PERTEMUAN : KE-SEMBILAN BELAS
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"MARFU' & MAQTHU'
BAGIAN DUA"
Berkata An-Nazhim imam Al-Baiquniy rahimahullahu:
"وَمَا لِتَابِعٍ هُوَ المَقْطُوْعُ"
Dan
apa-apa yang disandarkan kepada tabi'in adalah "Al-Maqthu'"
وَهَذَا
هُوَ القِسْمُ السَّابِعُ. وَالمَقْطُوْعُ هُوَ: مَا أُضِيْفَ إِلَى التَّابِعِيِّ
وَمَنْ بَعْدَهُ، هَكَذَا سَمَّاهُ أَهْلُ العِلْمِ بِالحَدِيْثِ. سُمِيَ بِذَلِكَ
لِأَنَّهُ: مُنْقَطِعٌ فِيْ الرُّتْبَةِ عَنِ المَرْفُوْعِ وَعَنِ المَوْقُوْفِ.
Ini
adalah bagian yang ke tujuh. Dan Al-Maqthu' yaitu: apa-apa yang disandarkan
kepada tabi'i dan yang setelahnya. Demikian ahli ilmu terhadap hadits
menamainya. Dinamakan demikian, karena ia: munqathi' (terputus) dalam tingkatan
dari Al-Marfu' dan dari Al-Mauquf.
مِثْلُ:
مَا لَوْ نُقِلَ كَلَامٌ عَنِ الحَسَنِ البَصْرِيِّ رَحِمَهُ اللهُ، فَنَقُوْلُ عَنْهُ:
هَذَا أَثَرٌ مَقْطُوْعٌ.
Seperti:
apabila dinukil suatu ucapan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu, maka kita
katakan mengenai penukilan tersebut: ini adalah atsar Maqthu'.
وَمَا
أُضِيْفَ إِلَى الصَّحَابِيِّ نَوْعَانِ:
Dan
apa-apa yang disandarkan kepada shahabat, ia terbagi menjadi dua:
1). مَا ثَبَتَ لَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ، فَإِنَّهُ يُسَمَّى عِنْدَهُمُ
المَرْفُوْعَ حُكْماً.
Pertama.
Apa-apa
yang memiliki hukum Marfu'. Maka ia dinamakan Marfu secara hukum menurut ahli
ilmu hadits.
2). وَمَا لَمْ يَثْبُتْ لَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ، فَإِنَّهُ يُسَمَّى
مَوْقُوْفاً.
Kedua.
Apa-apa
yang tidak memiliki hukum Marfu'. Maka ia dinamakan Mauquf.
فَالآثَارُ
الَّتِيْ تُرْوَى عَنْ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- أَوْ عَنْ
أَيِّ وَاحِدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ، نُسَمِّيْهَا مَوْقُوْفَةً، وَهَذَا هُوَ الاِصْطِلَاحُ،
وَلَا مُشَاحَةَ فِيْ الاِصْطِلَاحِ، وَإِلَّا فَإِنَّهُ مِنَ المَعْلُوْمِ أَنَّهُ
يَصِحُّ أَنْ نَقُوْلَ حَتَّى فِيْ المَرْفُوْعِ أَنَّهُ مَوْقُوْفٌ، لِأَنَّهُ وَقَفَ
عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَكِنْ هَذَا اصْطِلَاحٌ وَلَا
مُشَاحَةَ فِيْ الاِصْطِلَاحِ.
Atsar-atsar
yang diriwayatkan dari Abu Bakr dan Umar radhiallahu 'anhuma atau siapapun dari
kalangan shahabat, kita menamainya Mauquf. Dan ini hanyalah sekedar istilah, tidak
perlu dipertentangkan pada istilah tersebut. Jikapun tidak, bahwasannya
termasuk perkara yang maklum, sesungguhnya tidak mengapa apabila kita katakan hingga
pada Marfu', sesungguhnya ia adalah Mauquf, karena ia waqaf (berhenti) di sisi
nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Akan tetapi ini hanyalah istilah, dan tidak
perlu dipertentangkan pada istilah tersebut.
وَالعُلَمَاءُ
قَالُوْا فِيْ الضَّابِطِ فِيْ المَرْفُوْعِ حُكْماً، هُوَ: الَّذِيْ لَيْسَ لِلْاِجْتِهَادِ
وَالرَّأْيِ فِيْهِ مَجَالٌ، وَإِنَّمَا يُؤْخَذُ هَذَا عَنِ الشَّرْعِ.
Dan
para ulama mengatakan mengenai dhabith pada Marfu' secara hukum, ia adalah:
sesuatu yang tidak ada celah padanya untuk berijtihad dan berpendapat, sesuatu
tersebut hanyalah diambil dari syariat.
مِثْلُ:
مَا إِذَا حَدَّثَ الصَّحَابِيُّ عَنْ أَخْبَارِ يَوْمِ القِيَامَةِ، أَوِ الأَخْبَارِ
الغَيْبِيَّةِ، فَإِنَّنَا نَقُوْلُ فِيْهِ: هَذَا مَرْفُوْعٌ حُكْماً؛ لِأَنَّهُ
لَيْسَ لِلْاِجْتِهَادِ فِيْهِ مَجَالٌ، وَكَذَلِكَ لَوْ أَنَّ الصَّحَابِيَّ فَعَلَ
عِبَادَةً لَمْ تَرِدْ بِهَا السُّنَّةُ، لَقُلْنَا: هَذَا أَيْضاً مَرْفُوْعٌ حُكْماً.
Seperti:
apabila seorang shahabat bercerita tentang khabar hari kiamat atau khabar
ghaib, maka kita katakan pada hal tersebut: ini adalah Marfu' secara hukum;
karena tidak ada celah untuk berijtihad padanya. Demikian juga apabila seorang
shahabat melakukan ibadah yang tidak datang suatu sunnah mengenai hal tersebut,
niscaya kita katakan: ini juga Marfu' secara hukum.
وَمَثَّلُوْا
لِذَلِكَ: بِأَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِيْ طَالِبٍ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- صَلَّى فِيْ
صَلَاةِ الكُسُوْفِ، فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ ثَلَاثَ رُكُوْعَاتٍ، مَعَ أَنَّ السُّنَّةَ
جَاءَتْ بِرُكُوْعَيْنِ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ، وَقَالُوْا: هَذَا لَا مَجَالَ لِلرَّأْيِ
فِيْهِ، وَلَا يُمْكِنُ فِيْهِ اجْتِهَادٌ، لِأَنَّ عَدَدَ الرَّكْعَاتِ أَمْرٌ تَوْقِيْفِيٌّ
يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيْلٍ مِنَ الكِتَابِ أَوِ السُّنَّةِ، فَلَوْلَا أَنَّ عِنْدَ
عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- عِلْماً بِهَذَا مَا صَلَّى
ثَلَاثَ رُكُوْعَاتٍ فِيْ رَكْعَةٍ وَاحِدَةٍ، فَهَذَا مَرْفُوْعٌ حُكْماً؛ لِأَنَّهُ
لَا مَجَالَ لِلْاِجْتِهَادِ فِيْهِ.
Dan
para ulama membuat contoh untuk hal tersebut: bahwa shahabat Ali Ibnu Abi
Thalib radhiallahu 'anhu shalat pada shalat kusuf. Di setiap raka'at dengan
tiga ruku'. Padahal sunnah telah datang dengan dua ruku' pada setiap raka'at. Para
ulama mengatakan: ini adalah perkara yang tidak ada celah untuk berpendapat
padanya, dan tidak mungkin untuk berijtihad. Karena bilangan ruku' adalah
perkara tauqifi yang butuh kepada dalil dari kitab dan sunnah. Apabila shahabat Ali Ibnu Abi Thalib
radhiallahu 'anhu tidak memiliki pengetahuan mengenai hal ini, niscaya beliau
tidak akan shalat dengan tiga ruku' di satu raka'at. Maka ini adalah Marfu'
secara hukum. Karena tidak ada celah untuk berijtihad padanya.
وَكَذَلِكَ
إِذَا قَالَ الصَّحَابِيُّ: مِنَ السُّنَّةِ كَذَا، فَإِنَّهُ مَرْفُوْعٌ حُكْماً؛
لِأَنَّ الصَّحَابِيَّ إِذَا قَالَ: مِنَ السُّنَّةِ، فَإِنَّمَا يَعْنِيْ بِهِ سُنَّةَ
الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَقَوْلِ ابْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا- حِيْنَ قَرَأَ الفَاتِحَةَ فِيْ صَلَاةِ الجَنَازَةِ وَجَهَرَ بِهَا،
قَالَ: لِتَعْلَمُوْا أَنَّهَا سُنَّةٌ، أَوْ لِيَعْلَمُوْا أَنَّهَا سُنَّةٌ.
Demikian
juga apabila seorang shahabat berkata: "termasuk perkara sunnah adalah
begini", maka ia adalah Marfu' secara hukum. Karena apabila seorang
shahabat berkata: "termasuk perkara sunnah", yang ia maksud
dengan hal tersebut hanyalah sunnah rasul shallallahu 'alaihi wasallam. Seperti
perkataan Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhuma tatkala membaca fatihah pada shalat
janazah dan beliau menjaharkan (mengeraskan) bacaan tersebut, beliau berkata:
hendaknya kalian ketahui sesungguhnya hal tersebut adalah sunnah, atau
hendaknya mereka mengetahui sesungguhnya hal tersebut adalah sunnah.
وَكَمَا
قَالَ أَنَسٌ بْنُ مَالِكٍ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-: مِنَ السُّنَّةِ إِذَا تَزَوَّجَ
البِكْرُ عَلَى الثَّيِّبِ، أَقَامَ عِنْدَهَا سَبْعاً، فَهَذَا وَأَمْثَالُهُ يَكُوْنُ
مِنَ المَرْفُوْعِ حُكْماً؛ لِأَنَّ الصَّحَابِيَّ لَا يُضِيْفُ السُّنَّةَ إِلَّا
إِلَى سُنَّةِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Demikian
juga sebagaimana Anas Ibnu Malik radhiallahu 'anhu berkata: "termasuk
perkara sunnah adalah apabila seorang perawan menikah dengan pria yang telah
menikah, maka sang suami tinggal bersama wanita tersebut selama tujuh hari".
Ini dan yang semisalnya, ia adalah termasuk Marfu' secara hukum; karena seorang
shahabat tidak akan menyandarkan sunnah melainkan hanya kepada sunnah rasul
shallallahu 'alaihi wasallam.
وَأَيْضاً
لَوْ أَخْبَرُ أَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ عَنِ الجَنَّةِ وَالنَّارِ، لَقُلْنَا: هَذَا
مَرْفُوْعٌ حُكْماً، إِلَّا أَنَّهُ يُشْتَرَطُ فِيْ هَذَا النَّوْعِ: أَلَّا يَكُوْنَ
الصَّحَابِيُّ مِمَّنْ عُرِفَ بِكَثْرَةِ الْأَخْذِ عَنْ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ.
Dan
juga, apabila seorang shahabat mengkhabarkan tentang jannah atau neraka,
niscaya kita katakan: ini adalah Marfu' secara hukum. Hanya saja dipersyaratkan
pada jenis ini (mengenai syurga dan neraka): shahabat tersebut bukan seorang
yang diketahui banyak mengambil dari Bani Israil.
فَإِنْ
كَانَ مِمَّنْ عُرِفُوْا بِذَلِكَ، فَإِنَّهُ لَا يُعْتَبَرُ لَهُ حُكْمَ الرَّفْعِ؛
لِاحْتِمَالِ أَنْ يَكُوْنَ مَا نَقَلَهُ عَنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ، وَهَؤُلَاءِ كَثِيْرُوْنَ،
أَمْثَالُ: عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو بْنِ العَاصِ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- فَإِنَّهُ
أَخَذَ جُمْلَةً كَبِيْرَةً عَنْ كُتُبِ أَهْلِ الكِتَابِ فِيْ غَزْوَةِ اليَرْمُوْكِ،
مِمَّا خَلَّفَهُ الرُّوْمُ أَوْ غَيْرُهُمْ، لِأَنَّ فِيْ هَذَا رُخْصَةٌ، فَإِذَا
عُرِفَ الصَّحَابِيُّ بِأَنَّهُ يَنْقُلُ عَنْ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ، فَإِنَّهُ لَا
يَكُوْنُ قُوْلُهُ مَرْفُوْعاً حُكْماً.
Apabila
shahabat tersebut termasuk yang diketahui dengan demikian, maka khabarnya
(mengenai jannah dan nar_pent) tidak dianggap sebagai hukum Marfu';
karena mengandung kemungkinan apa yang ia nukilkan adalah dari Bani Israil. Dan
mereka banyak, seperti: Abdullah Ibnu 'Amr Ibnu Al-'Ash radhiallahu 'anhu,
sesungguhnya ia mengambil dalam jumlah yang besar dari buku-buku ahli kitab
pada perang Yarmuk, yang merupakan peninggalan bangsa Rum atau selain mereka. Karena
pada yang seperti ini (yakni mengambil khabar dari Bani Israil_pent)
tedapat rukhsah (keringanan). Maka apabila seorang shahabat telah diketahui
bahwa ia menukil dari Bani Israil, sesungguhnya ucapannya bukanlah Marfu secara
hukum.
Wallahu a’lam bish shawab wa baarakallahu fikum.
Ditulis oleh :
Kamis -
05 - Muharram - 1438 H / 06 - 10 - 2016 M
0 komentar:
Posting Komentar