PERTEMUAN : KE-DUA PULUH TIGA
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"AL-MUSALSAL"
Berkata
imam Al-Baiquniy rahmatullahi 'alaihi:
مُسَلْسَلٌ، قُلْ: مَا
عَلى وَصْفٍ أتَى * مِثْلُ: أَمَا وَاللهِ أَنْبَأَنِيْ الفَتَى
Musalsal,
katakanlah: ia adalah yang datang dengan satu sifat * Seperti: ketahuilah demi
Allah! Telah memberitakan kepadaku seorang pemuda
Kemudian berkata Asy-Syaikh Ibnu Al-'Utsaimin
rahmatullahi 'alahi:
وَمِنْ
أَقْسَامِ الحَدِيْثِ أَيْضاً "المُسَلْسَلُ"، وَهَذَا هُوَ القِسْمُ الثَّامِنُ
فِيْ النَّظَمِ، وَهُوَ اسْمٌ مَفْعُوْلٌ مِنْ "سَلْسَلَةٍ" إِذَا رَبَطَهُ
فِيْ سَلْسَلَةٍ، هَذَا فِي اللُّغَةِ.
Dan di antara bagian-bagian hadits juga, Al-Musalsal. Ini adalah bagian yang ke-delapan dalam nazham. Ia
(yakni: Al-Musalsal) adalah isim maf'ul dari kata (salsalah) apabila diikatkan
ke rantai, ini adalah secara bahasa.
Adapun ke-tujuh bagian sebelumnya yaitu:
Hadits Shahih, Hadits Hasan, Hadits Dha'if, Marfu', Maqthu',
Musnad dan Muttashil. (pent)
وَفِيْ
الاِصْطِلَاحِ، هُوَ: الَّذِيْ اتَّفَقَ فِيْهِ الرُّوَاةُ، فَنَقَلُوْهُ بِصِيْغَةٍ
مُعَيَّنَةٍ، أَوْ حَالٍ مُعَيَّنَةٍ.
Adapun secara istilah, Al-Musalsal adalah: suatu hadits
yang para periwayatnya bersepakat padanya, mereka menukil hadits tersebut
dengan satu bentuk atau keadaan tertentu.
يَعْنِيْ،
أَنَّ الرُّوَاةَ اتَّفَقُوْا فِيْهِ عَلَى وَصْفٍ مُعَيَّنٍ، إِمَّا وَصْفُ الأَدَاءِ،
أَوْ وَصْفُ حَالِ الرَّاوِيِّ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ.
Yakni, para perawinya bersepakat pada hadits tersebut dengan
satu sifat tertentu. Baik sifat penyampaian atau sifat keadaan perawinya, atau
selain itu.
وَالمُسَلْسَلُ
مِنْ مَبَاحِثِ السَّنَدِ وَالمَتْنِ جَمِيْعاً؛ لِأَنَّ التَّسَلْسُلَ قَدْ يَكُوْنُ
فِيْهِمَا، أَوْ فِيْ أَحَدِهِمَا دُوْنَ الآخَرِ.
Dan masalah Al-Musalsal termasuk pembahasan seputar sanad
sekaligus matan; karena Musalsal bisa terjadi pada kedua hal tersebut (yakni:
sanad dan matan), atau pada salah satunya tidak pada yang lainnya.
وَفَائِدَةُ
المُسَلْسَلِ هُوَ: التَّنْبِيْهُ عَلَى أَنَّ الرَّاوِيَّ قَدْ ضَبَطَ الرِّوَايَةَ،
وَلِذَلِكَ أَمْثِلَةٌ كَثِيْرَةٌ، مِنْهَا: حَدِيْثُ مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ -رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ- أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ:
"إِنِّيْ أُحِبُّكَ، فَلَا تَدَعَنَّ أَنْ تَقُوْلَ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ: اللهم
أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ".
Faidah Al-Musalsal adalah: memberitahukan bahwa sang
perawi menguasai riwayat. Dan ada banyak contoh untuk masalah ini. Di
antaranya: hadits Mu'adz Ibnu Jabal radhiallahu 'anhu bahwa nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda kepada beliau:
"إِنِّيْ أُحِبُّكَ،
فَلَا تَدَعَنَّ أَنْ تَقُوْلَ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ: اللهم أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ
وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ".
"Sungguh aku mencintaimu, maka janganlah engkau lupa
untuk berdo'a setiap akhir shalat: ya Allah! Berilah aku pertolongan untuk
mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu dan baik dalam beribadah kepada-Mu." [HR: Ahmad: 5/254. Dishahihkan Al-Albani
dalam Al-Misykah: 949].
فَقَدْ
تَسَلْسَلَ هَذَا الحَدِيْثُ وَصَارَ كُلُّ رَاوٍ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُحَدِّثَ بِهِ
غَيْرَهُ، قَالَ لِمَنْ يُحَدِّثُهُ هَذِهِ الجُمْلَةَ: "إِنِّي أُحِبُّكَ، فَلَا
تَدَعَنَّ أَنْ تَقُوْلَ..." الحَدِيْثُ.
Sungguh hadits ini telah bertasalsul (berantai), dan
masing-masing perawinya apabila hendak menyampaikan hadits tersebut kepada
selainnya, ia berkata dengan kalimat tersebut kepada yang ia sampaikan hadits
tersebut: "Sungguh aku mencintaimu, maka janganlah engkau lupa untuk
berdo'a…" al-hadits.
فَهَذَا
مُسَلْسَلٌ، لِأَنَّ الرُّوَاةَ اتَّفَقُوْا فِيْهِ عَلَى هَذِهِ الجُمْلَةَ.
Maka ini adalah Musalsal, karena para perawinya
bersepakat dalam hadits tersebut di atas kalimat ini.
وَكَذَلِكَ
لَوْ قَالَ: حَدَّثَنِيْ عَلَى الغَدَاءِ، ثُمَّ إِنَّ هَذَا الرَّاوِيَّ حَدَّثَ الَّذِيْ
تَحْتَهُ وَهُوَ عَلَى الغَدَاءِ، فَقَالَ: حَدَّثَنِيْ فُلَانٌ عَلَى الغَدَاءِ، قَالَ:
حَدَّثَنِيْ فُلَانٌ عَلَى الغَدَاءِ، قَالَ: حَدَّثَنِيْ فُلَانٌ عَلَى الغَدَاءِ،
فَنُسَمِّي هَذَا مُسَلْسَلاً، لِأَنَّ الرُّوَّاةَ اتَّفَقُوْا فِيْهِ عَلَى حَالٍ
وَاحِدَةٍ، فَأَدَّوْا وَهُمْ عَلَى الغَدَاءِ.
Demikian juga apabila perawi berkata: ia telah
menceritakan kepadaku tatkala makan siang. Kemudian perawi ini menyampaikan
hadits kepada yang berada di bawahnya dalam keadaan ia sedang makan siang, ia
berkata: fulan telah menyampaikan kepadaku tatkala makan siang, ia berkata: fulan
telah menyampaikan kepadaku tatkala makan siang, ia berkata: fulan telah
menyampaikan kepadaku tatkala makan siang. Maka yang seperti ini kita
menamainya Musalsal. Karena para perawinya bersepakat padanya di atas satu
keadaan, mereka menyampaikan tatkala makan siang.
وَكَذَلِكَ
إِذَا اتَّفَقَ الرُّوَّاةُ عَلَى صِيْغَةٍ مُعَيَّنَةٍ مِنَ الأَدَاءِ بِحَيْثُ أَنَّهُمْ
كُلُّهُمْ قَالُوْا: أَنْبَأَنِيْ فُلَانٌ، قَالَ: أَنْبَأَنِيْ فُلَانٌ، قَالَ: أَنْبَأَنِيْ
فُلَانٌ، إِلَى نِهَايَةِ السَّنَدِ، فَإِنَّنَا نُسَمِّي هَذَا أَيْضاً مُسَلْسَلاً،
لِاتِّفَاقِ الرُّوَّاةِ عَلَى صِيْغَةٍ مُعَيَّنٍ وَهِيَ "أَنْبَأَنِيْ".
Demikian juga apabila para perawinya bersepakat di atas
suatu bentuk tertentu berupa penyampaian, dimana masing-masing mereka
mengatakan: telah memberitahukan kepadaku fulan. Ia berkata: telah
memberitahukan kepadaku fulan. Ia berkata; telah memberitahukan kepadaku fulan.
Hingga akhir sanad. Maka kita juga menamainya Musalsal. Karena kesepakatan para
perawinya di atas satu bentuk tertentu yaitu: "telah memberitahukan
kepadaku".
Kemudian perkataan imam Al-Baiquniy rahmatullahi 'alaihi:
"مُسَلْسَلٌ قُلْ مَا عَلَى وَصْفٍ أَتَى"
"Musalsal,
katakanlah: ia adalah yang datang dengan satu sifat"
يَعْنِي:
أَنَّ مَا أَتَى عَلَى وَصْفٍ وَاحِدٍ مِنَ الرُّوَّاةِ، سَوَاءٌ كَانَ هَذَا الوَصْفُ
فِيْ صِيْغَةِ الأَدَاءِ، أَوْ فِيْ حَالِ الرَّاوِيِّ، فَإِذَا اتَّفَقَ الرُّوَاةُ
عَلَى شَيْءٍ، إِمَّا فِيْ صِيْغَةِ الأَدَاءِ، أَوْ حَالِ الرَّاوِيِّ، فَإِنَّ ذَلِكَ
يُسَمَّى مُسَلْسَلاً.
Yakni: bahwa hadits yang datang di atas satu sifat dari
para perawinya, baik sifat ini dalam bentuk penyampaian atau mengenai keadaan
perawinya. Apabila para perawinya bersepakat di atas sesuatu , baik pada bentuk
penyampaian atau keadaan perawinya, sesungguhnya hal tersebut dinamakan
Musalsal.
Kemudian perkataan imam Al-Baiquniy rahmatullahi 'alaihi:
"مِثْلُ أَمَا وَاللهِ أَنْبَأَنِيْ الفَتَى"
"Seperti:
ketahuilah demi Allah! Telah memberitakan kepadaku seorang pemuda"
وَقَدْ
تَقَدَّمَ هَذَا المِثَالُ، وَذَلِكَ بِأَنْ يَقُوْلَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ: أَنْبَأَنِيْ
فُلَانٌ، قَالَ: أَنْبَأَنِيْ فُلَانٌ، إِلَى نِهَايَةِ السَّنَدِ، فَإِنَّنَا نُسَمِّي
هَذَا مُسَلْسَلاً؛ لِأَنَّ الرُّوَّاةَ اتَّفَقُوْا فِيْهِ عَلَى صِيْغَةٍ وَاحِدَةٍ
فِيْ الأَدَاءِ، وَمِثْلُهُ: مَا لَوِ اتَّفَقُوْا عَلَى صِيْغَةِ "سَمِعْتُ"،
أَوْ "قَالَ"، أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ، فَإِنَّ كُلَّ هَذَا يُسَمَّى مُسَلْسَلاً.
Telah berlalu contoh ini, yaitu dengan mengatakan masing-masing
perawinya: telah memberitahukan kepadaku fulan. Ia berkata: telah
memberitahukan kepadaku fulan. Hingga akhir sanad. Maka kita menamakannya
Musalsal; karena para perawinya bersepakat pada hadits tersebut di atas satu
bentuk penyampaian. Dan yang semisal itu adalah: suatu hadits yang apabila para
perawinya bersepakat di atas konteks: سَمِعْتُ"" (aku telah
mendengar) atau "قَالَ" (ia telah
berkata) atau yang semisal itu. Maka semua ini dinamakan Musalsal.
Kemudian
berkata imam Al-Baiquniy rahmatullahi 'alaihi:
كَذَاكَ: قدْ حَدَّثَنِيْهِ
قَائِمَا * أَوْ: بَعْدَ أَنْ حَدَّثَنِي تَبَسَّمَا
Demikian
juga: ia telah menceritakan kepadaku dalam keadaan berdiri * atau: setelah
menyampaikan kepadaku hadits, kemudian ia tersenyum
يَعْنِيْ:
أَنَّ مِنْ صُوَرِ المُسَلْسَلِ، أَنْ يَقُوْلَ الرَّاوِيُّ: حَدَّثَنِيْ فُلَانٌ قَائِماً،
قَالَ: حَدَّثَنِيْ فُلَانٌ قَائِماً، قَالَ حَدَّثَنِيْ فُلَانٌ قَائِماً، قَالَ:
حَدَّثَنِيْ فُلَانٌ قَائِماً وَهَكَذَا إِلَى نِهَايَةِ السَّنَدِ.
Yakni: di antara bentuk-bentuk Musalsal, seorang perawi
berkata: telah menceritakan kepadaku fulan dalam keadaan berdiri. Ia berkata:
telah menceritakan kepadaku fulan dalam keadaan berdiri. Ia berkata: telah
menceritakan kepadaku fulan dalam keadaan berdiri. Ia berkata: telah
menceritakan kepadaku fulan dalam keadaan berdiri. Demikian hingga akhir sanad.
وَمِثْلُهُ
مَا لَوْ قَالَ: حَدَّثَنِيْ فُلَانٌ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ عَلَى فِرَاشِهِ، ثُمَّ اتَّفَقَ
الرُّوَّاةُ عَلَى مِثْلِ ذَلِكَ فَإِنَّهُ يَكُوْنُ مُسَلْسَلاً.
Dan yang semisal itu, apabila seorang perawi berkata: telah
menceritakan kepadaku fulan dalam keadaan ia sedang berbaring di atas tempat
tidurnya. Kemudian para perwinya bersepakat dengan keadaan semisal itu. Maka ia
adalah Musalsal.
وَمِنْ
صُوَرِهِ أَنْ يَقُوْلَ: حَدَّثَنِيْ، ثُمَّ تَبَسَّمَ، وَيَسْتَمِرُّ ذَلِكَ فِيْ
جَمِيْعِ السَّنَدِ.
Dan di antara bentuk-bentuk Musalsal juga, seorang perawi
berkata: telah menceritkan kepadaku, kemudian ia tersenyum. Hal tersebut terus
berlanjut pada seluruh sanadnya.
وَلَوْ
أَنَّ الرُّوَّاةَ اتَّفَقُوْا فِيْ رِوَايَةِ حَدِيْثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ، فِيْ قِصَّةِ الرَّجُلِ المُجَامِعِ فِيْ نَهَارِ رَمَضَانَ، الَّذِيْ قَالَ
بَعْدَ أَنْ أَتَتْهُ الصَّدَقَةُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَعَلَى أَفْقَرِ مِنِّي؟ فَوَاللهِ
مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنِّي، فَضِحَكَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ.
Apabila para perawinya bersepakat dalam riwayat hadits
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu tentang kisah seorang yang melakukan jimak (hubungan
suami istri) di siang ramadhan. Yang berkata setelah datang kepadanya sedekah:
ya rasul Allah, apakah sedekah ini diperuntukkan kepada yang lebih faqir
dariku? Demi Allah tidak ada penduduk di antara kedua perbatasan ini yang lebih
faqir dariku. Maka tertawalah nabi shallallahu 'alaihi wasallam hingga nampak
gigi geraham beliau.
فَصَارَ
كُلُّ مُحَدِّثٍ يَضْحَكُ إِذَا وَصَلَ إِلَى هَذِهِ الجُمْلَةِ، حَتَّى تَبْدُوْا
نَوَاجِذُهُ، فَنُسَمِّي هَذَا أَيْضاً مُسَلْسَلاً، لِأَنَّ الرُّوَّاةَ اتَّفَقُوْا
فِيْهِ عَلَى حَالٍ وَاحِدَةٍ، وَهِيَ: الضَّحَكُ.
Kemudian masing-masing muhaddits juga tertawa apabila
sampai pada kalimat tersebut, hingga nampak gigi gerahamnya. Maka kita juga
menamakannya Musalsal. Karena para perawinya bersepakat pada hadits tersebut di
atas satu keadaan, yaitu: tertawa.
مَا
هِيَ الفَائِدَةُ مِنْ مَعْرِفَةِ المُسَلْسَلِ؟
Lalu apa gerangan faidah dari mengetahui Al-Musalsal?
نَقُوْلُ:
إِنَّ مَعْرِفَةَ المُسَلْسَلِ لَهَا فَوَائِدُ، هِيَ:
Kita katakan: sesungguhnya mengetahui masalah Al-Musalsal
memiliki beberapa faidah, yaitu:
أَوَّلاً:
هُوَ فِيْ الحَقِيْقَةِ فَنٌّ طَرِيْفٌ، حَيْثُ إِنَّ الرُّوَّاةَ يَتَّفِقُوْنَ فِيْهِ
عَلَى حَالٍ مُعَيَّنَةٍ لَاسِيَمَا إِذَا قَالَ: حَدَّثَنِيْ وَهُوَ عَلَى فِرَاشِهِ
نَائِمٌ، حَدَّثَنِيْ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ، حَدَّثَنِيْ وَهُوَ يَأْكُلُ، حَدَّثَنِيْ
ثُمَّ تَبَسَّمَ، حَدَّثَنِيْ ثُمَّ بَكَى، فَهَذِهِ الحَالَةُ طَرِيْفَةٌ، وَهِيَ
أَنْ يَتَّفِقَ الرُّوَّاةُ كُلُّهُمْ عَلَى حَالٍ وَاحِدَةٍ.
Pertama.
Ia pada hakikatnya adalah seni yang jarang. Dimana para
perawinya bersepakat padanya di atas satu keadaan, terlebih apabila sang perawi
berkata: ia telah menceritakan kepadaku dalam keadaan berbaring di atas tempat
tidurnya, ia telah menceritakan kepadaku dalam keadaan berwudhu, ia telah
menceritakan kepadaku dalam keadaan sedang makan, ia telah menceritakan
kepadaku kemudian tersenyum, ia telah menceritakan kepadaku kemudian menangis. Keadaan
ini adalah jarang, yaitu bersepakatnya semua para perawi di atas satu keadaan.
ثَانِياً:
أَنَّ فِيْ نَقْلِهِ مُسَلْسَلاً هَكَذَا؛ حَتَّى لِدَرَجَةِ وَصْفِ حَالِ الرَّاوِيِّ،
فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى تَمَامِ ضَبْطِ الرُّوَّاةِ، وَأَنَّ بَعْضَهُمْ قَدْ ضَبَطَ
حَتَّى حَالَ الرَّاوِيِّ حِيْنَ رَوَاهُ، فَهُوَ يَزِيْدُ الحَدِيْثَ قُوَّةً.
Kedua.
Sesungguhnya pada penukilan hadits dengan Musalsal
seperti ini; hinga pada derajat sifat keadaan perawi, padanya terdapat dalil
akan kesempurnaan dhabth (penguasaan) para perawinya, dan bahwa sebagian mereka
telah menguasai hingga keadaan perawinya tatkala meriwayatkan. Maka hal
tersebut menambah kekuatan hadits.
ثَالِثاً:
أَنَّهُ كَانَ التَّسَلْسُلُ مِمَّا يُقَرِّبُ إِلَى اللهِ، صَارَ فِيْهِ زِيَادَةُ
قُرْبَةٍ وَعِبَادَةٍ، مِثْلُ مَا فِيْ حَدِيْثِ مُعَاذٍ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-
"إِنِّي أُحِبُّكَ فَلَا تَدَعَنَّ..."
Ketiga.
Sesungguhnya
tasalsul termasuk perkara yang mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga pada
tasalsul tersebut terdapat tambahan kedekatan dan ibadah. Seperti pada hadits Mu'adz
bin Jabal radhiallahu 'anhu: "Sungguh aku mencintaimu, maka janganlah…"
فَكَوْنُ
كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الرُّوَّاةِ يَقُوْلُ لِلثَّانِيِّ: إِنِّي أُحِبُّكَ، كَانَ هَذَا
مِمَّا يَزِيْدُ فِيْ الإِيْمَانِ، وَيَزِيْدُ الإِنْسَانَ قُرْبَةً إِلَى اللهِ تَعَالَى،
لِأَنَّ مِنْ أَوْثَقِ عُرَى الإِيْمَانِ الحُبُّ فِيْ اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ.
Keadaan
masing-masing perawi mengatakan kepada yang kedua: sesungguhnya aku
mencintaimu, ini adalah termasuk sesuatu yang menambahkan keimanan dan
menambahkan kedekatan manusia kepada Allah ta'ala, karena sesungguhnya termasuk
sekuat-kuat tali keimanan adalah cinta karena Allah dan benci karena
Allah.
Wallahu a’lam bish shawab wa baarakallahu fikum.
Ditulis oleh :
Rabu -
09 - Shafar - 1438 H / 09 - 11 - 2016 M
Apakah sudah selesai akhi ? Sekalian minta izin dari bagian pertama hingga akhir mau saya copy dan dijadikan kitab utk belajar saya. Jazakallahukhairan.
BalasHapusUntuk Manzhumah Baiquniyah belum selesai, tapi sudah hampir setengah kitab. Qaddarallahu sampai saat ini belum ada waktu melanjutkan. Adapun untuk kitab Musthalah Hadits sudah selesai alhamdulillah, PDF-nya juga lengkap, bisa cek di kolom populer-post. Barakallahu fik.
HapusAfwan ustads ada link telegram nya
BalasHapusIya, ada.. cari saja: ( Belajar Musthalah ), Allahu yaftah 'alaik..
Hapus