PERTEMUAN : KE-SEBELAS
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"PERAWI YANG DHABITH"
وَقَوْلُهُ: "ضَابِطٌ".
Dan
perkataan Imam Al-Baiquniy rahimahullahu: "perawi yang dhabith".
هُوَ الَّذِيْ يَحْفَظُ مَا
رَوَى تَحَمُّلاً وَأَدَاءً.
Ia
adalah perawi yang hafal terhadap apa yang ia riwayatkan tatkala mengambil dan
menyampaikan.
مِثْلُ: أَنْ يَكُوْنَ نَبِيْهاً
يَقَظاً عِنْدَ تَحْدِيْثِ الشَّيْخِ لِلْحَدِيْثِ، فَلَا تَكَادُ تَخْرُجُ كَلِمَةٌ
مِنْ فَمِ الشَّيْخِ إِلَّا وَقَد ضَبَطَهَا وَحَفِظَهَا وَهَذَا هُوَ التَّحَمُّلُ.
Seperti:
ia seorang yang cerdik lagi terjaga tatkala syaikh-nya menyampaikan hadits, hampir-hampir
tidaklah keluar satu katapun dari mulut syaikh melainkan ia telah menguasai dan
menghafalnya, inilah yang dinamakan dengan istilah "tahammul".
أَمَّا الْأَدَاءُ: فَأَنْ
يَكُوْنَ قَلِيْلَ النِّسْيَانِ، بِحَيْثُ أَنَّهُ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُحَدِّثَ بِمَا
سَمِعَهُ مِنَ الشَّيْخِ، أَدَاهُ كَمَا سَمِعَهُ تَمَاماً.
Adapun
tatkala menyampaikan, yaitu: ia adalah seorang yang sedikit lupa. Dari sisi,
apabila ia hendak menyampaikan suatu hadits yang ia dengar dari syaikh-nya, ia
menyampaikan hadits tersebut sebagaimana yang ia dengar seutuhnya.
فَلَابُدَّ مِنَ الضَّبْطِ
فِيْ الْحَالَيْنِ فِيْ حَالِ التَّحَمُّلِ، وَحَالِ الْأَدَاءِ.
Maka
sifat dhabth adalah suatu keharusan dalam dua keadaan: tatkala mengambil dan
tatkala menyampaikan.
وَضِدُّ الضَّبْطِ هُوَ:
أَنْ يَكُوْنَ الْإِنْسَانُ لَدَيْهِ غَفْلَةٌ عِنْدَ التَّحَمُّلِ، أَوْ أَنْ يَكُوْنَ
كَثِيْرَ النِّسْيَانِ عِنْدَ الْأَدَاءِ.
Dan
lawan sifat dhabth yaitu: seorang yang padanya terdapat sifat lalai tatkala
mengambil, atau banyak lupa tatkala menyampaikan.
وَلَا نَقُوْلُ أَنْ لَّا
يَنْسَى؛ لِأَنَّنَا إِذَا قُلْنَا: إِنَّهُ يُشْتَرَطُ أَنْ لَّا يَنْسَى، لَمْ نَأْخُذُ
عُشُرُ مَا صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَكِنَّ المُرَادَ
أَلَّا يَكُوْنَ كَثِيْرَ النِّسْيَانِ.
Kita
tidak mengatakan ia tidak boleh lupa; karena apabila kita katakan: sesungguhnya
dipersyaratkan ia tidak boleh lupa, niscaya kita tidak akan memperoleh
seper-sepuluh hadits-hadits yang shahih dari nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Akan tetapi yang diinginkan (yakni:) hendaknya ia tidak banyak lupa.
فَإِنْ كَانَ كَثِيْرَ النِّسْيَانِ
فَإِنَّ حَدِيْثَهُ لَا يَكُوْنُ صَحِيْحاً، لِمَاذَا؟ لِاحْتِمَالِ أَنْ يَكُوْنَ
قَدْ نَسِيَ.
Apabila
banyak lupa, maka haditsnya tidak bisa menjadi shahih. Mengapa? Karena
memungkinkan ia telah lupa.
وَالنَّاسُ يَخْتَلِفُوْنَ
فِيْ هَذَا اخْتِلَافاً كَبِيْراً، لَا عِنْدَ التَّحَمُّلِ وَلَا عِنْدَ الْأَدَاءِ.
Manusia
beraneka ragam dalam masalah dhabth dengan keaneka ragaman yang banyak, baik
tatkala التَحَمُّلْ (mengambil) maupum الأَدَاءُ (menyampaikan).
فَبَعْضُ النَّاسِ يَرْزُقُهُ
اللهُ فَهْماً وَحِفْظاً جَيِّداً، فَبِمُجَرَّدِ مَا أَنْ يَسْمَعَ الْكَلِمَةَ إِلَّا
وَقَدْ تَصَوَّرَهَا وَقَدْ حَفِظَهَا وَضَبَطَهَا تَمَاماً، وَأَوْدَعَهَا الحَافِظَةَ
عِنْدَهُ عَلَى مَا هِيَ عَلَيْهِ تَمَاماً.
Sebagian
manusia, Allah menganugerahkan kepadanya pemahaman dan hafalan yang baik.
sehingga, tidaklah ia mendengar suatu kata melainkan telah tergambar dan telah
menghafal dan menguasainya dengan sempurna. Dan ia menahannya menjadi hafalan
disisinya sesuai dengan yang diinginkan seutuhnya.
وَبَعْضُ النَّاسِ يَفْهَمُ
الشَّيْءَ خَطَأً ثُمَّ يُوَدِّعُ مَا فَهِمَهُ إِلَى الحَافِظَةِ.
Dan
sebagian manusia ada yang memahami sesuatu dengan salah, kemudian membiarkan
apa yang ia fahami tersebut menjadi kenangan.
وَكَذَلِكَ النِّسْيَانُ
فَإِنَّ النَّاسَ يَخْتَلِفُوْنَ فِيْهِ اخْتِلَافاً عَظِيْماً، فَمِنَ النَّاسِ مَنْ
إِذَا حَفِظَ الْحَدِيْثَ اسْتَوْدَعَهُ تَمَاماً كَمَا حَفِظَهُ، لَا يَنْسَى مِنْهُ
شَيْئاً، وَإِنْ نَسِيَ فَهُوَ نَادِرٌ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَكُوْنُ بِالْعَكْسِ.
Demikian
juga sifat lupa, sesungguhnya manusia juga beraneka ragam pada sifat tersebut
dengan keaneka ragaman yang banyak. Sebagian manusia ada yang apabila menghafal
suatu hadits, maka ia menahannya sebagaimana yang ia hafal seutuhnya tidak lupa
sedikitpun. Jikapun lupa, maka itu jarang sekali. Dan sebagian manusia ada yang
sebaliknya.
أَمَّا الْأَوَّلُ: فَمَعْرُوْفٌ
أَنَّهُ ضَابِطٌ. أَمَّا الثَّانِيُّ: وَهُوَ كَثِيْرُ النِّسْيَانِ فَلَيْسَ بِضَابِطٍ،
وَلَكِنْ يَجِبُ عَلَيْهِ تَعَاهُدُ مَا تَحَمَّلَهُ أَكْثَرَ مِمَّا يَجِبُ عَلَى
الْأَوَّلِ، لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَتَعَاهَدْهُ فَسَوْفَ يُنْسَى وَيَضِيْعُ.
Adapun
keadaan pertama: maka makruf, sesungguhnya ia adalah seorang yang dhabith.
Adapun kedaan yang kedua: ia banyak lupa, maka ia bukan seorang yang dhabith, akan
tetapi wajib baginya untuk menjaga apa yang telah ia ambil melebihi apa yang
wajib bagi keadaan yang pertama, karena apabila ia tidak menjaganya, niscaya
akan lupa dan hilang.
فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ هَلْ
لِلنِّسْيَانِ مِنْ عِلَاجٍ أَوْ دَوَاءٍ؟
Apabila
sesorang bertanya: apakah ada terapi dan obat untuk lupa?
قُلْنَا: نَعَمْ لَهُ دَوَاءٌ
- بِفَضْلِ اللهِ - وَهِيَ الْكِتَابَةُ، وَلِهَذَا امْتَنَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى
عِبَادِهِ بِهَا فَقَالَ: {اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ خَلَقَ الْإنْسَانَ
مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ}. [العق: 1
- 4].
Maka
kita jawab: na'am ada obatnya -bifadhlillah-, yaitu: menulis. Oleh karenanya
Allah Jalla wa 'Ala memberikan karunia terhadap hamba-hamba-Nya dengan menulis.
Ia berfirman:
{اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ، خَلَقَ
الْأِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ، اقْرَأْ وَرَبُّكَ الاَْكْرَمُ، الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ}.
[العق: 1 - 4].
"Bacalah!
Dengan nama Rabb-mu Yang Menciptakan, (1). Menciptakan manusia dari segumpal
darah, (2). Bacalah! Dan Rabb-mu Maha Mulya, (3). Yang mengajarkan dengan pena,
(4)." (QS: Al-'Alaq 1 - 4).
فَقَالَ "اقْرَأْ"
ثُمَّ قَالَ: {الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ} يَعْنِيْ: اقْرَأْ مِنْ حِفْظِكَ، فَإِنْ
لَّمْ يَكُنْ فَمِنْ قَلَمِكَ، فَاللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بَيَّنَ لَنَا كَيْفَ
نُدَاوِي هَذِهِ الْعِلَّةَ، وَهِيَ عِلَّةُ النِّسْيَانِ. وَذَلِكَ بِأَنْ نُدَاوِيَهَا
بِالْكِتَابَةِ، وَالآنَ أَصْبَحَتِ الْكِتَابَةُ أَدَقُّ مِنَ الْأَوَّلِ، لِأَنَّهُ
وُجِدَ - بِحَمْدِ اللهِ - الْآنَ الْمُسَجِّلُ.
Allah
Jalla wa 'Ala berfirman: "Bacalah!", kemudian berfirman:
"Yang Mengajarkan dengan pena", yakni: bacalah dari hafalanmu,
apabila tidak memiliki hafalan, maka bacalah dari tulisanmu. Allahu Tabaraka wa
Ta'ala menjelaskan kepada kita bagaimana cara mengobati penyakit ini, yakni:
penyakit lupa. Yaitu mengobatinya dengan menulis. Dan di zaman kita ini
penulisan telah berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya. Karena saat ini
-bihamdillah- telah ditemukan alat perekam.
*****
وَقَوْلُهُ: "عَنْ مِثْلِهِ".
Dan
perkataan Imam Al-Baiquniy rahimahullahu: "dari yang semisalnya".
أَيْ: أَنَّهُ لَابُدَّ أَنْ
يَكُوْنَ الرَّاوِيُّ مُتَّصِفاً بِالْعَدَالَةِ وَالضَّبْطِ، وَيَرْوِيْهِ عَمَّنِ
اتُّصِفَ بِالْعَدَالَةِ وَالضَّبْطِ.
Yakni:
seorang perawi harus memiliki sifat 'Adil dan Dhabth, dan juga meriwayatkan
hadits dari perawi yang memiliki sifat 'Adil dan Dhabth.
فَلَوْ رَوَى عَدْلٌ عَنْ
فَاسِقٍ، فَلَا يَكُوْنُ حَدِيْثُهُ صَحِيْحاً، وَكَذَا إِذَا رَوَى إِنْسَانٌ عَدْلٌ
جَيِّدُ الْحِفْظِ، عَنْ رَجُلٍ سَيِّءِ الْحِفْظِ، كَثِيْرِ النِّسْيَانِ، فَإِنَّ
حَدِيْثَهُ لَا يُقْبَلُ، وَلَا يَكُوْنُ صَحِيْحاً، لِأَنَّهُ لَمْ يَرْوِهِ عَنْ
رَجُلٍ ضَابِطٍ مِثْلَهُ.
Apabila
seorang perawi yang 'Adil meriwayatkan dari seorang yang Fasiq, maka haditsnya
tidak bisa menjadi shahih. Demikian juga apabila seorang yang 'Adil dan baik
hafalannya meriwayatkan dari seorang yang jelek hafalannya dan banyak lupa,
maka haditsnya tidak diterima dan tidak bisa menjadi shahih. Karena ia tidak
meriwayatkan dari seorang yang Dhabith semisalnya.
Wallahu a'lam bish-shawab. Wa baarakallahu fikum.
Akhukum fillah:
Rabu, 29 - Syawwal- 1437 H / 03 - 08 - 2016 M
0 komentar:
Posting Komentar