PERTEMUAN : KE-DUA PULUH DUA
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"AL-MUTTASHIL"
Berkata
imam Al-Baiquniy rahmatullahi 'alaihi:
ومَا بِسَمْعِ كُلِّ رَاوٍ يَتَّصِلْ
* إِسنَادُهُ للمُصْطَفَى فالُمتَّصِلْ
Dan apa-apa
yang didengar oleh setiap perawi yang bersambung * sanadnya kepada Al-Musthafa,
maka ia adalah muttashil
قَوْلُهُ: "المُصْطَفَى" مَأْخُوْذَةٌ
مِنَ الصَّفْوَةِ، وَهِيَ خِيَارُ الشَّيْءِ، وَأَصْلُهَا فِيْ اللُّغَةِ "المُصْتَفَى"
بِالتَّاءِ.
Perkataan imam
Al-Baiquniy rahimahullahu: "Al-Musthafa" diambil dari kata
"Ash-Shafwah". Ia adalah: sesuatu yang paling baik. Dan asalnya dalam
bahasa adalah dari kata "Al-Mustafa" dengan huruf "TA".
وَالقَاعِدَةُ: أَنَّهُ إِذَا اجْتَمَعَتِ
الصَّادُ وَالتَّاءُ، وَسَبَقَتْ إِحْدَاهُمَا بِالسُّكُوْنِ فَإِنَّهَا تُقْلَبُ طَاءً
فَتَصِيْرُ "المُصْطَفَى".
Dan kaidah
mengatakan: apabila berkumpul antara "SHAD" dan "TA",
kemudian salah satunya didahului oleh sukun, maka ia berubah menjadi
"THO". Maka jadilah "Al-Musthafa" (dengan THO_pent).
وَاللَّامُ فِيْ قَوْلِهِ "لِلْمُصْطَفَى"
بِمَعْنَى "إِلَى" أَيْ إِلَى المُصْطَفَى.
Dan
"LAM" pada kata "Al-Musthafa", ia bermakna "ILA".
Yakni: kepada "Al-Musthafa".
وَالمُتَّصِلُ هُوَ القِسْمُ السَّابِعُ
مِنْ أَقْسَامِ الحَدِيْثِ المَذْكُوْرِ فَيْ النَّظْمِ.
Dan muttashil
adalah bagian yang ke-tujuh dari bagian-bagian hadits yang disebutkan dalam
nazham.
PERHATIAN.
(pent)
Adapun enam
bagian sebelumnya, yaitu: hadits shahih, hadits hasan, hadits dha'if, marfu',
maqthu' dan musnad.
وَفِيْ تَعْرِيْفِهِ قَوْلَانِ لِأَهْلِ
الْعِلْمِ:
Dan mengenai
definisi muttashil, terdapat dua pendapat di kalangan ahli ilmu.
PENDAPAT
PERTAMA.
فَالمُتَّصِلُ عَلَى كَلَامِ المُؤَلِّفِ
هُوَ: المَرْفُوْعُ الَّذِيْ أَخَذَهُ كُلُّ رَاوِيٍّ عَمَّنْ فَوْقَهُ سَمَاعاً.
Adapun
muttashil berdasarkan ucapan imam Al-Baiquniy rahimahullahu adalah: marfu' yang
diambil oleh setiap perawi dari perawi yang di atasnya dengan kontek sama'
(mendengar).
فَاشْتَرَطَ المُؤَلِّفُ لِلْمُتَّصِلِ
شَرْطَيْنِ:
Maka imam
Al-Baiquniy rahimahullahu mempersyaratkan dua (2) syarat pada muttashil:
1). السَّمَاعُ، بِأَنْ يَسْمَعَ كُلُّ رَاوٍ مِمَّنْ رَوَى عَنْهُ.
Pertama.
Mendengar. Yakni:
setiap perawi mendengar dari perawi yang ia meriwayatkan darinya.
2). أَنْ يَكُوْنَ مَرْفُوْعاً
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لِقَوْلِهِ "لِلْمُصْطَفَى"،
يَعْنِيْ: إِلَى المُصْطَفَى.
Kedua.
Ia harus marfu'
kepada nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Berdasarkan perkataan beliau
"Lil Musthafa", yakni: hingga Al-Musthafa.
وَبِنَاءً عَلَى ذَلِكَ، فَالمَوْقُوْفُ
وَالمَقْطُوْعُ لَا يُسَمَّى مُتَّصِلاً؛ لِأَنَّ المُؤَلِّفَ اشْتَرَطَ أَنْ يَكُوْنَ
مُتَّصِلاً إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَفِيْ المَقْطُوْعِ
وَالمَوْقُوْفِ لَمْ يَتَّصِلِ السَّنَدُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
وَكَذَلِكَ المَرْفُوْعُ إِذَا كَانَ فِيْهِ سَقْطٌ فِي الرُّوَاةِ، فَإِنَّهُ لَا
يُسَمَّى مُتَّصِلاً، لِأَنَّهُ مُنْقَطِعٌ.
Dan dibangun di
atas keterangan ini, maka mauquf dan maqthu' tidak dinamakan muttashil. Karena
imam Al-Baiquniy rahimahullahu mempersyaratkan harus bersambung hingga kepada
nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Adapun pada maqthu' dan mauquf, sanadnya
tidak bersambung kepada nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Demikian juga marfu'
apabila terdapat pada sanadnya perawi yang hilang, maka ia tidak dinamakan
muttashil, karena ia terputus.
وَعَلَى ظَاهِرِ كَلَامِ المُؤَلِّفِ،
إِذَا لَمْ يُصَرِّحِ الرَّاوِيُّ بِالسَّمَاعِ أَوْ مَا يَقُوْمُ مَقَامَهُ، فَلَيْسَ
بِمُتَّصِلٍ، فَلَابُدَّ أَنْ يَكُوْنَ سَمَاعاً، وَالسَّمَاعُ مِنَ الرَّاوِيِّ هُوَ
أَقْوَى أَنْوَاعِ التَّحَمُّلِ، وَهَذَا هُوَ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ المُؤَلِّفُ فِيْ
تَعْرِيْفِ المُتَّصِلِ.
Dan berdasarkan
zhahir perkataan muallif (imam Al-Baiquniy rahimahullahu), apabila perawi tidak
menyatakan dengan jelas dengan konteks sama' (mendengar) atau yang menduduki
kedudukan sama', maka ia bukan muttashil. Muttashil harus dengan kontek sama'
(atau yang menggantikannya_pent). Konteks
sama' dari perawi adalah jenis tahammul yang paling tinggi. Ini adalah pendapat
yang dipegang oleh muallif (imam Al-Baiquniy rahimahullahu) mengenai definisi
muttashil.
PENDAPAT
KEDUA.
وَقِيْلَ: بَلِ الْمُتَّصِلُ هُوَ: مَا
اتَّصَلَ إِسْنَادُهُ، بِأَخْذِ كُلِّ رَاوِيٍّ عَمَّنْ فَوْقَهُ إِلَى مُنْتَهَاهُ.
Dan ada juga
yang berpendapat: bahkan muttashil adalah: apa-apa yang bersambung sanadnya
dengan pengambilan masing-masing perawi dari perawi yang di atasnya hingga
akhir.
وَعَلَى هَذَا فَيَشْمَلَ المَوْقُوْفَ
وَالمَقْطُوْعَ، وَيَشْمَلَ مَا رُوِيَ بِالسَّمَاعِ وَمَا رُوِيَ بِغَيْرِ السَّمَاعِ،
لَكِنْ لَابُدَّ مِنَ الاِتِّصَالِ.
Berdasarkan
pendapat ini, maka muttashil mencakup mauquf dan maqthu'. Dan mencakup yang
diriwayatkan dengan konteks sama' atau selain sama', akan tetapi harus
bersambung.
وَهَذَا أَصَحُّ مِنْ قَوْلِ المُؤَلِّفِ،
وَهُوَ أَنَّ المُتَّصِلَ هُوَ: مَا اتَّصَلَ إِسْنَادُهُ بِأَنْ يَرْوِيَ كُلُّ رَاوِيٍّ
عَمَّنْ فَوْقَهُ، سَوَاءٌ كَانَ مَرْفُوْعاً أَوْ مَوْقُوْفاً أَوْ مَقْطُوْعاً، وَسَوَاءٌ
كَانَتِ الصِّيْغَةُ هِيَ السَّمَاعُ أَوْ غَيْرُ السَّمَاعِ، فَكُلُّ مَا اتَّصَلَ
إِسْنَادُهُ يَكُوْنُ مُتَّصِلاً.
Dan pendapat
kedua ini lebih shahih dari pendapat muallif (imam Al-Baiquniy rahimahullahu),
bahwa muttashil adalah apa-apa yang bersambung sanadnya dengan periwayatan
masing-masing perawi dari yang berada di atasnya, baik ia marfu' atau mauquf
atau maqthu'. Baik dengan konteks sama' atau selain sama'. Setiap yang
bersambung sanadnya, maka ia adalah muttashil.
وَقَدْ سَبَقَ لَنَا خِلَافُ المُحَدِّثِيْنَ
حَوْلَ مَسْأَلَةِ: هَلْ تُشْتَرَطُ المُلَاقَاةُ أَوْ تَكْفِي المُعَاصَرَةُ وَتَقَدَّمَ
الجَوَابُ عَلَيْهِ.
Dan telah
berlalu bersama kita mengenai khilaf ahli hadits seputar masalah: apakah (pada
ittishal_pent) dipersyaratkan mulaqah
(saling bertemu) atau hanya cukup mu'asharah (sezaman), dan telah berlalu
jawaban hal tersebut.
وَلَا يُشْتَرَطُ فِيْ الاِتِّصَالِ أَنْ
يَثْبُتَ سَمَاعُ هَذَا الحَدِيْثِ بِعَيْنِهِ مِنْهُ، بَلْ إِذَا ثَبَتَ سَمَاعُهُ
مِنْهُ فَيَكْفِيْ ذَلِكَ.
Tidak
dipersyaratkan pada ittishal (bersambungnya sanad) harus terbukti mendengar
hadits tersebut secara dzat dari gurunya. Bahkan apabila terbukti perawi telah
mendengar dari gurunya, hal ini telah mencukupi.
إِلَّا إِذَا قِيْلَ: إِنَّهُ لَمْ يَسْمَعْ
مِنْهُ إِلَّا حَدِيْثاً وَاحِداً وَهُوَ حَدِيْثُ كَذَا وَكَذَا –مَثَلاً-، فَإِنَّ مَا سِوَى هَذَا الحَدِيْثِ
لَا يُعَدُّ مُتَّصِلاً.
Terkecuali
apabila dijelaskan: sesungguhnya perawi tersebut tidak mendengar dari gurunya
melainkan hanya satu hadits, yaitu hadits begini dan begini -misalkan-. Maka
selain hadits tersebut tidak terkategorikan muttahsil.
كَمَا قِيْلَ: إِنَّ الحَسَنَ البَصْرِيَّ
لَمْ يَسْمَعْ مِنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ إِلَّا حَدِيْثاً وَاحِداً
وَهُوَ حَدِيْثَ العَقِيْقَةُ، وَبِنَاءً عَلَى هَذَا القُوْلِ: إِذَا رَوَى الحَسَنُ
البَصْرِيُّ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ حَدِيْثاً، سِوَى حَدِيْثِ العَقِيْقَةِ فَهُوَ
غَيْرُ مُتَّصِلٍ.
Sebagaimana dikhabarkan:
bahwa Al-Hasan Al-Bashri rahmatullahi 'alaihi tidak mendengar dari shahabat
Samurah Ibnu Jundub radhiallahu 'anhu melainkan hanya satu hadits saja, yaitu:
hadits aqiqah. Dan dibangun di atas pendapat ini: apabila Al-Hasan Al-Bashri
rahmatullahi meriwayatkan dari Samurah Ibnu Jundub radhiallahu 'anhu suatu
hadits selain hadits aqiqah, maka ia tidak muttashil.
وَالمَسْأَلَةُ فِيْهَا خِلَافٌ بَيْنَ
العُلَمَاءِ، وَلَكِنْ نَقُوْلُ: إِنَّ الحَصْرَ صَعْبٌ، فَكَوْنُنَا نَقُوْلُ: إِنَّ
الحَسَنَ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ سَمُرِةَ إِلَّا حَدِيْثَ العَقِيْقَةِ، فِيْهِ نَوْعُ
صُعُوْبَةٍ جِدّاً، حَتَّى لَوْ فُرِضَ أَنَّ الحَسَنَ قَالَ: لَمْ أَسْمَعْ سِوَى
هَذَا الحَدِيْثِ.
Dan masalah
tersebut terdapat khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan para ulama, akan
tetapi kita katakan: sesungguhnya pembatasan tersebut sulit. Pendapat kita
dengan mengatakan: sesungguhnnya Al-Hasan tidak mendengar dari Samurah selain
hadits aqiqah. Masalah ini sangat rumit. Jikapun kita memastikan bahwa Al-Hasan
telah mengatakan: aku tidak mendengar selain hadits ini.
فَإِنَّنَا نَقُوْلُ: إِنْ كَانَ قَدْ
قَالَ هَذِهِ الْكَلِمَةَ بَعْدَ مَوْتِ سَمُرَةَ، حَكَمْنَا بِأَنَّهُ لَمْ يَسْمَعْ
مِنْ سَمُرَةَ سِوَاهُ، لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ أَنْ يَسْمَعَ مِنْ سَمُرَةَ بَعْدَ
مَوْتِهِ، وَأَمَّا إِذَا كَانَ قَدْ قَالَهُ فِيْ حَالِ حَيَاةِ سَمُرَةَ، فَيُحْتَمَلُ
أَنَّهُ قَالَ لَمْ أَسْمَعْ مِنْ سَمُرَةَ سِوَى هَذَا الحَدِيْثِ، ثُمَّ يَكُوْنُ
قَدْ سَمِعَ بَعْدَ ذَلِكَ حَدِيْثاً آخَرَ. وَاللهُ أَعْلَمُ.
Sesungguhnya
kita katakan: jika beliau telah mengatakan kalimat ini setelah wafatnya
Samurah, maka kita menghukumi bahwa Al-Hasan tidak mendengar dari Samurah
selain hadits tersebut. Karena tidak mungkin Al-Hasan mendengar dari Samurah
setelah wafatnya. Adapun apabila Al-Hasan mengatakan hal tersebut di saat
hidupnya Samurah, maka mengandung kemungkinan bahwa Al-Hasan tidak mendengar
dari Samurah selain hadits ini, kemudian beliau mendengarkan hadits yang lain
setelah itu. Allahu a'lam.
Wallahu a’lam bish shawab wa baarakallahu fikum.
Ditulis oleh :
Kamis -
26 - Muharram - 1438 H / 27 - 10 - 2016 M
0 komentar:
Posting Komentar