PERTEMUAN : KE-ENAM BELAS
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"HADITS DHA'If BAGIAN SATU"
Berkata
An-Nazhim imam Al-Baiquniy rahmatullahi 'alaihi:
وَكُلُّ مَا عَنْ رُتَبَةِ
الُحسْنِ قَصُرْ * فَهْوَ الضَّعِيْفُ وَهْوَ أَقْسَاماً كُثُرْ
((Dan setiap hadits yang turun dari derajat hasan * maka ia
adalah dha'if, dan ia banyak berjenis-jenis))
Kemudian
Asy-Syaikh Ibnu Al-'Utsaimin rahimahullahu menjabarkan:
الحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ هُوَ القِسْمُ
الثَّالِثُ فِيْ النَّظَمِ، وَهُوَ: مَا خَلَا عَنْ رُتْبَةِ الحَدِيْثِ الحَسَنِ.
Hadits Dha'if
adalah bagian ketiga dalam nazham, ia adalah: hadits yang kosong dari derajat
hadits hasan.
وَمَعْلُوْمٌ، أَنَّهُ إِذَا خَلَا عَنْ
رُتْبَةِ الحَدِيْثِ الحَسَنِ، فَقَدْ خَلَا عَنْ رُتْبَةِ الصِّحَّةِ، وَحِيْنَئِذٍ
نَقُوْلُ: الحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ مَا لَمْ تَتَوَافَرْ فِيْهِ شُرُوْطُ الصِّحَّةِ
وَالحَسَنِ، أَيْ: مَا لَمْ يَكُنْ صَحِيْحاً وَلَا حَسَناً، فَلَوْ رَوَاهُ شَخْصٌ
عَدْلٌ لَكِنَّ ضَبْطَهُ ضَعِيْفٌ، وَلَيْسَ بِخَفِيْفِ الضَّبْطِ، فَإِنَّ هَذَا الحَدِيْثَ
يَكُوْنُ ضَعِيْفاً، وَإِذَا رَوَاهُ بِسَنَدٍ مُنْقَطِعٍ يَكُوْنُ ضَعِيْفاً أَيْضاً؛
وَهَلُمَّ جَرًّا.
Dan hal yang
maklum, bahwa apabila suatu hadits kosong dari derajat hasan, maka sudah pasti
ia kosong dari derajat shahih. Tatkala itulah kita katakan: Hadits Dha'if
adalah hadits yang tidak terpenuhi padanya syarat-syarat shahih dan hasan.
Yakni: bukan hadits shahih dan juga bukan hadits hasan. Apabila seorang perawi
yang 'adil meriwayatkan suatu hadits, akan tetapi dhabth-nya lemah, bukan
khafif adh-dhabth (dhabth yang ringan), maka sungguh hadits ini adalah hadits
dha'if. Dan apabila ia meriwayatkan hadits tersebut dengan sanad yang terputus,
maka hadits tersebut juga dha'if. Demikian seterusnya.
وَقَدْ ذَكَرَ الْمُؤَلِّفُ الآنَ ثَلَاثَةَ
أَقْسَامٍ مِنْ أَقْسَامِ الحَدِيْثِ وَهِيَ: 1). الصَّحِيْحُ، 2). الحَسَنُ، 3). الضَّعِيْفُ.
Al-Muallif
(imam Al-Baiquniy rahimahullahu) sekarang beliau telah menyebutkan tiga bagian
dari bagian-bagian hadits, yaitu: 1). Shahih, 2). Hasan, dan 3). Dha'if.
لَكِنَّ الوَاقِعَ أَنَّ الْأَقْسَامَ
خَمْسَةٌ عَلَى مَا حَرَّرَهُ ابْنُ حَجَرَ وَغَيْرُهُ: 1). الصَّحِيْحُ لِذَاتِهِ،
2). الصَّحِيْحُ لِغَيْرِهِ، 3). الحَسَنُ لِذَاتِهِ، 4). الحَسَنُ لِغَيْرِهِ، 5).
الضَّعِيْفُ.
Akan tetapi
faktanya, sesungguhnya bagian-bagian tersebut ada lima (5) berdasarkan apa yang
telah diintisarikan oleh Ibnu Hajar dan yang lainnya rahimahumullahu: 1).
Shahih Li Dzatih, 2). Shahih Li Ghairih, 3). Hasan Li Dzatih, 4). Hasan Li
Ghairih, dan 5). Dha'if.
فَالصَّحِيْحُ لِذَاتِهِ: هُوَ مَا تَقَدَّمَ
تَعْرِيفُهُ.
Adapun Shahih
Li Dzatihi: ia adalah apa yang telah berlalu definisinya (yakni pada
pertemuan ke tujuh, delapan, sembilan, sebelas dan dua belas pada kitab ini _pent).
والصحيح لغيره: هو الحسن إذا تعددت طرقه،
وسُمي صحيحاً لغيره؛ لأنه إنما وصل إلى درجة الصحة من أجل تعدد الطرق.
Adapun Shahih
Li Ghairih: ia adalah Hasan (Li Dzatihi) apabila berbilang
jalan-jalannya. Dinamakan Shahih Li Ghairih; karena ia bisa sampai pada jenjang
shahih disebabkan berbilangnya jalan-jalannya.
Tambahan
keterangan. (pent)
(Silahkan lihat
detil masalah seputar Shahih Li Ghairih pada pertemuan ke-tujuh bagian pertama dari kitab musthalah al-hadits yang alhamdulillah telah selesai kita pelajari
bersama sebelumnya).
Kemudian
berkata Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullahu:
فَمَثَلاً: إِذَا جَاءَنَا حَدِيْثٌ لَهُ
أَرْبَعَةُ أَسَانِيْدَ، وَكُلُّ إِسْنَادٍ مِنْهُ فِيْهِ رَاوِيٌّ خَفِيْفُ الضَّبْطِ،
فَنَقُوْلُ: الْآنَ يَصِلُ إِلَى دَرَجَةِ الصِّحَّةِ، وَصَارَ صَحِيْحاً لِغَيْرِهِ.
Sebagai misal: apabila
datang kepada kita sebuah hadits dan ia memiliki empat sanad, masing-masing
sanad dari hadits tersebut terdapat seorang perawi yang dhabth-nya khafif
(ringan). Maka kita katakan: sekarang ia mencapai jenjang shahih, maka jadilah
hadits tersebut Shahih Li Ghairih.
أَمَّا الحَسَنُ لِذَاتِهِ: فَقَدْ تَقَدَّمَ
تَعْرِيْفُهُ وَهُوَ: مَا رَوَاهُ عَدْلٌ خَفِيْفُ الضَّبْطِ، بِسَنَدٍ مُتَّصِلٍ،
وَخَلَا مِنَ الشُّذُوْذِ، وَالعِلَّةِ القَادِحَةِ.
Adapun Hasan
Li Dzatihi: ia juga telah berlalu definisinya, yaitu: suatu hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang 'adil, dhabth-nya khafif (ringan), dengan sanad
yang muttashil, kosong dari syadz dan cacat yang merusak.
Tambahan
keterangan. (pent)
(Lihat lebih
detilnya mengenai Hasan Li Dzatih pada pertemuan ke lima belas sebelum
pertemuan ini. Dan lihat juga kitab musthalah al-hadits bagian pertama pertemuan ke-enam).
Kemudian
berkata Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullahu:
وأما الحسن لغيره: فهو الضعيف إذا تعددت
طرقه على وجه يجبر بعضها بعضاً، فإنه يكون حسناً لغيره، لماذا؟ لأننا لو نظرنا إلى
كل إسناد على انفراده لم يصل إلى درجة الحسن، لكن باجتماع بعضها إلى بعض صار حسناً.
Adapun
Hasan Li Ghairih: ia adalah hadits dha'if apabila berbilang
jalan-jalannya dengan bentuk yang saling menguatkan sebagiannya terhadap
sebagian yang lain. Maka jadilah hadits tersebut Hasan Li Ghairih, mengapa?
Karena apabila kita meninjau kepada masing-masing sanad secara bersendirian, ia
tidak bisa mencapai jenjang hasan. Akan tetapi dengan terkumpulkannya sebagian
hadits-hadits tersebut dengan sebagian yang lain, maka iapun menjadi hadits
hasan (yakni: li ghairih).
Tambahan
keterangan. (pent)
(Lihat lebih
detilnya mengenai uraian Hasan Li Ghairih pada kitab musthalah al-hadits bagian pertama pertemuan ke-delapan).
Wallahu a’lam bish shawab wa baarakallahu fikum.
Ditulis oleh :
Selasa -
04 - Dzul Hijjah - 1437 H / 06 - 09 - 2016 M
0 komentar:
Posting Komentar