KHABAR
MUTAWATIR BAG-DUA
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد
لله الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله وكفى بالله شهيدًا، وأشهد
أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له إقرارًا به وتوحيدًا، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله
صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليمًا مزيدًا، أما
بعد..
Derajat Khabar Al-Mutawatir.
الخبر المتواتر يفيد العلم اليقيني، وهذا
أمر متفق عليه بين العقلاء، إذ حصول العلم بالخبر المتواتر أمر يضطر إليه الإنسان،
لا حيلة له في دفعه. هذا بالنسبة للمتواتر من الأخبار.
Khabar Mutawatir
memberikan faidah ilmu yaqin, ini adalah perkara yang disepakati di kalangan
orang-orang yang berakal. Karena terhasilkannya ilmu melalui khabar mutawatir
adalah perkara yang manusia terdesak untuk mengetahuinya, tidak ada celah untuk
mengelak. Ini adalah dari sisi mutawatir dari berbagai khabar (baik hadits
maupun atsar). [Ma'alim Ushul: 138, Raudhah An-Nazhir: 1/250, & Syarh
Al-Kaukab Al-Munir: 2/317].
أما المتواتر من الحديث: فإنه كذلك يفيد
العلم ويوجب العمل، والعبرة في التواتر بأهل العلم بالحديث والأثر، كما قرر ذلك ابن
تيمية وابن القيم في النصين السابقين.
Adapun
mutawatir dari hadits: ia juga memberikan faidah ilmu dan mengharuskan amal. Dan
yang teranggap dalam masalah mutawatir hanyalah ahli ilmu hadits dan atsar.
Sebagaimana telah dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Al-Qayyim Allahu
yarhamuhuma pada dua keterangan yang telah lalu. (Pada pertemuan ke satu).
أما حكم العمل به: فلا شك أن الحديث المتواتر
قسم من أقسام السنة، والسنة حجة.
Adapun
hukum beramal berdasarkan Hadits Mutawatir: tidak diragukan bahwa Hadits
Mutawatir termasuk bagian dari bagian-bagian sunnah, sementara sunnah adalah
hujjah (argumen). [Jami' Bayan Al-'Ilmi wa Fadhlihu: 2/33-34].
Syarat Khabar Al-Mutawatir.
Khabar
Mutawatir memliki lim (5) syarat:
أ). أن يخبر المخبرون عن علم ويقين، لا
عن ظن أو شك.
a). Para
penyampai khabarnya berasal dari khabar ilmu yaqin, bukan dari zhan (sangkaan)
atau syak (keraguan).
ب). أن يستند المخبرون في خبرهم إلى الحس،
لا إلى العقل أو غيره.
b). Para
penyampai khabarnya menyandarkan khabar mereka pada panca indra, bukan kepada
akal atau selainnya.
جـ). أن يكون المخبرون كثرة لا قلة، وليس
هناك عدد معين يحدد هذه الكثرة، بل ضابط الكثرة ما حصل العلم بخبرهم.
c). Para
penyampai khabarnya berjumlah banyak bukan sedikit. Dan tidak ada bilangan
tertentu yang membatasi berapa jumlah banyaknya ini. Bahkan kaidah banyak
adalah yang terhasilkan ilmu dengan khabar mereka tersebut.
د). أن تكون هذه الكثرة مما تحيل العادة
تواطؤهم على الكذب أو الكتمان.
d). Jumlah
banyak tersebut adalah: sesuatu yang menurut kebiasaan, mustahil mereka akan
bersepakat untuk berdusta atau menyembunyikan.
هـ). أن توجد الشروط المتقدمة في جميع
طبقات السند.
e). Keempat
syarat tersebut di atas terdapat pada setiap thabaqat (tingkatan) sanad.
ولا يخفي أن هذه الشروط للمتواتر العام،
أما المتواتر الخاص فيضاف إلى هذه الشروط أن يكون ناقلوه من أهل العلم والتخصص، وذلك
على النحو الذي تقدم بيانه من خلال النقل عن ابن تيمية وابن القيم.
Tidak
tersamarkan bahwa syarat-syarat ini adalah untuk Mutawatir yang umum. Adapun Mutawatir
yang khusus, maka ditambahkan kepada syarat-syarat ini: para penukilnya adalah
dari kalangan ahli imu dan ahli khusus, sebagaimana telah berlalu penjelasannya
di selah-selah penukilan dari Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Al-Qayyim Allahu
yarhamuhuma (yakni pada pertemuan ke satu).
يشترط
في المتواتر الخاص كنقل القرآن الكريم والأحاديث النبوية، الإسلام والعدالة، أما
في عموم الأخبار فلا يشترط في الراوي لا إسلام ولا عدالة، وكلام الأصوليين إنما هو
في الخبر المتواتر على وجه العموم.
Pada
Mutawatir Khusus dipersyaratkan sebagaimana penukilan Al-Qur'an dan
hadits-hadits nabawiyah: penukilnya seorang yang beragama islam dan 'adil. Adapun
pada berbagai khabar secara umum, tidak dipersyaratkan pada perawinya islam
atau 'adil. Dan ucapan para ushuliyun (ahli ushul) sesungguhnya berbicara
mengenai Khabar Mutawatir dengan konteks umum. [Lihat: Ma'alim Ushul: 138,
& Al-Faqih Wal Mutafaqqih: 96, & Raudhah An-Nazhir: 254, &
Mukhatshar Ibnu Al-LAham: 81].
Pembahasan.
Ilmu
yang terhasilkan dari Khabar Mutawair apakah Ilmu Dharuri atau Ilmu
Nazhari?
Ilmu Dharuri
adalah sebuah pengetahuan yang manusia terdesak untuk mengetahuinya tanpa
diteliti atau dipelajari terlebih dahulu dan tidak bisa mengelak dari untuk
tidak mengetahuinya, seperti api itu panas dan yang semisalnya.
Ilmu Nazhari
adalah sebuah pengetahuan yang hanya akan terhasilkan dengan meneliti dan
mempelajarinya, seperti rukun islam ada lima dan rukun iman ada enam dan yang
semisalnya.
Lalu
bagaimana dengan Khabar Mutawatir? Apakah ilmu yang terhasilkan dari Khabar
Mutawatir merupakan ilmu dharuri ataukah ilmu nazhari? Para ulama berbeda
pendapat mengenai masalah ini. Sebagian mereka ada yang berpendapat ilmu yang
terhasilkan dari Khabar Mutawatir adalah dharuri. Dan sebagian yang lain
berpendapat nazhari.
وهذا الخلاف -إذا تأملناه- خلاف لفظي،
إذ الجميع متفق على أن المتواتر يفيد العلم واليقين، وإنما اختلفوا في نوع هذا العلم:
فمن نظر إلى أن العقل يضطر إلى التصديق به قال: إنه ضروري. ومن نظر إلى افتقار المتواتر
إلى مقدمات - وإن كانت تلك المقدمات بدهية - قال: إنه نظري.
Khilaf
pendapat ini -apabila kita mencermatinya- sebenarnya hanyalah khilaf lafzhi
(perbedaan lafazh), karena pada asalnya semua bersepakat bahwa Al-Mutawatir
memberikan faidah ilmu dan yaqin. Hanya saja mereka berselisih pada jenis ilmu
ini (apakah dharuri ataukah nazhari?): barang siapa yang meneliti bahwa akal
terdesak untuk membenarkan Khabar Mutawatir, maka ia berpendapat: Khabar
Mutawatir adalah ilmu dharuri. Dan barang siapa yang meneliti butuhnya
Al-Mutawatir kepada pengantar (untuk menuju ilmu dan yaqin) -walaupun pengantar
tersebut tidak diperlukan-, maka ia berpendapat: Khabar Mutawatir adalah ilmu
nazhari. [Lihat: Raudhah An-Nazhir: 250, & Ma'alim Ashul: 138, &
Syarh Al-Kaukab Al-Munir: 327].
Ilmu Terhasilkan Dengan Beberapa Metode.
Pertama.
Terhasilkan
dengan banyaknya jumlah dan tidak membutuhkan qarinah (indikasi).
أ). يحصل العلم تارة بالعدد الكثير دون
قرائن، وهذا ما يسمى بالعدد الكامل الذي يحصل العلم به مجردًا عن القرائن. وإذا كان
الأمر كذلك فإن العدد الذي حصل به العلم في واقعة من الوقائع دون قرائن لا بد وأن يحصل
به العلم في كل واقعة ولكل أحد.
a). Ilmu
terkadang terhasilkan semata dengan banyaknya jumlah tanpa membutuhkan qarinah
(indikasi). Inilah yang dinamakan dengan bilangan sempurna, yang terhasilkan semata
dengan bilangan tersebut tanpa qarinah. Apabila demikian perkaranya, maka
bilangan yang terhasilkan dengannya sebuah ilmu pada kejadian dari
kejadian-kejadian yang ada tanpa membutuhkan kepada qarinah adalah suatu
keharusan. Dan akan terhasilkan ilmu dengan bilangan tersebut bagi setiap
kejadian dan setiap orang.
Kedua.
Terhasilkan
dengan qarinah (indikasi).
ب). ويحصل العلم تارة بالقرائن وحدها،
كالعلم بخوف شخص أو خجله، لظهور علامات ذلك عليه.
b). Ilmu
terkadang terhasilkan semata dengan berbagai qarinah (tidak dengan banyaknya
jumlah), seperti rasa takut atau rasa malunya seseorang karena tampaknya
tanda-tanda tersebut padanya.
Ketiga.
Terhasilkan
dengan banyaknya jumlah dan qarinah (indikasi).
جـ). ويحصل تارة بمجموع الأمرين: بالمخبرين
وبالقرائن معًا، وهذا ما يسمى بالعدد الناقص الذي احتفت به القرائن، فحصل العلم بالأمرين
معًا.
c). Ilmu
terkadang terhasilkan dengan kedua perkara tersebut: dengan banyaknya jumlah
penukil khabarnya dan dengan berbagai qarinah sekaligus. Inilah yang dinamakan
dengan 'adad naqish (bilangan yang kurang), yang hal ini ternaungi oleh
qarinah. Maka terhasilkanlah ilmu dengan dua perkara tersebut sekaligus.
والمصطلح عليه عند أهل الأصول: أن المتواتر
ما حصل فيه العلم بكثرة العدد فقط؛ يعني بالعدد الكامل.
Dan istilah
mengenai hal ini menurut ahli ushul: sesungguhnya Al-Mutawatir yaitu apa-apa
yang terhasilkan padanya dengan banyaknya jumlah saja; yakni dengan 'Adad Kamil
(jumlah yang sempurna).
أما ما عدا ذلك فهو وإن كان مفيدًا للعلم
لكنه لا يسمى عندهم متواترً.
Adapun
selain itu, walaupun ia memberikan faidah ilmu akan tetapi ia tidak dikatakan
sebagai Mutawatir menurut mereka (ahli ushul).
وعندهم
أيضًا - كما تقدم - أن كل عدد أفاد العلمَ في واقعة أفاد مثلُ هذا العدد العلمَ في
كل واقعة، إذا خلا الخبر عن القرائن. وهذا إنما يكون العدد الكامل.
Dan
menurut mereka juga -sebagaimana telah lalu- bahwa setiap jumlah yang
memberikan faidah ilmu pada sebuah kejadian, maka yang semisal jumlah ini juga
memberikan faidah ilmu pada setiap kejadian, karena kosongnya khabar dari
berbagai qarinah. Dan ini tentunya adalah 'Adad Kamil (bilangan yang sempurna).
[Lihat: Raudhah An-Nazhir: 245, & Mukhtashar Ibnu Al-Laham: 81, &
Syarh Al-Kaukab Al-Munir: 2/335, Ma'alim Ushul: 139].
Wallahu a’lam bish shawab wa baarakallahu fikum.
Ditulis oleh :
Selasa -
04 - Dzul Hijjah - 1437 H / 06 - 09 - 2016 M
0 komentar:
Posting Komentar