Translate

Rabu, 09 November 2016

023. Al-Musalsal.



PERTEMUAN : KE-DUA PULUH TIGA
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"AL-MUSALSAL"

Berkata imam Al-Baiquniy rahmatullahi 'alaihi:

مُسَلْسَلٌ، قُلْ: مَا عَلى وَصْفٍ أتَى * مِثْلُ: أَمَا وَاللهِ أَنْبَأَنِيْ الفَتَى

Musalsal, katakanlah: ia adalah yang datang dengan satu sifat * Seperti: ketahuilah demi Allah! Telah memberitakan kepadaku seorang pemuda

Kemudian berkata Asy-Syaikh Ibnu Al-'Utsaimin rahmatullahi 'alahi:

وَمِنْ أَقْسَامِ الحَدِيْثِ أَيْضاً "المُسَلْسَلُ"، وَهَذَا هُوَ القِسْمُ الثَّامِنُ فِيْ النَّظَمِ، وَهُوَ اسْمٌ مَفْعُوْلٌ مِنْ "سَلْسَلَةٍ" إِذَا رَبَطَهُ فِيْ سَلْسَلَةٍ، هَذَا فِي اللُّغَةِ.

Dan di antara bagian-bagian hadits juga, Al-Musalsal. Ini adalah bagian yang ke-delapan dalam nazham. Ia (yakni: Al-Musalsal) adalah isim maf'ul dari kata (salsalah) apabila diikatkan ke rantai, ini adalah secara bahasa. 

Adapun ke-tujuh bagian sebelumnya yaitu:
Hadits Shahih, Hadits Hasan, Hadits Dha'if, Marfu', Maqthu', Musnad dan Muttashil. (pent)

وَفِيْ الاِصْطِلَاحِ، هُوَ: الَّذِيْ اتَّفَقَ فِيْهِ الرُّوَاةُ، فَنَقَلُوْهُ بِصِيْغَةٍ مُعَيَّنَةٍ، أَوْ حَالٍ مُعَيَّنَةٍ.

Adapun secara istilah, Al-Musalsal adalah: suatu hadits yang para periwayatnya bersepakat padanya, mereka menukil hadits tersebut dengan satu bentuk atau keadaan tertentu. 

يَعْنِيْ، أَنَّ الرُّوَاةَ اتَّفَقُوْا فِيْهِ عَلَى وَصْفٍ مُعَيَّنٍ، إِمَّا وَصْفُ الأَدَاءِ، أَوْ وَصْفُ حَالِ الرَّاوِيِّ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ.

Yakni, para perawinya bersepakat pada hadits tersebut dengan satu sifat tertentu. Baik sifat penyampaian atau sifat keadaan perawinya, atau selain itu.

Kamis, 27 Oktober 2016

022. Al-Muttashil.



PERTEMUAN : KE-DUA PULUH DUA
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"AL-MUTTASHIL"

Berkata imam Al-Baiquniy rahmatullahi 'alaihi:

ومَا بِسَمْعِ كُلِّ رَاوٍ يَتَّصِلْ * إِسنَادُهُ للمُصْطَفَى فالُمتَّصِلْ

Dan apa-apa yang didengar oleh setiap perawi yang bersambung * sanadnya kepada Al-Musthafa, maka ia adalah muttashil

قَوْلُهُ: "المُصْطَفَى" مَأْخُوْذَةٌ مِنَ الصَّفْوَةِ، وَهِيَ خِيَارُ الشَّيْءِ، وَأَصْلُهَا فِيْ اللُّغَةِ "المُصْتَفَى" بِالتَّاءِ.

Perkataan imam Al-Baiquniy rahimahullahu: "Al-Musthafa" diambil dari kata "Ash-Shafwah". Ia adalah: sesuatu yang paling baik. Dan asalnya dalam bahasa adalah dari kata "Al-Mustafa" dengan huruf "TA".

Kamis, 20 Oktober 2016

021. Al-Musnad.



PERTEMUAN : KE-DUA PULUH SATU
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"AL-MUSNAD"

Berkata imam Al-Baiquniy rahmatullahi 'alaihi:

والُمسْنَدُ الُمتَّصِلُ الإِسْنَادِ مِنْ * رَاوِيْهِ حَتَّى الُمصْطَفَى وَلَمْ يَبِنْ

Dan Al-Musnad adalah yang bersambung sanadnya dari * perawinya hingga Al-Musthafa dan tidak terputus

هَذَا هُوَ القِسْمُ السَّادِسُ مِنْ أَقْسَامِ الحَدِيْثِ المَذْكُوْرَةِ فِيْ النَّظْمِ.

Ini adalah bagian yang ke-enam dari bagian-bagian hadits yang disebutkan dalam nazham.

PERHATIAN. (pent)
Lima bagian sebelumnya yaitu: 1. Hadits Shahih. 2. Hadits Hasan. 3. Hadits Dha'if. 4. Marfu'. Dan 5. Maqthu'. Dan yang akan kita kaji sekarang ini adalah bagian yang ke-enam, yaitu: Musnad.

Kamis, 13 Oktober 2016

020. Marfu' & Maqthu' (Bag-Tiga).



PERTEMUAN : KE-DUA PULUH
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"MARFU' & MAQTHU' BAGIAN TIGA"

Berkata Asy-Syaikh Al-'Utsaimin rahimahullahu:

وَهَلْ مَا أُضِيْفَ إِلَى الصَّحَابِيِّ وَلَمْ يَثْبُتْ لَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ، هَلْ هُوَ حُجَّةٌ أَمْ لَا؟

Apa-apa yang disandarkan kepada shahabat dan tidak terbukti memiliki hukum marfu', apakah ia hujjah ataukah bukan?

نَقُوْلُ: فِيْ هَذَا خِلَافٌ بَيْنَ أَهْلِ العِلْمِ.

Kita katakan: dalam masalah ini terdapat khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ahli ilmu.

فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: بِأَنَّهُ حُجَّةٌ، بِشَرْطِ أَلَّا يُخَالِفَ نَصّاً، وَلَا صَحَابِيّاً آخَرَ، فَإِنْ خَالَفَ نَصًّا أُخِذَ بِالنَّصِّ، وَإنْ خَالَفَ صَحَابِيّاً آخَرَ أُخِذَ بِالرَّاجِحِ.

Pendapat Pertama. (pent)
Di antara mereka ada yang berpendapat: bahwa ia adalah hujjah, dengan syarat tidak menyelisihi nash, tidak pula menyelisihi shahabat yang lain. Apabila menyelisihi nash, maka yang diambil adalah nash. Dan apabila menyelishi shahabat yang lain, maka diambil yang rajih (kuat).

Kamis, 06 Oktober 2016

019. Marfu' & Maqthu' (Bag - Dua).



PERTEMUAN : KE-SEMBILAN BELAS
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"MARFU' & MAQTHU' BAGIAN DUA"

Berkata An-Nazhim imam Al-Baiquniy rahimahullahu:

"وَمَا لِتَابِعٍ هُوَ المَقْطُوْعُ"

Dan apa-apa yang disandarkan kepada tabi'in adalah "Al-Maqthu'"

وَهَذَا هُوَ القِسْمُ السَّابِعُ. وَالمَقْطُوْعُ هُوَ: مَا أُضِيْفَ إِلَى التَّابِعِيِّ وَمَنْ بَعْدَهُ، هَكَذَا سَمَّاهُ أَهْلُ العِلْمِ بِالحَدِيْثِ. سُمِيَ بِذَلِكَ لِأَنَّهُ: مُنْقَطِعٌ فِيْ الرُّتْبَةِ عَنِ المَرْفُوْعِ وَعَنِ المَوْقُوْفِ.

Ini adalah bagian yang ke tujuh. Dan Al-Maqthu' yaitu: apa-apa yang disandarkan kepada tabi'i dan yang setelahnya. Demikian ahli ilmu terhadap hadits menamainya. Dinamakan demikian, karena ia: munqathi' (terputus) dalam tingkatan dari Al-Marfu' dan dari Al-Mauquf.

Bersikap Teliti Dalam Menghadapi Fitnah.



"Bersikap Teliti Dalam Menghadapi Fitnah"

بــسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله وكفى بالله شهيدا، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له إقرارا به وتوحيدا، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليما مزيدا، أما بعد؛

Sahabat fillah sekalian yang Allah mulyakan…
Walhamdlillah bimasyiatillah wa biidznih, pada pertemuan sebelumnya berkaitan dengan masalah fitnah, telah kita baca bersama nashihat yang berharga dari Asy-Syaikh Muhammad Ibnu 'Abdil Wahhab Al-'Aqil -hafizhahullahu-. Sebagaimana disebutkan dalam tulisan pada laman blog ini dengan tema: (Tidak Masuk ke Dalam Perkara Fitnah Melainkan Dengan Ilmu Yang Benar).   

Dimana telah disebutkan oleh beliau -hafizhahullahu- pada pertemuan tersebut akan pentingnya menjaga lisan, agar jangan sampai turut berbicara pada masalah fitnah melainkan harus diiringi dengan ilmu yang benar. Dan tak lupa juga adanya satu hal yang perlu diperhatikan, yakni: memperhatikan antara mashlahat (kebaikan) dan madharat (kerusakan) dalam setiap ucapan yang keluar dari lisan kita.  

Dan tentunya bukan hanya sekedar ucapan, akan tetapi semua yang bersifat perbuatan. Baik itu perbuatan lisan, hati maupun tangan. Perbuatan lisan adalah menjaga agar jangan sampai menjatuhkan diri kepada ucapan-ucapan yang mengundang keruhnya suasana. Adapun perbuatan hati, hendaknya seseorang menjaga hatinya agar jangan sampai tersisip benih-benih kebencian kepada saudaranya sesama muslim. Dan adapun perbuatan tangan adalah dengan menjaga tulisan-tulisannya agar jangan sampai turut melibatkan diri pada perkara-perkara yang bukan porsinya untuk menulis, sehingga mengakibatkan berbagai mafsadah, kerusakan dan semakin mengobarkan api fitnah terhadap sesama muslim.

Kamis, 29 September 2016

018. Marfu' & Maqthu' (Bag - Satu).



PERTEMUAN : KE-DELAPAN BELAS
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"MARFU' & MAQTHU' BAGIAN SATU"

Berkata An-Nazhim imam Al-Baiquniy rahimahullahu:

وَمَا أُضِيْفَ لِلنَّبِيِّ "المَرْفُوْعُ"  *  وَمَا لِتَابِعٍ هُوَ "المَقْطُوْعُ"

Apa-apa yang disandarkan kepada nabi adalah "marfu'" * dan apa-apa yang disandarkan kepada tabi'in adalah "maqthu'"

*****

Kemudian berkata Asy-Syaikh Ibnu Al-'Utsaimin rahimahullahu:

ذَكَرَ المُؤَلِّفُ رَحِمَهُ اللهُ نَوْعَيْنِ مِنْ أَنْوَاعِ الحَدِيْثِ، وَهُمَا: "المَرْفُوْعُ - وَالمَقْطُوْعُ"، وَهُمَا القِسْمُ الرَّابِعُ وَالخَامِسُ مِمَّا ذُكِرَ فِيْ النَّظْمِ.

Imam Al-Baiquniy rahimahullahu menyebutkan dua jenis dari jenis-jenis hadits, kedua jenis tersebut adalah "Al-Marfu' dan Al-Maqthu'". Dan kedua jenis ini adalah bagian yang ke-empat dan ke-lima dari bagian-bagian yang telah disebutkan dalam nazham ini.  

Kesimpulan (pent).
Dari apa yang telah kita pelajari pada Nazham Al-Baiquniyah ini, kita telah mengetahui tiga jenis hadits, yaitu:

Senin, 19 September 2016

Khabar Ahad Adalah Hujjah.



KHABAR AHAD ADALAH HUJJAH

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله وكفى بالله شهيدًا، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له إقرارًا به وتوحيدًا، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليمًا مزيدًا، أما بعد..

Definisi Khabar Ahad.

الآحاد جمع أحد بمعنى واحد، والواحد هو الفرد.

Kata الآحاد adalah bentuk jamak dari kata أحد. Dan أحد bermakna satu. Dan satu adalah tunggal. [Al-Mishbah Al-Munir: 650-651].

وفي اصطلاح الأصوليين هو: ما عدا المتواتر، فيشمل كل خبر لم تتوفر فيه شروط المتواتر.

Dan menurut isthilah ahli ushul, adalah: lawan Khabar Mutawatir. Sehingga mencakup semua khabar yang tidak terpenuhi padanya syarat-syarat Mutawatir. [Ma'alim Ushul: 141, & Al-Faqih Wal Mutafaqqih: 1/96, & Raudhah An-Nazhir: 1/260].

Syarat Diterimanya Khabar Ahad.

يشترط في حديث الآحاد للاحتجاج به أن تتوفر فيه تسعة شروط تتعلق بأمور ثلاثة:

Dipersyaratkan pada Hadits Ahad, untuk berhujjah dengan khabar tersebut, harus terpenuhi padanya sembilan (9) syarat yang terkait dengan tiga (3) perkara:

* الأول: الراوي، ويشترط فيه أربعة شروط: الإسلام، والتكليف، والعدالة، والضبط ولا يشترط غير ذلك.

Perkara pertama.
Berkaitan dengan perawi. Dipersyaratkan padanya empat (4) syarat: islam, terkena beban (yakni: aqil dan baligh), 'adil dan dhabth. Tidak dipersyaratkan selain itu.  

فلا يشترط في الراوي أن يكون فقيهًا، لقوله -صلى الله عليه وسلم- : «فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ».

Tidak dipersyaratkan pada seorang perawi harus ahli fiqih. Berdasarkan sabda nabi shalallahu n'alaihi wasallam: "Bisa jadi seorang pembawa fiqih menyampaikan kepada seseorang yang lebih faqih darinya. Bisa jadi juga seorang pembawa fiqih namun ia bukan seorang yang faqih", [HR: At-Tirmidzi:2656].

* الثاني: السند، ويشترط فيه ثلاثة شروط: الاتصال وعدم الانقطاع، وعدم الشذوذ، وعدم العلة.

Perkara kedua.
Berkaitan dengan sanad. Dipersyaratkan padanya tiga (3) syarat: bersambung dan tidak terputus, tidak syadz dan tidak cacat.

* الثالث: المتن، ويشترط فيه شرطان: عدم الشذوذ، وعدم العلة.

Perkara ketiga.
Berkaitan dengan matan (lafazh hadits). Dipersyaratkan padanya dua (2) syarat: tidak syadz dan tidak cacat.

Khabar Ahad Adalah Hujjah.

Di antara dalil-dalil yang mewajibkan beramal dengan Khabar Ahad:

1). ما تواتر عنه - صلى الله عليه وسلم - من إنفاذه أمراءَه ورسله وقضاته وسعاته إلى الأطراف لتبليغ الأحكام وأخذ الصدقات ودعوة الناس.

Pertama.
Apa-apa yang mutawatir dari nabi shallallahu 'alaihi wasallam berupa pengiriman para umara, para utusan, para qadhi dan para petugas zakat ke berbagai penjuru untuk menyampaikan hukum-hukum dan mengambil shadaqah dan mendakwahi manusia. [Ma'alim Ushul: 142, & Ar-Risalah: 310, & Raudhah An-Nazhir: 277, & Tuhfah Ath-Thalib: 197].

قال الشافعي: "ولم يكن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ليبعث إلا واحدًا؛ الحجة قائمة بخبره على من بعثه إن شاء الله".

Berkata Asy-Syafi'i rahimahullahu: "Tidaklah nabi shallallahu 'alaihi wasallam hendak mengutus melainkan hanya seorang saja. Hujjah-pun tegak dengan khabar tersebut atas orang yang beliau mengutusnya insya Allah. [Ar-Risalah: 415].

2). إجماع الصحابة رضي الله عنهم على قبول خبر الواحد عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - واشتهار ذلك عنهم في وقائع كثيرة، إن لم يتواتر آحادها حصل العلم بمجموعها.

Kedua.
Ijma' para shahabat radhiallahu 'anhum akan diterimanya khabar satu orang dari nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan masyhurnya hal tersebut dari mereka dalam banyak kejadian. Jikapun tidak mutawatir secara personnya, namun terhasilkan ilmu dengan keseluruhannya. [Al-Kifayah: 45, & Raudhah An-Nazhir: 268, & Ma'alim Ushul: 142].

ومن ذلك تحول أهل قباء إلى القبلة بخبر واحد.

Di antara contoh hal tersebut adalah berpindahnya ahli Quba ke kiblat dengan khabar satu orang.

Sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu 'Umar radhiallahu 'anhuma:

بَيْنَمَا النَّاسُ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ بِقُبَاءٍ إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ: «إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِ اُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ، وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبِلُوهَا، وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّامِ، فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ».

Tatkala manusia sedang dalam keadaan shalat shubuh di masjid Quba, tiba-tiba datanglah seseorang kemudian ia berkata: "sesungguhnya semalam telah diturunkan wahyu kepada rasul Allah shallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau telah diperintahkan untuk menghadap kiblat. Maka merekapun langsung menghadap kiblat. Dimana sebelumnya wajah-wajah mereka menghadap ke Syam, kemudian memutar ke ka'bah". [HR: Muslim: 12].  

قال الشافعي رحمه الله: "ولو كان ما قبلوا من خبر الواحد عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - في تحويل القبلة -وهو فرض- مما يجوز لهم؛ لقال لهم -إن شاء الله- رسول الله: قد كنتم على قبلة، ولم يكن لكم تركها إلا بعد علم تقوم عليكم به حجة، من سماعكم مني، أو خبر عامة، أو أكثر من خبر واحد عني".

Berkata Imam Asy-Syafi'i rahimahullahu: "Andaikata mereka (para shahabat) tidak menerima khabar ahad dari rasul Allah shallallahu 'alaihi wasallam -dan hal tersebut adalah kewajiban- adalah termasuk perkara yang boleh bagi mereka, niscaya -insya Allah- rasul Allah shallallahu 'alaihi wasallam akan berkata kepada mereka: sungguh kalian telah menghadap kiblat, tidaklah kalian meninggalkannya melainkan setelah datang ilmu yang tegak dengannya hujjah berupa mendengarnya kalian dariku atau khabar khalayak atau lebih dari khabar ahad dariku." [Ar-Risalah: 408].  

3). قوله تعالى: {وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ} [التوبة: 122].

Ketiga.
Firman Allah Ta'ala: {Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semua pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka, dan agar mereka memberi peringatan kepada kaumnya tatkala mereka kembali, agar mereka bisa menjaga diri}. [QS: At-Taubah: 122].

Pendalilan menggunakan ayat ini adalah berdasarkan dua sisi:

الأول: أن الله أمر الطائفة -وهي تقع على القليل والكثير- إنذار قومهم، وهذا دليل على أن على قومهم المنذَرين قبوله.

Sisi pertama.
Sesungguhnya Allah memerintahkan الطائفة (sekelompok orang) -dan kata thoifah bisa sedikit bisa banyak- untuk memberi peringatan kepada kaumnya. Ini adalah dalil bahwa bagi kaum mereka yang mendapat peringatan untuk menerimanya.   

والثاني: أن قوله: {لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ} معناه إيجاب الحذر، ولولا قيام الحجة عليهم ما استوجبوا الحذر.

Sisi kedua.
Bahwa firman Allah: لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (agar mereka berhati-hati), maknanya adalah kewajiban untuk berhati-hati. Apabila tidak tegak hujjah kepada mereka, niscaya mereka tidak diwajibkan untuk berhati-hati.  

017. Hadits Dha'if Bagian Dua.



PERTEMUAN : KE-TUJUH BELAS
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"HADITS DHA'If BAGIAN DUA"

Berkata Asy-Syaikh Ibnu Al-'Utsaimin rahimahullahu:

أَمَّا الضَّعِيْفُ فَهُوَ: مَا لَيْسَ بِصَحِيْحٍ وَلَا حَسَنٍ.

Adapun Hadits Dha'if yaitu: hadits yang tidak shahih dan tidak pula hasan.

وَجَمِيْعُ هَذِهِ الْأَقْسَامِ مَقْبُوْلَةٌ مَا عَدَا الضَّعِيْفَ، وَكُلُّهَا حُجَّةٌ مَا عَدَا الضَّعِيْفَ.

Dan semua bagian-bagian hadits ini adalah maqbul (diterima) selain hadits dha'if. Semuanya adalah hujjah (argumentasi) terkecuali hadits dha'if.

وَجَمِيْعُ هَذِهِ الأَقْسَامِ يَجُوْزُ نَقْلُهُ لِلنَّاسِ وَالتَّحْدِيْثُ بِهَا؛ لِأَنَّهَا كُلُّهَا مَقْبُوْلَةٌ وَحُجَّةٌ، مَا عَدَا الضَّعِيْفَ، فَلَا يَجُوْزُ نَقْلُهُ، أَوِ التَّحَدُّثُ بِهِ، إِلَّا مُبَيَّناً ضَعْفُهُ، لِأَنَّ الَّذِيْ يَنْقُلُ الحَدِيْثَ الضَّعِيْفَ، بِدُوْنِ أَنْ يُبَيِّنَ ضَعْفَهُ لِلنَّاسِ، فَهُوَ أَحَدُ الكَاذِبِيْنَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لِمَا رَوَى مُسْلِمٌ فِيْ صَحِيْحِهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيْثٍ، يَرَى أَنَّهُ كُذْبٌ، فَهُوَ أَحَدُ الكَاذِبِيْنَ". وَفِيْ حَدِيْثٍ آخَر: "مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ".

Semua bagian-bagian ini boleh disampaikan kepada manusia dan mengkhabarkan dengan hadits-hadits tersebut; karena semua bagian tersebut adalah maqbul (diterima) dan hujjah. Selain hadits yang dha'if (lemah). Tidak boleh menyampaikan hadits dha'if atau mengkhabarkan hadits dha'if tersebut terkecuali beriringan dengan menjelaskan kelemahannya. Karena yang menukilkan hadits dha'if dengan tanpa menjelaskan kepada manusia, ia termasuk salah satu dari kalangan para pendusta atas nama nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh imam Muslim rahimahullah dalam shahih beliau, bahwa nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 

"مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ، يَرَى أَنَّهُ كَذْبٌ، فَهُوَ أَحَدُ الكَاذِبِيْنَ".

"Barang siapa menyampaikan suatu hadits dariku dan ia mengetahui bahwa itu dusta, maka ia termasuk salah satu dari kalanagn para pendusta." [HR: Muslim: 1].

Dan dalam hadits yang lain, nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ".

"Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatilah tempat duduknya dari api neraka." [HR: Al-Bukhari: 1291, & Muslim: 3].

إِذاً فَلَا تَجُوْزُ رِوَايَةُ الحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ إِلَّا بِشَرْطٍ وَاحِدٍ، وَهُوَ: أَنْ يُبَيِّنَ ضَعْفَهُ لِلنَّاسِ، فَمَثَلاً؛ إِذَا رَوَى حَدِيْثاً ضَعِيْفاً، قَالَ: رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا الحَدْيِثُ وَهُوَ ضَعِيْفٌ.

Jadi, tidak boleh meriwayatkan hadits dha'if melainkan dengan satu syarat, yaitu: ia menjelaskan sisi kelemahan hadits tersebut kepada manusia. Sebagai contoh; apabila seseorang meriwayatkan suatu hadits yang lemah, ia mengatakan: hadits ini telah diriwayatkan dari nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan ini adalah hadits yang lemah.  

وَاسْتَثْنَى بَعْضُ العُلَمَاءِ الأَحَادِيْثَ الَّتِيْ تُرْوَى فِيْ التَّرْغِيْبِ وَالتَّرْهِيْبِ، فَأَجَازُوْا رِوَايَةَ الضَّعِيْفِ مِنْهَا لَكِنْ بِأَرْبَعَةِ شُرُوْطٍ:

Sebagian ulama ada yang memperkecualikan hadits-hadits yang diriwayatkan seputar targhib (motivasi) dan tarhib (kecaman), mereka membolehkan riwayat lemah dari hadits-hadits tersebut dengan empat (4) syarat:

1). أَنْ يَكُوْنَ الحَدِيْثُ فِيْ التَّرْغِيْبِ وَالتَّرْهِيْبِ.

Pertama.
Hadits tersebut seputar targhib (motivasi) dan tarhib (kecaman).

2). أَلَّا يَكُوْنَ الضَّعِيْفُ شَدِيْداً، فَإِنْ كَانَ شَدِيْداً فَلَا تَجُوْزُ رِوَايَتُهُ، وَلَوْ كَانَ فِيْ التَّرْغِيْبِ وَالتَّرْهِيْبِ.

Kedua.
Jenjang kelemahan haditsnya bukan syadid (berat). Apabila syadid, maka tidak boleh meriwayatkannya, walaupun seputar targhib (motivasi) dan tarhib (kecaman).   

3). أَنْ يَكُوْنَ الحَدِيْثُ لَهُ أَصْلٌ صَحِيْحٌ ثَابِتٌ فِيْ الْكِتَابِ أَوِ السُّنَّةِ، مِثَالُهُ: لَوْ جَاءَنَا حَدِيْثٌ يُرَغِّبُ فِيْ بِرِّ الوَالِدَيْنِ، وَحَدِيْثٌ آخَرُ يُرَغِّبُ فِيْ صَلَاةِ الجَمَاعَةِ، وَآخَرُ يُرَغِّبُ فِيْ قِرَاءَةِ القُرْآنِ، وَكُلُّهَا أَحَادِيْثُ ضَعِيْفَةٌ، وَلَكِنْ قَدْ وَرَدَ فِيْ بِرِّ الوَالِدَيْنِ، وَفِيْ صَلَاةِ الجَمَاعَةِ، وَفِيْ قِرَاءَةِ القُرْآنِ أَحَادِيْثُ صَحِيْحَةٌ ثَابِتَةٌ فِيْ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.

Ketiga.
Hadits tersebut memiliki asal yang shahih lagi tsabit dalam kitab dan sunnah. Misalnya: apabila datang suatu hadits yang memotivasi untuk berbuat baik terhadap kedua orang tua, dan hadits yang lain memotivasi untuk shalat berjama'ah, dan hadits yang lain memotivasi untuk membaca Al-Qur'an, semuanya adalah hadits-hadits dha'if. Akan tetapi telah datang hadits-hadits (atau hujjah-hujah) shahih lagi tsabit dalam kitab dan sunnah mengenai berbuat baik kepada kedua orang tua dan shalat berjama'ah dan membaca Al-Qur'an. 

Selasa, 06 September 2016

Khabar Mutawatir Bagian Kedua.



KHABAR MUTAWATIR BAG-DUA

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله وكفى بالله شهيدًا، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له إقرارًا به وتوحيدًا، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليمًا مزيدًا، أما بعد..

Derajat Khabar Al-Mutawatir.

الخبر المتواتر يفيد العلم اليقيني، وهذا أمر متفق عليه بين العقلاء، إذ حصول العلم بالخبر المتواتر أمر يضطر إليه الإنسان، لا حيلة له في دفعه. هذا بالنسبة للمتواتر من الأخبار.

Khabar Mutawatir memberikan faidah ilmu yaqin, ini adalah perkara yang disepakati di kalangan orang-orang yang berakal. Karena terhasilkannya ilmu melalui khabar mutawatir adalah perkara yang manusia terdesak untuk mengetahuinya, tidak ada celah untuk mengelak. Ini adalah dari sisi mutawatir dari berbagai khabar (baik hadits maupun atsar). [Ma'alim Ushul: 138, Raudhah An-Nazhir: 1/250, & Syarh Al-Kaukab Al-Munir: 2/317].  

أما المتواتر من الحديث: فإنه كذلك يفيد العلم ويوجب العمل، والعبرة في التواتر بأهل العلم بالحديث والأثر، كما قرر ذلك ابن تيمية وابن القيم في النصين السابقين.

Adapun mutawatir dari hadits: ia juga memberikan faidah ilmu dan mengharuskan amal. Dan yang teranggap dalam masalah mutawatir hanyalah ahli ilmu hadits dan atsar. Sebagaimana telah dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Al-Qayyim Allahu yarhamuhuma pada dua keterangan yang telah lalu. (Pada pertemuan ke satu).

أما حكم العمل به: فلا شك أن الحديث المتواتر قسم من أقسام السنة، والسنة حجة.

Adapun hukum beramal berdasarkan Hadits Mutawatir: tidak diragukan bahwa Hadits Mutawatir termasuk bagian dari bagian-bagian sunnah, sementara sunnah adalah hujjah (argumen). [Jami' Bayan Al-'Ilmi wa Fadhlihu: 2/33-34].
Mubaarok Al-Atsary. Diberdayakan oleh Blogger.