Translate

Selasa, 06 September 2016

Khabar Mutawatir Bagian Satu.



KHABAR MUTAWATIR BAG-SATU

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله وكفى بالله شهيدًا، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له إقرارًا به وتوحيدًا، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليمًا مزيدًا، أما بعد..

Definisi Al-Mutawatir.

المتواتر لغة: المتتابع.

Al-Mutawatir secara bahasa adalah Al-Mutatabi' (beruntun). [Al-Mishbah Al-Munir: 645].

وفي اصطلاح الأصوليين: "خبر جماعة مفيد بنفسه العلم".

Dan menurut istilah ahli ushul ia adalah: "Khabar sekelompok orang yang memberikan faidah ilmu dengan sendirinya". [Mukhtashar Ibnu Laham: 81].

وقد عرف بعضهم؛ التواتر بأنه: "إخبار جماعة لا يمكن تواطؤهم على الكذب".

Dan sebagian ulama ada yang mendefinisikan; Al-Mutawatir yaitu: "Pengkhabaran sekelompok orang yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta". [Qawaid Al-Ushul: 40].

وفي هذا التعريف احتراز عن خبر الواحد؛ فإن المتواتر لا بد فيه من العدد والكثرة، وهذا ما عبر عنه في التعريف بقيد "جماعة".

Dan pada definisi ini terdapat tindakan preventif dari Khabar Ahad; karena Al-Mutawatir diharuskan padanya berasal dari jumlah dan banyak. Inilah yang diungkapkan mengenai hal tersebut dalam definisi dengan kait "sekelompok orang'.

أما قيد "مفيد بنفسه العلم" فالمقصود به الاحتراز عما أفاد العلم بواسطة القرائن؛ إذ إن خبر التواتر يفيد العلم بمجرد العدد والكثرة لا بالقرائن.

Adapun kait "memberikan faidah ilmu dengan sendirinya". Yang dimaksud dengan hal tersebut adalah bentuk preventif dari khabar yang memberikan faidah ilmu dengan perantara qarinah (indikasi); karena sesungguhnya Khabar Mutawatir memberikan faidah ilmu hanya semata dengan jumlah dan banyak bukan dengan qarinah (indikasi). [Syarh Al-Kaukab Al-Munir: 2/324-325, & Ma'alim Ushul: 136].

Pembagian Al-Mutawatir.

A). Khabar Mutawatir apabila ditinjau dari sisi matannya, maka ia terbagi menjadi dua (2):

1). Mutawatir Secara Lafazh.

المتواتر اللفظي، وهو: ما اتفق فيه الرواة على اللفظ والمعنى، كتواتر القرآن الكريم، وقوله -صلى الله عليه وسلم- : «من كذب علي متعمدًا فليتبوأ مقعده من النار».

Mutawatir Lafzhi (secara lafazh), ia adalah: khabar yang disepakati oleh para perawinya baik lafazh maupun maknanya. Seperti mutawatirnya Al-Qur'an Al-Karim dan sabda nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka persiapkanlah tempat duduknya dari neraka". [HR: Shahihain, & Ma'alim Ushul: 136].

2). Mutawatir Secara Makna.

المتواتر المعنوي، وهو ما اتفق رواته على معناه دون ألفاظه، وذلك كأحاديث الشفاعة، والحوض، والصراط، والميزان.

Mutawatir Maknawi (secara makna), ia adalah: khabar yang disepakati oleh para perawinya dari sisi makna bukan lafazh-lafazhnya. Hal ini seperti hadits-hadits Syafa'at, telaga Al-Khaudh, Ash-Shirath (jembatan) dan Al-Mizan (timbangan). [Ma'alim Ushul: 137].

B). Dan (Khabar Mutawatir) apabila ditinjau dari sisi ahlinya, ia juga terbagi menjadi dua (2): mutawatir di kalangan umum dan mutawatir di kalangan orang-orang khsusus.

Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahullahu:

ولهذا كان التواتر ينقسم إلى: عام وخاص، فأهل العلم بالحديث والفقه قد تواتر عندهم من السنة ما لم يتواتر عند العامة، كسجود السهو، ووجوب الشفعة، وحمل العاقلة العقل، ورجم الزاني المحصن، وأحاديث الرؤية، وعذاب القبر، والحوض، والشفاعة، وأمثال ذلك.

Oleh karena ini, Al-Mutawatir terbagi menjadi dua: umum dan khusus. Ahli ilmu tentang hadits dan fiqh, terkadang suatu sunnah mutawatir di sisi mereka akan tetapi tidak mutawatir di kalangan umum. Seperti sujud sahwi, wajibnya syuf'ah (menawarkan hak beli kepada syarikatnya), beban 'aqilah al-'aql, rajam terhadap pezina yang sudah menikah, hadits-hadits ru'yah, adzab kubur, telaga Al-Khaudh, syafa'at dan yang semisal itu.

وإذا كان الخبر قد تواتر عند قوم دون قوم، وقد يحصل العلم بصدقه لقوم دون قوم؛ فمن حصل له العلم به وجب عليه التصديق به والعمل بمقتضاه، كما يجب ذلك في نظائره.

Apabila khabar terkadang mutawatir menurut suatu kaum tidak bagi kaum yang lain, demikian juga terkadang terhasilkan suatu ilmu dengan membenarkannya bagi suatu kaum tidak bagi kamu yang lain. Maka barang siapa yang terhasilkan ilmu baginya dengan khabar tersebut, wajib baginya untuk membenarkan khabar tersebut dan mengamalkan keharusannya, sebagaimana wajibnya hal tersebut menurut pandangannya.

ومن لم يحصل له العلم بذلك فعليه أن يسلم ذلك لأهل الإجماع الذين أجمعوا على صحته، كما على الناس أن يسلموا الأحكام المجمع عليها إلى من أجمع عليها من أهل العلم، فإن الله عصم هذه الأمة أن تجتمع على ضلالة، وإنما يكون إجماعها بأن يسلم غير العالم للعالم؛ إذ غير العالم لا يكون له قول، وإنما القول للعالم.

Dan bagi yang tidak terhasilkan ilmu baginya dengan khabar tersebut, maka hendaknya ia menyerahkan hal tersebut kepada ahli ijma' yang telah bersepakat akan keshahihannya. Sebagaimana manusia menyerahkan hukum-hukum ijma' kepada yang telah bersepakat dari kalangan ahli ilmu. Sesungguhnya Allah menjaga ummat ini dari untuk bersepakat di atas kesesatan. Sesungguhnya ijma'nya adalah dengan menyerahkannya seorang yang tidak berilmu kepada seorang yang berilmu; karena seorang yang tidak berilmu ia tidak memiliki pendapat. Pendapat itu hanyalah milik seorang yang berilmu.    

فكما أن من لا يعرف أدلة الأحكام لا يعتد بقوله، فمن لا يعرف طرق العلم بصحة الحديث لا يعتد بقوله، بل على كل من ليس بعالم أن يتبع إجماع أهل العلم.

Sebagaimana seorang yang tidak mengetahui dalil-dalil hukum, pendapatnya tidak teranggap. Maka barang siapa yang tidak mengetahui metode-metode ilmu mengenai shahihnya suatu hadits, ia juga tidak teranggap pendapatnya. Bahkan bagi siapa saja yang bukan seorang ahli ilmu, wajib untuk mengikuti ijma'nya ahli ilmu. [Majmu' Fatawa: 18/69]. 

Kemudian berkata Ibnu Al-Qayyim rahimahullahu:

فإن ما تلقاه أهل الحديث بالقبول والتصديق فهو محصل للعلم مفيد لليقين، ولا عبرة بمن عداهم من المتكلمين والأصوليين.

Sesungguhnya khabar yang disambut oleh ahli hadits dengan menerima dan membenarkan, maka khabar tersebut menghasilkan ilmu dan memberikan faidah yakin. Tidak ada ibrah (yakni: tidak teranggap) pada selain mereka (ahli hadits), dari kalangan ahli kalam dan ahli  ushul.

فإن الاعتبار في الإجماع على كل أمر من الأمور الدينية بأهل العلم دون غيرهم، كما لم يعتبر في الإجماع على الأحكام الشرعية إلا العلماء بها دون المتكلمين والنحاة والأطباء.

Sesungguhnya yang teranggap dalam sebuah ijma' pada setiap perkara agama adalah dengan ahli ilmu, bukan selain mereka. Sebagaimana tidak teranggap dalam sebuah ijma' pada hukum syar'i melainkan hanya dari kalangan ulama tersebut, bukan dari kalangan ahli kalam, ahli nahwu dan para dokter.

وكذلك لا يعتبر في الإجماع على صحة الحديث وعدم صدقه إلا أهل العلم بالحديث وطرقه وعلله، وهم علماء الحديث العالمون بأحوال نبيهم، الضابطون لأقواله وأفعاله صلى الله عليع وسلم.

Demikian juga tidak teranggap dalam sebuah ijma' akan shahih dan tidak benar suatu hadits melainkan hanya dari kalangan ahli ilmu mengenai hadits, jalan-jalannya dan cacat-cacatnya, merekalah ulama hadits yang mengetahui keadaan-keadaan nabi mereka, yang menguasai perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan nabi shallallahu 'alaihi wasallam. [Mukhtahsar Ash-Shawa'iq: 465-466].

Wallahu a’lam bish shawab wa baarakallahu fikum.

Ditulis oleh :
Selasa - 04 - Dzul Hijjah - 1437 H / 06 - 09 - 2016 M


0 komentar:

Posting Komentar

Mubaarok Al-Atsary. Diberdayakan oleh Blogger.