Translate

Kamis, 20 Oktober 2016

021. Al-Musnad.



PERTEMUAN : KE-DUA PULUH SATU
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"AL-MUSNAD"

Berkata imam Al-Baiquniy rahmatullahi 'alaihi:

والُمسْنَدُ الُمتَّصِلُ الإِسْنَادِ مِنْ * رَاوِيْهِ حَتَّى الُمصْطَفَى وَلَمْ يَبِنْ

Dan Al-Musnad adalah yang bersambung sanadnya dari * perawinya hingga Al-Musthafa dan tidak terputus

هَذَا هُوَ القِسْمُ السَّادِسُ مِنْ أَقْسَامِ الحَدِيْثِ المَذْكُوْرَةِ فِيْ النَّظْمِ.

Ini adalah bagian yang ke-enam dari bagian-bagian hadits yang disebutkan dalam nazham.

PERHATIAN. (pent)
Lima bagian sebelumnya yaitu: 1. Hadits Shahih. 2. Hadits Hasan. 3. Hadits Dha'if. 4. Marfu'. Dan 5. Maqthu'. Dan yang akan kita kaji sekarang ini adalah bagian yang ke-enam, yaitu: Musnad.

وَعِنْدَنَا فِيْمَا يَتَعَلَّقُ بِالسَّنَدِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ:

Dan di sisi kita tentang apa-apa yang berkaitan dengan sanad ada lima (5) perkara:

1). مُسْنَدٌ، 2). مُسْنِدٌ، 3). مُسْنَدٌ إِلَيْهِ، 4). إِسْنَادٌ، 5). سَنَدٌ.

1). Musnad, 2). Musnid, 3). Musnad Ilaih, 4). Isnad, dan 5). Sanad.

يَقُوْلُ المُؤَلِّفُ فِيْ تَعْرِيْفِ المُسْنَدِ: هُوَ المُتَّصِلُ الإِسْنَادِ، مِنْ رَاوِيْهِ حَتَّى المُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Berkata muallif (imam Al-Baiquniy) rahimahullahu mengenai definisi Al-Musnad: ia adalah yang bersambung sanadnya, dari perawinya hingga Al-Musthafa shallallahu 'alaihi wasallam.    

وَقَوْلُهُ: "وَلَمْ يَبِنْ" هَذَا تَفْسِيْرٌ لِلْاتِّصَالِ، يَعْنِي: لَمْ يَنْقَطِعْ، فَالمُسْنَدُ عِنْدَهُ إِذاً هُوَ المَرْفُوْعُ المُتَّصِلُ إِسْنَادُهُ.

Dan perkataan imam Al-Baqiuniy rahimahullahu: وَلَمْ يَبِنْ (dan tidak terputus), ini adalah tafsir untuk kata ittishal (bersambung). Yakni: لَمْ يَنْقَطِعْ (tidak terputus). Jadi, Al-Musnad menurut beliau adalah marfu' yang bersambung sanadnya.

أَمَّا كَوْنُهُ مَرْفُوْعاً فَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ: "حَتَّى المُصْطَفَى".

Adapun musnad harus marfu', maka berdasarkan perkataan beliau: حَتَّى المُصْطَفَى (hinga Al-Musthafa).

أَمَّا كَوْنُهُ مُتَّصِلَ الإِسْنَادِ فَمِنْ قَوْلِهِ "المُتَّصِلُ الإِسْنَادِ - وَلَمْ يَبِنْ" هَذَا هُوَ المُسْنَدُ.

Adapun musnad harus bersambung sanadnya, maka berdasarkan perkataan beliau: المُتَّصِلُ الإِسْنَادِ - وَلَمْ يَبِنْ (bersambung sanadnya dan tidak terputus). Inilah musnad.

وَعَلَى هَذَا، فَالمَوْقُوْفُ لَيْسَ بِمُسْنَدٍ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مَرْفُوْعٍ، أَيْ لَمْ يَتَّصِلْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Berdasarkan hal ini, maka mauquf bukan musnad. Karena mauquf bukan marfu'. Yakni: mauquf tidak bersambung kepada nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

وَكَذَلِكَ المُنْقَطِعُ الَّذِيْ سَقَطَ مِنْهُ بَعْضُ الرُّوَّاةِ لَيْسَ بِمُسْنَدٍ، لِأَنَّنَا اشْتَرَطْنَا أَنْ يَكُوْنَ مُتَّصِلاً، وَهَذَا هُوَ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ المُؤَلِّفُ وَهُوَ رَأْيُ جُمْهُوْرِ عُلَمَاءِ الحَدِيْثِ.

Demikian juga munqathi' yang jatuh darinya sebagian perawi, maka ia bukan musnad. Karena kita mempersyaratkan pada musnad harus muttashil (bersambung). Ini adalah pendapat yang dipegang oleh muallif dan ini adalah pendapat jumhur ulama hadits. 

وَبَعْضُهُمْ يَقُوْلُ: إِنَّ المُسْنَدَ أَعَمُّ مِنْ ذَلِكَ، فَكُلُّ مَا أُسْنِدَ إِلَيْهِ رَاوِيْهِ فَهُوَ مُسْنَدٌ، فَيْشَمَلَ: المَرْفُوْعَ وَالمَوْقُوْفَ وَالمَقْطُوْعَ وَالمُتَّصِلَ وَالمُنْقَطِعَ.

Dan sebagian ulama berpendapat: sesungguhnya Al-Musnad lebih umum dari itu. Setiap yang disandarkan kepadanya oleh perawinya, maka ia adalah musnad. Maka ia mencakup: marfu', mauquf, maqthu', muttashil dan munqathi'.

وَلَا شَكَّ أَنَّ هَذَا القَوْلُ هُوَ الَّذِيْ يُوَافِقُ اللُّغَةَ، فَإِنَّ اللُّغَةَ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ المُسْنَدَ هُوَ الَّذِيْ أُسْنِدَ إِلَى رَاوِيْهِ، سَوَاءٌ كَانَ مَرْفُوْعاً، أَمْ غَيْرَ مَرْفُوْعٍ، أَوْ كَانَ مُتَّصِلاً، أَوْ مُنْقَطِعاً، لَكِنَّ الَّذِيْ عَلَيْهِ أَكْثَرُ المُحَدِّثِيْنَ أَنَّ المُسْنَدَ هُوَ الَّذِيْ اتَّصَلَ إِسْنَادُهُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Dan tidak diragukan, bahwa pendapat ini adalah pendapat yang bersesuaian dengan bahasa. Sesungguhnya bahasa menunjukkan, bahwa musnad adalah yang disandarkan kepadanya oleh perawinya. Baik marfu' atau selain marfu'. Ataukah ia muttashil, atau munqathi'. Akan tetapi pendapat kebanyakan ahli hadits, sesungguhnya musnad adalah yang bersambung sanadnya hingga sampai kepada rasul Allah shallallahu 'alaihi wasallam  

أَمَّا "المُسْنِدُ" فَهُوَ الرَّاوِيُّ الَّذِيْ أَسْنَدَ الحَدِيْثَ إِلَى رَاوِيْهِ، فَإِذَا قَالَ: حَدَّثَنِيْ فُلَانٌ. فَالأَوَّلُ مُسْنِدٌ. وَالثَّانِيْ مُسْنَدٌ إِلَيْهِ.

Adapun Al-Musnid, ia adalah perawi yang menyandarkan hadits kepada perawinya (yakni: kepada musnad ilaih). Maka apabila dikatakan: telah bercerita kepadaku fulan. Yang pertama (yakni yang berkata telah bercerita kepadaku) adalah musnid (yang menyandarkan). Dan yang kedua (yakni: fulan) adalah musnad ilaih (yang disandarkan kepadanya suatu hadits).   

يَعْنِيْ: أَنَّ كُلَّ مَنْ نَسَبَ الحَدِيْثَ فَهُوَ مُسْنِدٌ، وَمَنْ نُسِبَ إِلَيْهِ الحَدِيْثُ فَهُوَ مَسْنَدٌ إِلَيْهِ.

Yakni: setiap yang menyandarkan hadits, ia adalah musnid. Dan yang disandarkan kepadanya suatu hadits, ia adalah musnad ilaih.

أَمَّا "السَّنَدُ" فَهُمْ رِجَالُ الحَدِيْثِ، أَيْ رُوَّاتُهُ، فَإِذَا قَالَ: حَدَّثَنِيْ فُلَانٌ عَنْ فُلَانٍ عَنْ فُلَانٍ، فَهَؤُلَاءِ هُمْ سَنَدُ الحَدِيْثِ؛ لِأَنَّ الحَدِيْثَ اعْتُمِدَ عَلَيْهِمْ، وَصَارُوْا سَنَداً لَهُ.

Adapun sanad, ia adalah mereka para rijal haditsnya. Yakni: para perawinya. Apabila berkata: telah menceritakan kepadaku fulan dari fulan dari fulan, maka mereka inilah sanad hadits. Karena hadits bersandar kepada mereka. Maka jadilah mereka sanad hadits tersebut.

أَمَّا "الإِسْنَادُ"، فَقَالَ بَعْضُ المُحَدِّثِيْنَ: الإِسْنَادُ هُوَ السَّنَدُ، وَهَذَا التَّعْبِيْرُ يَقَعُ كَثِيْراً عِنْدَهُمْ، فَيَقُوْلُوْنَ: إِسْنَادُهُ صَحِيْحٌ، وَيَعْنُوْنَ بِذَلِكَ سَنَدُهُ، أي: الرُّوَاةَ.

Adapun isnad, sebagian para muhaddist mengatakan: isnad adalah sanad. Ungkapan ini banyak kita dapati pada mereka. Mereka mengatakan: isnadnya shahih, yang mereka inginkan dari ungkapan tersebut adalah sanadnya. Yakni: para perawinya.

وَقَالَ بَعْضُهُمْ: الإِسْنَادُ هُوَ نِسْبَةُ الحَدِيْثِ إِلَى رَاوِيْهِ. يُقَالُ: أُسْنِدَ الحَدِيْثُ إِلَى فُلَانٍ، أَيْ: نَسَبَهُ إِلَيْهِ.

Dan sebagian mereka ada yang berkata: isnad adalah nisbah (penyandaran) hadits kepada perawinya. Dikatakan: suatu hadits disandarkan kepada fulan. Yakni: menyandarkan hadits tersebut kepadanya.

وَالصَّحِيْحُ فِيْهِ: أَنَّهُ يُطْلَقُ عَلَى هَذَا وَعَلَى هَذَا. فَيُطْلَقُ الإِسْنَادُ أَحْيَاناً: عَلَى السَّنَدِ الَّذِيْنَ هُمْ الرُّوَاةُ. وَيُطْلَقُ أَحْيَاناً: عَلَى نِسْبَةِ الحَدِيْثِ إِلَى رَاوِيْهِ، فَيُقَالُ أُسْنِدَ الحَدِيْثُ إِلَى فُلَانٍ، أَسْنَدَهُ إِلَى أَبِيْ هُرَيْرَةَ، أَسْنَدَهُ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، أَسْنَدَهُ إِلَى ابْنِ عُمَرَ، وَهَكَذَا.

Dan yang benar dalam masalah ini: kata isnad bisa digunakan untuk ini dan untuk itu. Kata isnad terkadang digunakan untuk sanad, yang mana mereka adalah para perawinya. Dan terkadang digunakan untuk nisbah (penyadaran) hadits kepada perawinya. Maka dikatakan: suatu hadits disandarkan kepada fulan. Ia menyandarkannya kepada Abu Hurairah. Ia menyandarkannya kepada Ibnu 'Abbas. Ia menyandarkannya kepada Ibnu 'Umar. Dan yang semisalnya.

وَهَلْ يَلْزَمُ مِنَ الإِسْنَادِ أَنْ يَكُوْنَ الحَدِيْثُ صَحِيْحاً؟

Apakah isnad mengharuskan shahihnya suatu hadits?

نَقُوْلُ: لَا؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَتَّصِلُ السَّنَدُ مِنَ الرَّاوِيِّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيَكُوْنُ فِي الرُّوَاةِ ضُعَفَاءُ، وَمَجْهُوْلُوْنَ وَنَحْوُهُمْ.

Kita katakan: tidak; karena terkadang sanadnya bersambung kepada nabi shallallahu 'alaihi wasallam, akan tetapi pada para perawinya terdapat orang yang lemah atau majhul dan yang semisalnya. 

إِذاً، فَلَيْسَ كُلُّ مُسْنَدٍ صَحِيْحاً، فَقَدْ يَكُوْنُ الحَدِيْثُ صَحِيْحاً وَهُوَ غَيْرُ مُسْنَدٍ.

Jadi, tidak semua musnad adalah shahih. Bahkan terkadang hadits shahih namun ia bukan musnad.

كَمَا لَوْ أُضِيْفَ إِلَى الصَّحَابِيِّ بِسَنَدٍ صَحِيْحٍ، فَإِنَّهُ مَوْقُوْفٌ وَصَحِيْحٌ، لَكِنْ لَيْسَ بِمُسْنَدٍ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مَرْفُوْعٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Seperti jika disandarkan kepada shahabat dengan sanad yang shahih, sesungguhnya ia adalah mauquf dan shahih, akan tetapi ia bukan musnad, karena ia tidak disandarkan kepada nabi shallallahu 'alaihi wasallam.  

وَقَدْ يَكُوْنُ مُسْنَداً مُتَّصِلَ الإِسْنَادِ، لَكِنَّ الرُّوَاةَ ضُعَفَاءُ، فَهَذَا يَكُوْنُ مُسْنَداً، وَلَا يَكُوْنُ صَحِيْحاً.

Dan terkadang musnad lagi bersambung sanadnya, akan tetapi para perawinya dha'if, maka ia hanya sekedar menjadi musnad, tidak menjadi shahih. 

وَبَيْنَ المُسْنَدِ لُغَةً وَبَيْنَ المُسْنَدِ اصْطِلَاحاً فَرْقٌ، وَالنِّسْبَةُ بَيْنَهُمَا العُمُوْمُ وَالخُصُوْصُ.

Antara musnad secara lughat (bahasa) dan secara bahasa terdapat perbedaan. Dan nisbah (penyandaran) di antara keduanya adalah umum dan khusus.

فَالمُسْنَدُ فِيْ اللُّغَةِ، هُوَ: مَا أُسْنِدَ إِلَى قَائِلِهِ، سَوَاءٌ كَانَ مَرْفُوْعاً أَوْ مَوْقُوْفاً أَوْ مَقْطُوْعاً.

Musnad secara lughat (bahasa), ia adalah: apa-apa yang disandarkan kepada pengucapnya. Baik ia marfu', maquf atau maqthu'.

فَإِذَا قُلْتَ: قَالَ فُلَانٌ كَذَا، فَهَذَا مُسْنَدٌ، حَتَّى وَلَوْ أَضَفْتَهُ إِلَى وَاحِدٍ مَوْجُوْدٍ تُخَاطِبُهُ الآنَ، فَلَوْ قُلْتُ: قَالَ فُلَانٌ كَذَا، فَهَذَا مُسْنَدٌ؛ لِأَنِّي أَسْنَدْتُ الحَدِيْثَ إِلَى قَائِلِهِ.

Apabila engkau berkata: fulan berkata begini, maka ini adalah musnad. Walaupun engkau hanya menyandarkan kepada satu orang yang ada yang saat ini engkau ajak bicara. Apabila aku katakan: fulan berkata begini, maka ini adalah musnad; karena aku memusnadkan (menyandarkan) hadits (ucapan) kepada pengucapnya.

لَكِنْ فِيْ الاصْطِلَاحِ، المُسْنَدُ هُوَ: المَرْفُوْعُ المُتَّصِلُ السَّنَدِ.

Akan tetapi menurut istilah, musnad adalah: marfu' yang muttashil (bersambung) sanadnya.

فَالمُسْنَدُ اصْطِلَاحاً أَخَصُّ مِنَ المُسْنَدِ لُغَةً، فَكُلُّ مُسْنَدٍ اصْطِلَاحاً، فَهُوَ مُسْنَدٌ لُغَةً، وَلَا عَكْسَ، فَبَيْنَهُمَا العُمُوْمُ وَالخُصُوْصُ.

Maka musnad secara istilah lebih khusus dari musnad secara bahasa. Setiap musnad secara istilah adalah musnad secara bahasa dan tidak sebaliknya. Maka di antara keduanya adalah khusus dan umum.

Wallahu a’lam bish shawab wa baarakallahu fikum.

Ditulis oleh :
Kamis - 19 - Muharram - 1438 H / 20 - 10 - 2016 M


0 komentar:

Posting Komentar

Mubaarok Al-Atsary. Diberdayakan oleh Blogger.