بسم الله الرحمن الرحيم
Soal : Apakah
pintu ijtihad dalam masalah tashih dan tadl’if hadits masih terbuka bagi mereka
yang memiliki pengetahuan yang luas dan berkemampuan pada bidang dan ranah
hadits secara riwayat dan dirayat?
Jawab : Terjadi
perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai masalah ini.
1. Diantara mereka ada yang berpendapat : bahwa pintu
ijtihad dalam masalah tashih dan tadl’if hadits sudah tertutup. Karena di zaman
ini sulit untuk menyatakan shahih secara murni pada suatu hadits hanya bersandar
dengan penelitian pada sanadnya semata. Pendapat ini adalah pendapat yang
dipegang oleh al-hafizh Abu ‘Amr Ibnu ash-Shalah rahmatullahi ‘alaih. Beliau menuturkan:
إذا وجدنا فيما يروى من أجزاء
الحديث وغيرها حديثًا صحيحَ الإسناد، ولم نجده في أحد الصحيحين ولا منصوصًا على
صحته في شيء من مصنفات أئمة الحديث المعتمدة المشهورة، فإنا لا نتجاسر على جزم
الحكم بصحته.
Jika kita
menemukan suatu hadits dengan sanad shahih yang diriwayatkan dari kitab ajza’
hadits atau yang semisalnya, namun hadits tersebut tidak kita temukan pada
shahihain, tidak pula terdapat nash mengenai keshahihannya sedikitpun dari
karya-karya para imam hadits yang terkemuka dan masyhur, maka kita tidak berani
memastikan hukum dengan menshahihannya.
فقد تعذر في هذه الأعصار الاستقلال
بإدراك الصحيح بمجرد اعتبار الأسانيد، لأنه ما من إسناد من ذلك إلا وتجد في رجاله
من اعتمد في روايته على ما في كتابه عريًا عما يشترط في الصحيح من الحفظ والضبط والإتقان.
Di zaman
ini sulit untuk mengetahui keshahihan hadits dengan pasti hanya berdasarkan
peninjauan terhadap berbagai sanadnya. Karena tidaklah terdapat satupun sanad
dari peninjauan itu, melainkan kamu akan mendapati rijal sanadnya ada yang periwayatannya
sebatas bersandar pada kitab tersebut yang tidak mempersyaratkan sesuatu yang
terdapat pada kitab shahih; berupa hifzh (hafalan) dan dhabth (penjagaan) dan
itqan (kekuatan hafalan).
فآل الأمر إذا، في معرفة الصحيح
والحسن إلى الاعتماد على ما نص عليه أئمة الحديث في تصانيفهم المعتدة المشهورة
التي يؤمن فيها –لشهرتها-
من التغيير والتحريف.
Jika demikian,
inti masalah untuk mengetahui shahih atau hasan adalah dengan bersandar kepada
nash (keterangan) para imam ahli hadits mengenai hal tersebut yang terdapat
pada karya-karya mereka yang terkemuka dan terpercaya –karena kemasyhurannya- (selamat)
dari perubahan dan pengkaburan pada karya-karya tersebut.
وصار معظم المقصود بما يتداول من الأسانيد
-خارجًا عن ذلك- إبقاء سلسلة الإسناد التي خصت بها هذه الأمة، زادها الله تعالى
شرفا، آمين.
Terlepas dari
masalah itu, maksud besar berputarnya sanad berubah menjadi untuk melanggengkan
silsilah sanad yang merupakan kekhususan umat ini, semoga Allah menambahkan
kemulyaan untuknya. Aamiin..
2. Adapun pendapat yang kedua.
Adalah merupakan
lawan dan kritikan untuk pendapat pertama. Yakni: pintu tashih dan tadl’if
hadits terbuka bagi mereka yang terpenuhi syarat memiliki kemampuan dan
kekuatan serta luasnya pengetahuan dalam bidang dan ranah ini.
Diantara yang
berpegang dengan pendapat yang kedua ini adalah al-hafizh Abu al-Fadl Zainuddin
Abdurrahim bin al-Husain al-‘Iraqi, dengan membawakan pendapat imam Abu Zakariya
Yahya bin Syaraf an-Nawawi yang merupakan murid al-hafizh Abu ‘Amr Ibnu ash-Shalah.
Beliau mengatakan:
وقد خالفه في ذلك الشيخ محيى الدين
النووي، فقال رحمه الله : والأظهر عندي جوازه لمن تمكن وقويت معرفته.
Asy-syaikh
Muhyiddin an-Nawawi telah menyelisihi al-hafizh Ibnu ash-Shalah dalam masalah
tersebut, beliau mengatakan: dan yang nampak bagiku adalah bolehnya hal
tersebut (yakni: mentashih dan mentadl’if hadits) bagi yang memiliki kamampuan
dan pengetahuan yang kuat.
Kemudian al-hafizh
al-‘Iraqi melanjutkan penuturannya:
وما رجحه النووي هو الذي عليه عمل
أهل الحديث، فقد صحح جماعة من المتأخرين أحاديث لم نجد لمن تقدمهم فيها تصحيحًا.
Dan apa
yang dikuatkan oleh al-hafizh an-Nawawi adalah merupakan perbuatan ahli hadits,
sejumlah ahli hadits mutaakhirin (belakangan) telah menshahihkan berbagai
hadits yang kami tidak mendapati ada ulama yang mendahului mereka menshahihkan
hadits-hadits tersebut.
فمن المعاصرين
لابن الصلاح أبو الحسن على بن محمد بن عبد الملك بن القطان صاحب كتاب ”بيان الوهم والإيهام“ وقد صحح في كتابه
المذكور عدة أحاديث.
Diantara ahli
hadits yang sezaman dengan al-hafizh Ibnu ash-Shalah (yang men-tashih hadits)
adalah al-hafizh Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Abdul Malik al-Qaththan
pemilik kitab “Bayan
al-Wahm wa al-Iham”, beliau
telah menshahihkan sejumlah hadits dalam kitab beliau tersebut.
Kemudian yang
sezaman dengan al-hafizh Ibnu ash-Shalah selain al-hafizh Abu al-Hasan Ali bin
Muhammad bin Abdul Malik al-Qaththan adalah: al-hafizh Dliyauddin Muhammad bin
Abdul Wahid al-Maqdisi. Beliau memiliki kitab “Al-Mukhtarat”, dan
didalamnya beliau menshahihkan sejumlah hadits yang tidak ada seorangpun ahli
hadits yang mendahului beliau -sejauh pengetahuan al-hafizh al-Iraqi-. Demikian
juga al-hafizh Zakiyuddin Abdul ‘Azhim bin Abdul Qawwi al-Munzhiri.
Adapun setelah
generasi al-hafizh Ibnu as-Shalah, diantaranya adalah: al-hafizh Syarafuddin
Abdul Mukmin bin Khalaf ad-Dimyathi. Kemudian pada generasi berikutnya, diantaranya
adalah: asy-syaikh Ali Abdul Kafi as-Subki. Rahmatullahi ‘alaihim jami’a.
Setelah memberikan
keterangan tersebut di atas, kemudian al-hafizh al-Iraqi memberikan penutup:
ولم
يزل ذلك دأب من بلغ أهلية ذاك منهم، إلا أن منهم من لا يقبل ذاك منه، وكذا كان
المتقدمون ربما صحح بعضهم شيئا فأنكر عليه تصحيحه والله أعلم.
Hal tersebut
merupakan kebiasan yang terus menerus bagi siapa saja yang mencapai keahlian
bidang ini dari kalangan mereka. Hanya saja, terkadang ada diantara mereka yang
tidak diterima tashihnya. Hal ini wajar sebagaimana para ulama mutaqaddimin (terdahulu),
sebagian mereka menyatakan shahih terhadap sesuatu, namun kemudian tashihnya
diingkari (oleh sebagian yang lain). Wallahu a’lam.
Faidah:
1. Ini menunjukan bahwa masalah tashih dan tadl’if
hadits masuk dalam ranah khilafiyah dan ijtihadiyah. Yang tentunya tidak
berlaku ilzam dan paksaan padanya.
2. Perbedaan pendapat dengan dasar yang ilmiyah
bukanlah sesuatu yang tercela dalam masalah ini, walaupun dengan menyebut nama
pemilik pendapat tersebut.
3. Uji komitmen
apakah kita muta’ashib/berfanatik terhadap guru-guru kita ataukah tidak. Kitab “Muqaddimah” karya al-hafizh
Ibnu ash-Shalah yang merupakan guru imam
an-Nawawi, yang juga ditalkhis/diringkas oleh imam an-Nawawi. Namun disini kita
mendapatkan pelajaran yang berharga, bahwa imam an-Nawawi tidak berfanatik
terhadap al-hafizh Ibnu ash-Shalah yang merupakan guru beliau.
Kemudian diantara
ulama yang berpegang dengan pendapat yang kedua adalah al-hafizh Ibnu Katsir,
sebagaimana tercantum dalam “Ikhtishar
Ulum Hadits” beliau:
ويجوز
له الإقدام على ذلك، وإن لم ينص على صحته حافظ قبله، موافقة للشيخ أبي زكريا يحيى النووي،
وخلافاً للشيخ أبي عمرو.
Boleh bagi
yang berpengetahuan luas dan berkemampuan pada ranah ini untuk melakukan tashih
hadits, walaupun tidak ada tashih dari seorang hafizh sebelumnya, sesuai dengan
pendapat yang dipegang oleh asy-syaikh Abu Zakariya an-Nawawi, berbeda dengan
pendapat yang dipegang oleh asy-syaikh Abu ‘Amr bin ash-Shalah rahmatullahi ‘alaihim
jami’a. Wallahu ‘alam.
Alih
bahasa : Dheas Ummu Muhammad
0 komentar:
Posting Komentar