KHABAR
MUTAWATIR BAG-SATU
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد
لله الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله وكفى بالله شهيدًا، وأشهد
أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له إقرارًا به وتوحيدًا، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله
صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليمًا مزيدًا، أما
بعد..
Definisi Al-Mutawatir.
المتواتر
لغة: المتتابع.
Al-Mutawatir
secara bahasa adalah Al-Mutatabi' (beruntun).
[Al-Mishbah Al-Munir: 645].
وفي اصطلاح الأصوليين: "خبر جماعة
مفيد بنفسه العلم".
Dan menurut istilah ahli ushul ia adalah: "Khabar
sekelompok orang yang memberikan faidah ilmu dengan sendirinya". [Mukhtashar
Ibnu Laham: 81].
وقد عرف بعضهم؛ التواتر بأنه:
"إخبار جماعة لا يمكن تواطؤهم على الكذب".
Dan sebagian ulama ada yang mendefinisikan;
Al-Mutawatir yaitu: "Pengkhabaran sekelompok orang yang tidak mungkin
mereka bersepakat untuk berdusta". [Qawaid Al-Ushul: 40].
وفي هذا التعريف احتراز عن خبر الواحد؛
فإن المتواتر لا بد فيه من العدد والكثرة، وهذا ما عبر عنه في التعريف بقيد "جماعة".
Dan pada
definisi ini terdapat tindakan preventif dari Khabar Ahad; karena Al-Mutawatir diharuskan
padanya berasal dari jumlah dan banyak. Inilah yang diungkapkan
mengenai hal tersebut dalam definisi dengan kait "sekelompok orang'.
أما قيد "مفيد بنفسه العلم"
فالمقصود به الاحتراز عما أفاد العلم بواسطة القرائن؛ إذ إن خبر التواتر يفيد العلم
بمجرد العدد والكثرة لا بالقرائن.
Adapun
kait "memberikan faidah ilmu dengan sendirinya". Yang dimaksud
dengan hal tersebut adalah bentuk preventif dari khabar yang memberikan faidah
ilmu dengan perantara qarinah (indikasi); karena sesungguhnya Khabar Mutawatir
memberikan faidah ilmu hanya semata dengan jumlah dan banyak
bukan dengan qarinah (indikasi). [Syarh Al-Kaukab Al-Munir: 2/324-325, &
Ma'alim Ushul: 136].
Pembagian Al-Mutawatir.
A). Khabar Mutawatir apabila ditinjau dari sisi matannya, maka
ia terbagi menjadi dua (2):
1). Mutawatir Secara Lafazh.
المتواتر اللفظي، وهو: ما اتفق فيه الرواة
على اللفظ والمعنى، كتواتر القرآن الكريم، وقوله -صلى الله عليه وسلم- : «من كذب علي
متعمدًا فليتبوأ مقعده من النار».
Mutawatir
Lafzhi (secara lafazh), ia adalah: khabar yang disepakati oleh para perawinya
baik lafazh maupun maknanya. Seperti mutawatirnya Al-Qur'an Al-Karim dan sabda
nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Barang siapa berdusta atas namaku
dengan sengaja, maka persiapkanlah tempat duduknya dari neraka". [HR:
Shahihain, & Ma'alim Ushul: 136].
2). Mutawatir Secara Makna.
المتواتر
المعنوي، وهو ما اتفق رواته على معناه دون ألفاظه، وذلك كأحاديث الشفاعة، والحوض، والصراط،
والميزان.
Mutawatir
Maknawi (secara makna), ia adalah: khabar yang disepakati oleh para perawinya dari
sisi makna bukan lafazh-lafazhnya. Hal ini seperti hadits-hadits Syafa'at,
telaga Al-Khaudh, Ash-Shirath (jembatan) dan Al-Mizan (timbangan). [Ma'alim
Ushul: 137].
B). Dan (Khabar Mutawatir) apabila ditinjau dari sisi ahlinya,
ia juga terbagi menjadi dua (2): mutawatir di kalangan umum dan mutawatir di
kalangan orang-orang khsusus.
Berkata
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu:
ولهذا كان التواتر ينقسم إلى: عام وخاص،
فأهل العلم بالحديث والفقه قد تواتر عندهم من السنة ما لم يتواتر عند العامة، كسجود
السهو، ووجوب الشفعة، وحمل العاقلة العقل، ورجم الزاني المحصن، وأحاديث الرؤية، وعذاب
القبر، والحوض، والشفاعة، وأمثال ذلك.
Oleh karena
ini, Al-Mutawatir terbagi menjadi dua: umum dan khusus. Ahli ilmu
tentang hadits dan fiqh, terkadang suatu sunnah mutawatir di sisi mereka akan
tetapi tidak mutawatir di kalangan umum. Seperti sujud sahwi, wajibnya syuf'ah
(menawarkan hak beli kepada syarikatnya), beban 'aqilah al-'aql, rajam terhadap
pezina yang sudah menikah, hadits-hadits ru'yah, adzab kubur, telaga Al-Khaudh,
syafa'at dan yang semisal itu.
وإذا كان الخبر قد تواتر عند قوم دون
قوم، وقد يحصل العلم بصدقه لقوم دون قوم؛ فمن حصل له العلم به وجب عليه التصديق به
والعمل بمقتضاه، كما يجب ذلك في نظائره.
Apabila khabar
terkadang mutawatir menurut suatu kaum tidak bagi kaum yang lain, demikian juga
terkadang terhasilkan suatu ilmu dengan membenarkannya bagi suatu kaum tidak
bagi kamu yang lain. Maka barang siapa yang terhasilkan ilmu baginya dengan
khabar tersebut, wajib baginya untuk membenarkan khabar tersebut dan
mengamalkan keharusannya, sebagaimana wajibnya hal tersebut menurut
pandangannya.
ومن لم يحصل له العلم بذلك فعليه أن يسلم
ذلك لأهل الإجماع الذين أجمعوا على صحته، كما على الناس أن يسلموا الأحكام المجمع عليها
إلى من أجمع عليها من أهل العلم، فإن الله عصم هذه الأمة أن تجتمع على ضلالة، وإنما
يكون إجماعها بأن يسلم غير العالم للعالم؛ إذ غير العالم لا يكون له قول، وإنما القول
للعالم.
Dan bagi yang
tidak terhasilkan ilmu baginya dengan khabar tersebut, maka hendaknya ia
menyerahkan hal tersebut kepada ahli ijma' yang telah bersepakat akan
keshahihannya. Sebagaimana manusia menyerahkan hukum-hukum ijma' kepada yang
telah bersepakat dari kalangan ahli ilmu. Sesungguhnya Allah menjaga ummat ini
dari untuk bersepakat di atas kesesatan. Sesungguhnya ijma'nya adalah dengan
menyerahkannya seorang yang tidak berilmu kepada seorang yang berilmu; karena
seorang yang tidak berilmu ia tidak memiliki pendapat. Pendapat itu hanyalah
milik seorang yang berilmu.
فكما أن من لا يعرف أدلة الأحكام لا يعتد
بقوله، فمن لا يعرف طرق العلم بصحة الحديث لا يعتد بقوله، بل على كل من ليس بعالم أن
يتبع إجماع أهل العلم.
Sebagaimana
seorang yang tidak mengetahui dalil-dalil hukum, pendapatnya tidak teranggap.
Maka barang siapa yang tidak mengetahui metode-metode ilmu mengenai shahihnya
suatu hadits, ia juga tidak teranggap pendapatnya. Bahkan bagi siapa saja yang
bukan seorang ahli ilmu, wajib untuk mengikuti ijma'nya ahli ilmu. [Majmu'
Fatawa: 18/69].
Kemudian
berkata Ibnu Al-Qayyim rahimahullahu:
فإن ما تلقاه أهل الحديث بالقبول والتصديق
فهو محصل للعلم مفيد لليقين، ولا عبرة بمن عداهم من المتكلمين والأصوليين.
Sesungguhnya
khabar yang disambut oleh ahli hadits dengan menerima dan membenarkan, maka
khabar tersebut menghasilkan ilmu dan memberikan faidah yakin. Tidak ada ibrah
(yakni: tidak teranggap) pada selain mereka (ahli hadits), dari kalangan ahli
kalam dan ahli ushul.
فإن الاعتبار في الإجماع على كل أمر من
الأمور الدينية بأهل العلم دون غيرهم، كما لم يعتبر في الإجماع على الأحكام الشرعية
إلا العلماء بها دون المتكلمين والنحاة والأطباء.
Sesungguhnya
yang teranggap dalam sebuah ijma' pada setiap perkara agama adalah dengan ahli
ilmu, bukan selain mereka. Sebagaimana tidak teranggap dalam sebuah ijma' pada
hukum syar'i melainkan hanya dari kalangan ulama tersebut, bukan dari kalangan
ahli kalam, ahli nahwu dan para dokter.
وكذلك لا يعتبر في الإجماع على صحة الحديث
وعدم صدقه إلا أهل العلم بالحديث وطرقه وعلله، وهم علماء الحديث العالمون بأحوال نبيهم،
الضابطون لأقواله وأفعاله صلى الله عليع وسلم.
Demikian juga
tidak teranggap dalam sebuah ijma' akan shahih dan tidak benar suatu hadits
melainkan hanya dari kalangan ahli ilmu mengenai hadits, jalan-jalannya dan
cacat-cacatnya, merekalah ulama hadits yang mengetahui keadaan-keadaan nabi
mereka, yang menguasai perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan nabi
shallallahu 'alaihi wasallam. [Mukhtahsar Ash-Shawa'iq: 465-466].
Wallahu a’lam bish shawab wa baarakallahu fikum.
Ditulis oleh :
Selasa -
04 - Dzul Hijjah - 1437 H / 06 - 09 - 2016 M
0 komentar:
Posting Komentar