TASHIH & TADl'IF HADITS.
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد
لله الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله وكفى بالله شهيدا، وأشهد
أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له إقرارا به وتوحيدا، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليما مزيدا، أما
بعد..
Masalah
tashih (men-shahih-kan) dan tadl'if (me-lemah-kan) suatu hadits adalah masalah
yang besar, tidak semua bisa berbicara mengenai masalah ini. Hanya ahlul ilmi-lah
yang mampu berbicara mengenai masalah ini, mereka yang berkompeten yang telah
menghabiskan waktu dan umurnya untuk hadits dan atsar. Sehingga
mereka memiliki penguasaan yang sempurna, kekhususan dan pengetahuan yang
mendalam mengenai berbagai sunnah, atsar dan sirah serta perjalanan baginda
nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang mencakup segala ucapan, perbuatan dan
sifat-sifat beliau shallallahu 'alaihi wasallam.
Terjun
ke dalam hadits-hadits nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan men-shahih-kan
dan me-lemah-kan, dan berbicara mengenai jarh dan ta'dil terhadap para
perawinya, sementara ia bukan seorang yang mumpuni dalam bidang tersebut,
sungguh ini adalah perkara yang berbahaya. Sebagian manusia menyangka, bahwa
perkara ini adalah perkara yang mudah dan pintu terbuka lebar bagi siapa saja
yang ingin memasukinya. Sementara para ulama telah menjelaskan; bahwa ilmu ini
membutuhkan tahap belajar dan pendalaman yang memakan waktu yang lama hingga
meraih puncak kejernihan.
Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu menuturkan:
اتفقتْ كلماتُ الأئمة جميعًا على أنّ الشرط
الوحيد لِمن يصحّح ويضعّف أن يكون متمكّنًا في علم الحديث عارفًا بعلله و
برجاله.
Telah
bersepakat kalimat-kalimat para imam seluruhnya, bahwa terdapat satu syarat
yang diperuntukkan bagi orang yang men-shahih-kan dan me-lemah-kan (hadits),
hendaknya ia adalah seorang yang menguasai ilmu hadits dan mengetahui ilmu
'ilal dan ilmu rijal. [Ar-Rad 'Ala At-Ta'qib Al-Hatsits: 60].
Al-imam 'Amr Ibnu Qais rahimahullahu juga mengatakan:
ينبغي لصاحب الحديث أن يكون مثل
الصيرفي الذي ينتقد الدراهم فإن الدراهم فيها الزيف والبهرج وكذلك الحديث.
Hendaknya
seorang ahli hadits itu menjadi seperti seorang penukar mata uang, yang
mampu membedakan bentuk-bentuk dirham. Sesungguhnya dirham itu ada yang imitasi
dan tiruan, demikian juga hadits. [Al-Jami' Li Akhlaq Ar-Rawi: 2/102].
Al-hafizh Nu'aim Ibnu Hammad rahimahullahu menuturkan:
قلت
لعبد الرحمن بن مهدي: كيف تعرف صحيح الحديث وسقيمه؟ قال: «كما يعرف الطبيب المجنون».
Aku
bertanya kepada 'Abdur Rahman Ibnu Mahdi rahimahullahu; bagaimana engkau bisa
mengetahui shahihnya suatu hadits dari cacatnya? Maka beliau menjawab:
sebagaimana seorang dokter mengetahui orang yang majnun (gila). [Al-'Ilal
karya Ibnu Abi Hatim: 1/252].
Dan
Imam Muslim rahimahullahu juga menjelaskan:
واعلم رحمك الله أن صناعة الحديث ومعرفة
أسبابه من الصحيح والسقيم إنما هي لأهل الحديث خاصة، لأنهم الحفاظ لروايات الناس، العارفين
بها دون غيرهم.
Ketahuilah!
Semoga Allah mencurahkan kasih sayang-Nya untukmu, sesungguhnya perindustrian
mengenai hadits dan mengetahui berbagai sebabnya berupa shahih dan cacat, hal
ini hanyalah kekhususan untuk ahli hadits. Karena merekalah para huffazh
(penjaga) terhadap riwayat-riwayat manusia, mereka yang mengetahui
riwayat-riwayat tersebut bukan selain mereka.
إذ الأصل الذي يعتمدون لأديانهم السنن
والآثار المنقولة، من عصر إلى عصر من لدن النبي صلى الله عليه وسلم إلى عصرنا هذا،
فلا سبيل لمن نابذهم من الناس وخالفهم في المذهب، إلى معرفة الحديث ومعرفة الرجال من
علماء الأمصار فيما مضى من الأعصار، من نقل الأخبار وحمال الآثار.
Karena
pada asalnya, yang mereka jadikan sandaran untuk agama mereka (umat islam)
adalah sunnah-sunnah dan atsar yang dinukil, dari masa ke masa dari sisi nabi
shallallahu 'alaihi wasallam hingga masa kita saat ini. Maka tidak ada celah
bagi manusia yang menentang dan menyelisihi pendapat mereka (ahli hadits),
untuk mengetahui suatu hadits dan para perawinya dari ulama-ulama berbagai
negeri yang telah lalu dari masa ke masa, berupa penukilan khabar
dan pemikul atsar.
وأهل
الحديث هم الذين يعرفونهم ويميزونهم حتى ينزلوهم منازلهم في التعديل والتجريح.
Dan
ahli hadits, merekalah yang mampu mengetahui dan membedakan para rijal hadits, sehingga ahli hadits mendudukkan mereka sesuai dengan
kedudukannya dalam ta'dil dan jarh.
وإنما
اقتصصنا هذا الكلام، لكي نثبته من جهل مذهب أهل الحديث ممن يريد التعلم والتنبه على
تثبيت الرجال وتضعيفهم، فيعرف ما الشواهد عندهم والدلائل التي بها ثبتوا الناقل للخبر
من نقله، أو سقطوا من أسقطوا منهم.
Sengaja
kami memaparkan masalah ini, agar kami menjelaskan hal ini dari ketidak-tahuan
tentang madzhab ahli hadits bagi yang ingin mempelajari dan memerhatikan
mengenai pen-shahih-an dan pen-dha'if-an para rijal. Sehingga
orang yang ingin mempelajari dan memerhatikan bisa mengetahui apa saja yang
menjadi poin penting dikalangan ahli hadits, dan argument-argumen yang
digunakan untuk menetapkan hukum terhadap seorang penukil khabar dari penukilannya,
atau jatuhnya para penukil yang mereka jatuhkan. [At-Tamyiz Lil Imam Muslim:
218-219].
Dan
tatkala menguraikan seputar hadits syadz, Imam Al-Baihaqi rahimahullahu berkata:
وهذا
النوع من معرفة صحيح الحديث من سقيمه لا يعرف بعدالة الرواة وجرحهم، وإنما يعرف بكثرة
السماع، ومجالسة أهل العلم بالحديث ومذاكرتهم، والنظر في كتبهم، والوقوف على روايتهم،
حتى إذا شذ منها حديث عرفه.
Dan
jenis ini (mengetahui hadits syadz), termasuk bentuk mengetahui shahihnya suatu
hadits dari cacatnya yang tidak cukup hanya diketahui dengan 'adil-nya seorang
perawi. Akan tetapi jenis ini hanya dapat diketahui dengan banyaknya mendengar
dan duduk bersama ahli hadits serta bermudzakarah bersama mereka, dan melihat
kitab-kitab mereka, dan menela'ah riwayat-riwayat mereka, hingga apabila ada
suatu hadits yang syadz dari riwayat-riwayat tersebut, maka iapun
mengetahuinya.
وهذا
هو الذي أشار إليه عبد الرحمن بن مهدي، وهو أحد أئمة هذا الشأن، ولأجله صنف الشافعي
كتاب الرسالة، وإليه أرسله، وذلك أنه قيل له: كيف تعرف صحيح الحديث من خطئه؟ قال: كما
يعرف الطبيب المجنون.
Dan
inilah yang telah diisyaratkan oleh Imam Abdur Rahman Ibnu Mahdi rahimahullahu,
dimana beliau termasuk salah satu imam dalam bidang ini. Yang untuk beliaulah,
Imam Asy-Syafi'i rahimahullahu menyusun kitab Ar-Risalah, dan kepada beliau
dikirimkan kitab tersebut. Ditanyakan kepada Ibnu Mahdi rahimahullahu: bagaimana
engkau bisa mengetahui shahihnya suatu hadits dari kelirunya? Maka beliau
menjawab: sebagaimana seorang dokter mengetahui orang yang majnun (gila).
وقال
مرة: أرأيت لو أتيت الناقد فأريته دراهمك فقال: هذا جيد، وقال: هذا بهرج، أكنت تسأل
عم ذلك، أو كنت تسلم الأمر له؟ قال: بل كنت أسلم الأمر له. قال: فهذا كذلك، لطول المجالسة
والمناظرة والخبرة.
Dan
pada kesempatan yang lain, Ibnu Mahdi rahimahullahu berkata; "khabarkan
kepadaku! Apa pendapatmu apabila engkau mendatangi seorang pengritik (peneliti
uang), kemudian engkau memperlihatkan dirham-mu kepadanya, kemudian ia
mengatakan: mata uang ini bagus, atau mengatakan: mata uang ini tiruan. Apakah
engkau akan mempertanyakannya atau engkau menyerahkan perkara tersebut
kepadanya?" Maka sang penanya menjawab; "bahkan aku menyerahkan
perkara tersebut kepadanya". Maka berkatalah Ibnu Mahdi rahimahullahu; "dalam
masalah menghukumi hadits-pun demikian, karena lamanya (ahli hadits) dalam
bermajelis, perdiskusian dan pengetahuan. [Ma'rifah As-Sunan Wal Atsar: 1/82].
Ahli
hadits mampu memberikan hukum shahih ataupun cacat terhadap suatu hadits, yang
demikian dikarenakan banyaknya bermajelis, mendengar, meneliti dan menela'ah
hadits-hadits nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Sehingga mereka mampu
mengetahui bahwa ini adalah hadits yang terang dan jelas nabi shallallahu
'alaihi wasallam telah menyabdakannya, dan ini adalah hadits yang gelap lagi
munkar yang tidak mungkin nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakannya.
Seorang tabi'in yang mulya Ar-Rabi' Ibnu Khutsaim rahimahullah telah berkata:
إن
للحديث ضوء كضوء النهار يعرف، وظلمة كظلمة الليل تنكر.
Sesungguhnya
hadits memiliki cahaya laksana cahaya siang yang diketahui, dan juga memiliki
kegelapan laksana gelapnya malam yang tidak dapat diketahui. [Al-Ma'rifah
Lil Fasawi: 2/564].
Al-Hafizh
As-Sakhawi rahimahullahu mengomentari ucapan di atas dengan mengatakan:
وعنى
بذلك الممارس لألفاظ الشارع، الخبير بها وبرونقها وبهجتها.
Yang
diinginkan dari kalimat tersebut adalah (bagi) yang berpengalaman terhadap
lafazh-lafazh nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lagi berpengetahuan
mengenai hal tersebut dengan keindahan dan keelokkannya. [Fath Al-Mughits: 1/315].
Kemudian Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullahu memaparkan:
معرفة صحة الحديث وسقمه تحصل من وجهين:
Mengetahui
shahih dan cacatnya suatu hadits bisa terhasilkan dari dua sisi:
أحدهما: معرفة رجاله وثقتهم وضعفهم،
ومعرفة هذا هين، لأن الثقات والضعفاء قد دونوا في كثير من التصانيف، وقد اشتهرت بشرح
أحوالهم التواليف.
Pertama.
Mengetahui para
rijalnya, tsiqah dan lemahnya mereka. Dan mengetahui hal ini adalah mudah. Karena
para perawi yang tsiqah dan lemah telah terbukukan dalam banyak buku karya, dan
berbagai karya tulis telah masyhur menjabarkan keadaan-keadaan mereka.
والوجه الثاني: معرفة مراتب الثقات، وترجيح
بعضهم على بعض عند الاختلاف، إما في الإسناد، وإما في الوصل والإرسال، وإما في الوقف
والرفع، ونحو ذلك. وهذا هو الذي يحصل من معرفته وإتقانه وكثرة ممارسته الوقوف على دقائق
علل الحديث.
Kedua.
Mengetahui
tingkatan-tingkatan perawi tsiqah, dan men-tarjih sebagian mereka terhadap sebagian
yang lain tatkala terjadi perselisihan; baik dari segi sanad, atau dari segi maushul
dan mursal, atau dari segi mauquf dan marfu', dan yang semisal itu. Dan ini
yang terhasilkan dari pengetahuannya dan kemahirannya serta banyaknya bergelut
memahami akan kedetilan-kedetilan 'ilal hadits. [Syarh 'Ilal Ibnu Rajab:
2/663]
Al-hafizh Ibnu Al-Jauzi rahmatullah 'alaihi juga turut berkomentar:
ومن القبيح تعليق حكم على حديث لا يدري أ صحيح
هو أم لا، ولقد كانت معرفة هذا تصعب ويحتاج الإنسان إلى السفر الطويل والتعب
الكثير حتى تعرف ذالك، فصنفت الكتب وتقررت السنن وعرف الصحيح من السقيم.
Dan
termasuk perkara yang buruk adalah memberi catatan kaki pada suatu hukum berdasarkan
hadits yang ia sendiri tidak mengetahui apakah hadits tersebut shahih atau
tidak. Dahulu, untuk mengetahui hal ini adalah sesuatu yang sulit dan seseorang
membutuhkan perjalanan yang panjang dan kelelahan yang sangat hingga
diketahuilah hal tersebut. Yang kemudian disusunlah berbagai kitab,
dikumpulkanlah hadits-hadits dan diketahuilah yang shahih dari yang cacat.
ولكن غلب على المتأخرين الكسل بالمرة أن يطالعوا
علم الحديث، حتى إني رأيت بعض الأكابر من الفقهاء يقول في تصنيفه عن ألفاظ الصحاح:
لا يجوز أن يكون رسول الله صلى الله عليه وسلم قال هذا! ورأيته يحتج في مسألة
فيقول: دليلنا ما روى بعضهم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال كذا!
Akan
tetapi kemalasan yang akut untuk menela'ah ilmu hadits telah menjangkiti orang-orang belakangan, bahkan aku telah menyaksikan sebagian tokoh besar ahli fiqih
mengatakan dalam karyanya mengenai lafazh-lafazh yang shahih: tidak mungkin
rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan hal ini! Di sisi yang lain,
aku melihat ia berargumen pada suatu masalah dengan mengatakan: argument kami
adalah hadits yang telah diriwayatkan oleh sebagian mereka; bahwa nabi
shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda begini!
ويجعل الجواب عن حديث صحيح قد احتج به خصمه أن
يقول: هذا الحديث لا يعرف. وهذا كله جناية على الإسلام.
Ia
menjawab berdasarkan hadits shahih yang sebelumnya ia telah membantah lawannya dengan
hadits tersebut, dan mengatakan: hadits ini tidak diketahui (munkar). Ini
semua adalah bentuk kejahatan terhadap islam. [Talbis Iblis Libni Al-jauzi:
118-119]
Sungguh
indah apa yang telah disampaikan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu,
beliau berkata:
الكتابة في هذا العلم الشريف تصحيحًا وتضعيفًا
لا يحسنه من تعلق به في تأخر من السن أو حداثة فيه، وإنما يحسنه أهل الاختصاص فيه
الذين أفنوا حياتهم وشاخوا فيه، حتى جرى الحديث النبوي في عروقهم وصار جزءًا لا
يتجزأ من حياتهم. أما من لم يكن كذالك، فلا شك أنه سيقع في شئم رد الأحاديث
الصحيحة وتضعيفها أو العكس، كما هو شأن
أهل الأهواء والبدع. نسأل الله السلامة والعافية.
Penulisan
dalam ilmu yang mulya ini berupa pen-shahih-an dan pen-tadl'if-an tidak
menjadikannya lebih baik bagi yang mencintai bidang ini dalam keadaan ia lanjut
usia atau masih muda belia. Ia hanya akan menjadi lebih baik oleh orang-orang
khusus dalam bidang tersebut, yang telah menghabiskan hidup mereka hingga
beruban menggeluti bidang tersebut. Hingga hadits nabawi mengalir dalam
keringat-keringat mereka, dan menyatu tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Adapun
yang tidak demikian keadaannya, maka tidak diragukan, ia akan terjatuh pada
kecelakaan penolakan hadits-hadits nabawi yang shahih dan melemahkannya atau
sebaliknya, sebagaimana keadaan ahli hawa dan bid'ah. Nas alulllahas salamah
wal 'afiyah. [Ash-Shahihah: 2/7-8]
أنصح لكل من يكتب في مجال التصحيح والتضعيف أن
يتئد ولا يستعجل في إصدار أحكامه على الأحاديث إلا بعد أن يمضي عليه دهر طويل في
دراسة هذا العلم في أصوله وتراجم رجاله ومعرفة علله، حتى يشعر في نفسه أنه تمكن من
ذالك كله، نظرًا وتطبيقًا بحيث أن تحقيقاته -ولو على الغالب- توافق تحقيقات الحفاظ
المبرزين في هذا العلم كالذهبي والزيلعي والعسقلاني وغيرهم.
Aku nasihatkan
bagi siapa saja yang menulis dalam ruang lingkup tashih dan tadl'if untuk
berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam menerbitkan hukum-hukumnya terhadap
berbagai hadits, melainkan setelah berlalu baginya waktu yang lama dalam
mempelajari ilmu ini dari segi usul-nya, biografi-biografi para perawinya dan
pengetahuan 'ilal-nya. Hingga ia merasakan pada dirinya bahwa ia telah mumpuni pada
perkara tersebut seluruhnya, dari segi penela'ahan dan penyocokkan, bahwa
penelitian-penelitiannya -walaupun secara umum- bersesuaian dengan
penelitian-penelitian para huffazh yang mahir dalam ilmu ini seperti Imam
Adz-Dzahabi, Az-Zaila'i, Al-'Asqalani dan selain mereka.
أنصح بهذا لكل إخواننا المشتغلين بهذا العلم،
حتى لا يقع في مخالفة قول الله تعالى: (وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا)، (الإسراء:
36).
Aku
nasihatkan dengan perkara ini terhadap saudara-saudaraku yang menyibukkan diri
dalam ilmu ini, sehingga ia tidak terjatuh menyelisihi firman Allah Ta'ala: (Dan
janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui, sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan minta
pertanggungjawabkan), {Al-Isra: 36}. [Adh-Dha'ifah: 4/8].
Akhir
kata dari ulasan ringkas ini, adalah sebagaimana yang telah disampaikan oleh
Imam Ibnu Daqiq Al-'Id rahimahullahu tatkala selesai memaparkan betapa
detilnya masalah 'ilal dalam suatu hadits, beliau mengatakan:
إذا نبهت لهذه الدقائق في هذا الحديث، ظهر لك
احتياج هذا الفن إلى جودة الفكر والنظر؛ فإن الأمر ليس بالهين، لا كما يظنه قوم:
أنه مجرد حفظ ونقل لا يحتاج إلى غيرهما.
Apabila
engkau memerhatikan betapa detilnya 'ilal pada hadits ini, maka akan nampak
bagimu betapa butuhnya bidang ini terhadap cara berfikir dan pertimbangan yang
matang; sesungguhnya perkara ini bukanlah urusan yang mudah. Tidak sebagaimana yang disangka oleh sebagian kaum: bahwa masalah ini hanyalah sekedar menghafal
dan menukil, tidak membutuhkan kepada selain kedua hal tersebut. (Al-Imam Fi
Ma'rifati Ahadits Ahkam: 3/268). Wallahu a'lam.
Akhukum fillah:
Rabu, 29 - Syawwal- 1437 H / 03 - 08 - 2016 M
0 komentar:
Posting Komentar