbagai jalurnya.
4. Hadits
wahm masuk dalam kategori masalah ‘ilal, dan masuk dalam jenis ilmu hadits yang
paling rumit.
والوهم في الحديث يقال له: المعلُّ. وهو
من أغمض أنواع علوم الحديث وأدقها، وذلك لأن ظاهره السلامة، فلا يطلع على العلة
إلا بعد التفتيش.
Dan hadits
yang keliru dinamakan hadits yang mu’al atau cacat. Dan masalah ‘ilal termasuk jenis
ilmu hadits yang paling sulit dan rumit. Karena zhahir hadits (yang memiliki ‘illat/cacat)
terlihat selamat. Sehingga seseorang tidak dapat mengetahui ‘illat/cacat
tersebut melainkan setelah memeriksanya.
ولا يقوم ذلك إلا
من رزقه الله تعالى فهما ثاقبا، وحفظا واسعا، ومعرفة تامة بمراتب الرواة، وملكة قوية
بالأسانيد والمتون، ولهذا لم يتكلم فيه إلا القليل من أهل هذا الشأن كعلي بن المديني
وأحمد بن حنبل والبخاري ويعقوب بن شيبة وأبي حاتم وأبي زرعة والدارقطني رحمة الله
تعالى عليهم.
Dan tidak
ada yang melakukan hal tersebut (yakni meneliti masalah ‘ilal hadits), melainkan
hanya orang yang dikaruniai oleh Allah berupa pemahaman yang tajam, hafalan
yang luas, dan pengetahuan yang sempurna tentang berbagai tingkatan para rijal,
serta kemampuan yang kuat mengenai berbagai sanad dan matan. Oleh karenanya, tidak
ada yang berbicara dalam masalah ini kecuali sedikit dari kalangan pakar
dibidang ini, seperti: Ali bin al-Madini, Ahmad bin Hambal, al-Bukhari, Ya’qub
bin Syaibah, Abu Hatim, Abu Zur’ah dan ad-Daraquthni, rahmatullahi ‘alaihim. [Nuzhat
Nazhar lil Hafizh Ibnu Hajar] & [Sual wal Jawab fil Musthalah lil Hafizh
al-Hakami].
Senada dengan
ini, al-hafizh Ibnu Hajar rahmatullahi ‘alaih juga menuturkan:
وهذا الفن أغمض أنواع الحديث
وأدقها مسلكا، ولا يقوم به إلا من منحه الله تعالى فهما غايصا، واطلاعا حاويا،
وإدراكا لمراتب الرواة، ومعرفة ثاقبة، ولهذا لم يتكلم فيه إلا أفراد أئمة هذا
الشأن وحذاقهم، وإليهم المرجع في ذلك، لما جعل الله فيهم من معرفة ذلك والاطلاع
على غوامضه دون غيرهم ممن لم يمارس ذلك.
Bidang ini
adalah bagian ilmu hadits yang paling sulit dan paling rumit uraiannya. Tidak ada
yang melakukan hal tersebut selain orang yang mendapatkan anugerah dari Allah
Jalla wa ‘Ala berupa pemahaman yang dalam, wawasan yang luas, konsepsi terhadap
berbagai tingkatan para perawi, dan pengetahuan yang tajam. Oleh karenanya, tidak
ada yang berbicara dalam masalah ini melainkan hanya segelintir imam pada
bidang ini dan orang-orang mahirnya. Mereka menjadi rujukan dalam masalah itu,
dikarenakan apa yang telah Allah jadikan pada mereka berupa pengetahuan
terhadap hal tersebut, dan berupa tela’ah akan berbagai kerumitannya, yang
tidak dianugerahkan kepada selain mereka dari kalangan orang-orang yang tidak
mumpuni pada bidang tersebut. [An-Nukat ‘Alal Muqaddimah]. Wallahu a’lam.
Alih
bahasa : Dheas Ummu Muhammad.
0 komentar:
Posting Komentar