PERTEMUAN : KE-DUA PULUH SATU
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"AL-MUSNAD"
Berkata
imam Al-Baiquniy rahmatullahi 'alaihi:
والُمسْنَدُ الُمتَّصِلُ الإِسْنَادِ
مِنْ * رَاوِيْهِ حَتَّى الُمصْطَفَى وَلَمْ يَبِنْ
Dan
Al-Musnad adalah yang bersambung sanadnya dari * perawinya hingga Al-Musthafa
dan tidak terputus
هَذَا هُوَ القِسْمُ السَّادِسُ مِنْ
أَقْسَامِ الحَدِيْثِ المَذْكُوْرَةِ فِيْ النَّظْمِ.
Ini adalah
bagian yang ke-enam dari bagian-bagian hadits yang disebutkan dalam nazham.
PERHATIAN.
(pent)
Lima bagian
sebelumnya yaitu: 1. Hadits Shahih. 2. Hadits Hasan. 3. Hadits Dha'if. 4.
Marfu'. Dan 5. Maqthu'. Dan yang akan kita kaji sekarang ini adalah bagian yang
ke-enam, yaitu: Musnad.
وَعِنْدَنَا فِيْمَا يَتَعَلَّقُ بِالسَّنَدِ
خَمْسَةُ أَشْيَاءَ:
Dan di sisi
kita tentang apa-apa yang berkaitan dengan sanad
ada lima (5) perkara:
1). مُسْنَدٌ، 2). مُسْنِدٌ، 3). مُسْنَدٌ إِلَيْهِ، 4). إِسْنَادٌ،
5). سَنَدٌ.
1). Musnad, 2).
Musnid, 3). Musnad Ilaih, 4). Isnad, dan 5). Sanad.
يَقُوْلُ المُؤَلِّفُ فِيْ تَعْرِيْفِ
المُسْنَدِ: هُوَ المُتَّصِلُ الإِسْنَادِ، مِنْ رَاوِيْهِ حَتَّى المُصْطَفَى مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Berkata muallif
(imam Al-Baiquniy) rahimahullahu mengenai definisi Al-Musnad: ia adalah yang
bersambung sanadnya, dari perawinya hingga Al-Musthafa shallallahu 'alaihi
wasallam.
وَقَوْلُهُ: "وَلَمْ يَبِنْ"
هَذَا تَفْسِيْرٌ لِلْاتِّصَالِ، يَعْنِي: لَمْ يَنْقَطِعْ، فَالمُسْنَدُ عِنْدَهُ
إِذاً هُوَ المَرْفُوْعُ المُتَّصِلُ إِسْنَادُهُ.
Dan perkataan
imam Al-Baqiuniy rahimahullahu: وَلَمْ
يَبِنْ
(dan tidak terputus), ini adalah tafsir untuk kata ittishal
(bersambung). Yakni: لَمْ يَنْقَطِعْ (tidak terputus).
Jadi, Al-Musnad menurut beliau adalah marfu' yang bersambung sanadnya.
أَمَّا كَوْنُهُ مَرْفُوْعاً فَيُؤْخَذُ
مِنْ قَوْلِهِ: "حَتَّى المُصْطَفَى".
Adapun musnad
harus marfu', maka berdasarkan perkataan beliau: حَتَّى المُصْطَفَى (hinga Al-Musthafa).
أَمَّا كَوْنُهُ مُتَّصِلَ الإِسْنَادِ
فَمِنْ قَوْلِهِ "المُتَّصِلُ الإِسْنَادِ - وَلَمْ يَبِنْ" هَذَا هُوَ المُسْنَدُ.
Adapun musnad
harus bersambung sanadnya, maka berdasarkan perkataan beliau: المُتَّصِلُ الإِسْنَادِ - وَلَمْ يَبِنْ (bersambung sanadnya dan tidak terputus). Inilah musnad.
وَعَلَى هَذَا، فَالمَوْقُوْفُ لَيْسَ
بِمُسْنَدٍ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مَرْفُوْعٍ، أَيْ لَمْ يَتَّصِلْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Berdasarkan hal
ini, maka mauquf bukan musnad. Karena mauquf bukan marfu'. Yakni: mauquf tidak
bersambung kepada nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
وَكَذَلِكَ المُنْقَطِعُ الَّذِيْ سَقَطَ
مِنْهُ بَعْضُ الرُّوَّاةِ لَيْسَ بِمُسْنَدٍ، لِأَنَّنَا اشْتَرَطْنَا أَنْ يَكُوْنَ
مُتَّصِلاً، وَهَذَا هُوَ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ المُؤَلِّفُ وَهُوَ رَأْيُ جُمْهُوْرِ
عُلَمَاءِ الحَدِيْثِ.
Demikian juga
munqathi' yang jatuh darinya sebagian perawi, maka ia bukan musnad. Karena kita
mempersyaratkan pada musnad harus muttashil (bersambung). Ini adalah pendapat
yang dipegang oleh muallif dan ini adalah pendapat jumhur ulama hadits.
وَبَعْضُهُمْ يَقُوْلُ: إِنَّ المُسْنَدَ
أَعَمُّ مِنْ ذَلِكَ، فَكُلُّ مَا أُسْنِدَ إِلَيْهِ رَاوِيْهِ فَهُوَ مُسْنَدٌ، فَيْشَمَلَ:
المَرْفُوْعَ وَالمَوْقُوْفَ وَالمَقْطُوْعَ وَالمُتَّصِلَ وَالمُنْقَطِعَ.
Dan sebagian
ulama berpendapat: sesungguhnya Al-Musnad lebih umum dari itu. Setiap yang
disandarkan kepadanya oleh perawinya, maka ia adalah musnad. Maka ia mencakup:
marfu', mauquf, maqthu', muttashil dan munqathi'.
وَلَا شَكَّ أَنَّ هَذَا القَوْلُ هُوَ
الَّذِيْ يُوَافِقُ اللُّغَةَ، فَإِنَّ اللُّغَةَ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ المُسْنَدَ هُوَ
الَّذِيْ أُسْنِدَ إِلَى رَاوِيْهِ، سَوَاءٌ كَانَ مَرْفُوْعاً، أَمْ غَيْرَ مَرْفُوْعٍ،
أَوْ كَانَ مُتَّصِلاً، أَوْ مُنْقَطِعاً، لَكِنَّ الَّذِيْ عَلَيْهِ أَكْثَرُ المُحَدِّثِيْنَ
أَنَّ المُسْنَدَ هُوَ الَّذِيْ اتَّصَلَ إِسْنَادُهُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Dan tidak
diragukan, bahwa pendapat ini adalah pendapat yang bersesuaian dengan bahasa.
Sesungguhnya bahasa menunjukkan, bahwa musnad adalah yang disandarkan kepadanya
oleh perawinya. Baik marfu' atau selain marfu'. Ataukah ia muttashil, atau
munqathi'. Akan tetapi pendapat kebanyakan ahli hadits, sesungguhnya musnad
adalah yang bersambung sanadnya hingga sampai kepada rasul Allah shallallahu
'alaihi wasallam
أَمَّا "المُسْنِدُ" فَهُوَ الرَّاوِيُّ الَّذِيْ
أَسْنَدَ الحَدِيْثَ إِلَى رَاوِيْهِ، فَإِذَا قَالَ: حَدَّثَنِيْ فُلَانٌ. فَالأَوَّلُ
مُسْنِدٌ. وَالثَّانِيْ مُسْنَدٌ إِلَيْهِ.
Adapun Al-Musnid,
ia adalah perawi yang menyandarkan hadits kepada perawinya (yakni: kepada
musnad ilaih). Maka apabila dikatakan: telah bercerita kepadaku fulan. Yang
pertama (yakni yang berkata telah bercerita kepadaku) adalah musnid (yang
menyandarkan). Dan yang kedua (yakni: fulan) adalah musnad ilaih (yang
disandarkan kepadanya suatu hadits).
يَعْنِيْ: أَنَّ كُلَّ مَنْ نَسَبَ الحَدِيْثَ
فَهُوَ مُسْنِدٌ، وَمَنْ نُسِبَ
إِلَيْهِ الحَدِيْثُ فَهُوَ مَسْنَدٌ إِلَيْهِ.
Yakni: setiap
yang menyandarkan hadits, ia adalah musnid.
Dan yang disandarkan kepadanya suatu hadits, ia adalah musnad ilaih.
أَمَّا "السَّنَدُ" فَهُمْ رِجَالُ الحَدِيْثِ،
أَيْ رُوَّاتُهُ، فَإِذَا قَالَ: حَدَّثَنِيْ فُلَانٌ عَنْ فُلَانٍ عَنْ فُلَانٍ، فَهَؤُلَاءِ
هُمْ سَنَدُ الحَدِيْثِ؛ لِأَنَّ الحَدِيْثَ اعْتُمِدَ عَلَيْهِمْ، وَصَارُوْا سَنَداً
لَهُ.
Adapun sanad, ia adalah mereka para rijal haditsnya.
Yakni: para perawinya. Apabila berkata: telah menceritakan kepadaku fulan dari
fulan dari fulan, maka mereka inilah sanad hadits. Karena hadits bersandar
kepada mereka. Maka jadilah mereka sanad hadits tersebut.
أَمَّا "الإِسْنَادُ"، فَقَالَ بَعْضُ المُحَدِّثِيْنَ:
الإِسْنَادُ هُوَ السَّنَدُ، وَهَذَا التَّعْبِيْرُ يَقَعُ كَثِيْراً عِنْدَهُمْ، فَيَقُوْلُوْنَ:
إِسْنَادُهُ صَحِيْحٌ، وَيَعْنُوْنَ بِذَلِكَ سَنَدُهُ، أي: الرُّوَاةَ.
Adapun isnad, sebagian para muhaddist mengatakan:
isnad adalah sanad. Ungkapan ini banyak kita dapati pada mereka. Mereka
mengatakan: isnadnya shahih, yang mereka inginkan dari ungkapan tersebut adalah
sanadnya. Yakni: para perawinya.
وَقَالَ بَعْضُهُمْ: الإِسْنَادُ هُوَ
نِسْبَةُ الحَدِيْثِ إِلَى رَاوِيْهِ. يُقَالُ: أُسْنِدَ الحَدِيْثُ إِلَى فُلَانٍ،
أَيْ: نَسَبَهُ إِلَيْهِ.
Dan sebagian
mereka ada yang berkata: isnad adalah nisbah (penyandaran) hadits kepada
perawinya. Dikatakan: suatu hadits disandarkan kepada fulan. Yakni:
menyandarkan hadits tersebut kepadanya.
وَالصَّحِيْحُ فِيْهِ: أَنَّهُ يُطْلَقُ
عَلَى هَذَا وَعَلَى هَذَا. فَيُطْلَقُ الإِسْنَادُ أَحْيَاناً: عَلَى السَّنَدِ الَّذِيْنَ
هُمْ الرُّوَاةُ. وَيُطْلَقُ أَحْيَاناً: عَلَى نِسْبَةِ الحَدِيْثِ إِلَى رَاوِيْهِ،
فَيُقَالُ أُسْنِدَ الحَدِيْثُ إِلَى فُلَانٍ، أَسْنَدَهُ إِلَى أَبِيْ هُرَيْرَةَ،
أَسْنَدَهُ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، أَسْنَدَهُ إِلَى ابْنِ عُمَرَ، وَهَكَذَا.
Dan yang benar
dalam masalah ini: kata isnad bisa digunakan untuk ini dan untuk itu. Kata
isnad terkadang digunakan untuk sanad, yang mana mereka adalah para perawinya. Dan
terkadang digunakan untuk nisbah (penyadaran) hadits kepada perawinya. Maka
dikatakan: suatu hadits disandarkan kepada fulan. Ia menyandarkannya kepada Abu
Hurairah. Ia menyandarkannya kepada Ibnu 'Abbas. Ia menyandarkannya kepada Ibnu
'Umar. Dan yang semisalnya.
وَهَلْ يَلْزَمُ مِنَ الإِسْنَادِ أَنْ
يَكُوْنَ الحَدِيْثُ صَحِيْحاً؟
Apakah isnad
mengharuskan shahihnya suatu hadits?
نَقُوْلُ: لَا؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَتَّصِلُ
السَّنَدُ مِنَ الرَّاوِيِّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيَكُوْنُ
فِي الرُّوَاةِ ضُعَفَاءُ، وَمَجْهُوْلُوْنَ وَنَحْوُهُمْ.
Kita katakan:
tidak; karena terkadang sanadnya bersambung kepada nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, akan tetapi pada para perawinya terdapat orang yang lemah atau majhul
dan yang semisalnya.
إِذاً، فَلَيْسَ كُلُّ مُسْنَدٍ صَحِيْحاً،
فَقَدْ يَكُوْنُ الحَدِيْثُ صَحِيْحاً وَهُوَ غَيْرُ مُسْنَدٍ.
Jadi, tidak
semua musnad adalah shahih. Bahkan terkadang hadits shahih namun ia bukan
musnad.
كَمَا لَوْ أُضِيْفَ إِلَى الصَّحَابِيِّ
بِسَنَدٍ صَحِيْحٍ، فَإِنَّهُ مَوْقُوْفٌ وَصَحِيْحٌ، لَكِنْ لَيْسَ بِمُسْنَدٍ، لِأَنَّهُ
غَيْرُ مَرْفُوْعٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Seperti jika
disandarkan kepada shahabat dengan sanad yang shahih, sesungguhnya ia adalah
mauquf dan shahih, akan tetapi ia bukan musnad, karena ia tidak disandarkan
kepada nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
وَقَدْ يَكُوْنُ مُسْنَداً مُتَّصِلَ
الإِسْنَادِ، لَكِنَّ الرُّوَاةَ ضُعَفَاءُ، فَهَذَا يَكُوْنُ مُسْنَداً، وَلَا يَكُوْنُ
صَحِيْحاً.
Dan terkadang
musnad lagi bersambung sanadnya, akan tetapi para perawinya dha'if, maka ia
hanya sekedar menjadi musnad, tidak menjadi shahih.
وَبَيْنَ المُسْنَدِ لُغَةً وَبَيْنَ
المُسْنَدِ اصْطِلَاحاً فَرْقٌ، وَالنِّسْبَةُ بَيْنَهُمَا العُمُوْمُ وَالخُصُوْصُ.
Antara musnad
secara lughat (bahasa) dan secara bahasa terdapat perbedaan. Dan nisbah
(penyandaran) di antara keduanya adalah umum dan khusus.
فَالمُسْنَدُ فِيْ اللُّغَةِ، هُوَ: مَا
أُسْنِدَ إِلَى قَائِلِهِ، سَوَاءٌ كَانَ مَرْفُوْعاً أَوْ مَوْقُوْفاً أَوْ مَقْطُوْعاً.
Musnad secara
lughat (bahasa), ia adalah: apa-apa yang disandarkan kepada pengucapnya. Baik
ia marfu', maquf atau maqthu'.
فَإِذَا قُلْتَ: قَالَ فُلَانٌ كَذَا،
فَهَذَا مُسْنَدٌ، حَتَّى وَلَوْ أَضَفْتَهُ إِلَى وَاحِدٍ مَوْجُوْدٍ تُخَاطِبُهُ
الآنَ، فَلَوْ قُلْتُ: قَالَ فُلَانٌ كَذَا، فَهَذَا مُسْنَدٌ؛ لِأَنِّي أَسْنَدْتُ
الحَدِيْثَ إِلَى قَائِلِهِ.
Apabila engkau
berkata: fulan berkata begini, maka ini adalah musnad. Walaupun engkau hanya
menyandarkan kepada satu orang yang ada yang saat ini engkau ajak bicara. Apabila
aku katakan: fulan berkata begini, maka ini adalah musnad; karena aku
memusnadkan (menyandarkan) hadits (ucapan) kepada pengucapnya.
لَكِنْ فِيْ الاصْطِلَاحِ، المُسْنَدُ
هُوَ: المَرْفُوْعُ المُتَّصِلُ السَّنَدِ.
Akan tetapi
menurut istilah, musnad adalah: marfu' yang muttashil (bersambung) sanadnya.
فَالمُسْنَدُ اصْطِلَاحاً أَخَصُّ مِنَ
المُسْنَدِ لُغَةً، فَكُلُّ مُسْنَدٍ اصْطِلَاحاً، فَهُوَ مُسْنَدٌ لُغَةً، وَلَا عَكْسَ،
فَبَيْنَهُمَا العُمُوْمُ وَالخُصُوْصُ.
Maka musnad
secara istilah lebih khusus dari musnad secara bahasa. Setiap musnad secara
istilah adalah musnad secara bahasa dan tidak sebaliknya. Maka di antara
keduanya adalah khusus dan umum.
Wallahu a’lam bish shawab wa baarakallahu fikum.
Ditulis oleh :
Kamis -
19 - Muharram - 1438 H / 20 - 10 - 2016 M
0 komentar:
Posting Komentar