PERTEMUAN : KE
- DELAPAN
BUKU :
MUSTHALAH AL-HADITS
PENGARANG :
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
__________
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"HASAN LI GHAIRIH"
Para pembaca sekalian yang kami mulyakan, kita masih berada pada
uraian seputar “hadits ahad ditinjau dari sisi kekuatan sanadnya”.
Dimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa uraian ini terbagi menjadi lima
bagian : 1). Shahih Li Dzatih, telah berlalu uraiannya. 2). Shahih Li Ghairih, telah berlalu
uraiannya. 3). Hasan Li Dzatih, juga telah berlalu uraiannya. Walhamdulillah.
Kemudian, kita akan memasuki bagian yang ke - 4 (empat) insya Allah, yakni seputar
masalah “Hasan Li Ghairih”.
4). DEFINISI HASAN LI GHAIRIH.
Berkata asy-syaikh rahimahullah :
4_ وَالحَسَنُ
لِغَيرِهِ : الضَّعِيفُ إِذَا تَعَدَّدَت طُرُقُهُ عَلَى وَجهٍ يَجبُرُ بَعضُهَا
بَعضاً، بِحَيثُ لاَ يَكُونُ فِيهَا كَذَّابٌ، وَلاَ مُتَّهَمٌ بِالكَذبِ
Dan (definisi) Hasan Li Ghairih yaitu :
Adh - dha’if apabila berbilang jalan - jalan (periwayatan) nya,
dengan bentuk yang saling menguatkan sebagiannya terhadap sebagian yang lain,
dan tidak adanya perawi yang “كَذَّابٌ” (pendusta) di dalamnya, dan tidak pula
adanya perawi yang “مُتَّهَمٌ بِالكَذبِ” (tertuduh berdusta).
Beberapa kesimpulan dan faidah dari pengertian hasan li ghairih
yang disampaikan oleh asy-syaikh rahimahullah (pent) :
Apa yang disampaikan oleh asy-syaikh rahimahullah mengenai pengertian hadits Hasan Li Ghairih di atas, didalamnya
terdapat isyarat pensyaratan pada suatu hadits, kapan ia dihukumi sebagai
hadits yang hasan li Ghairih. Di antara syarat - syarat tersebut adalah :
A). “الضَّعِيفُ إِذَا تَعَدَّدَت طُرُقُهُ” Adh-dha’if apabila berbilang jalan - jalan
(periwayatan) nya.
Ini menunjukan, apabila tidak berbilang, maka hadits yang dha’if
tidak bisa mencapai derajat Hasan Li Ghairih.
B). “عَلَى وَجهٍ يَجبُرُ بَعضُهَا بَعضاً” Dengan bentuk yang saling menguatkan
sebagiannya terhadap sebagian yang lain.
Ini mengisyaratkan kepada kita bahwa, hadits dha’if terbagi
menjadi dua :
Pertama.
“خَفِيفُ الضَّعفِ” (Dha’if yang ringan). Jenis dha’if ini juga
disebut dengan istilah “ضَعِيفٌ مُنجَبِرٌ” (Dha’if yang menguatkan). Dha’if inilah
yang apabila berbilang jalan periwayatannya, bisa saling menguatkan dan bisa
mencapai derajat Hasan Li Ghairih.
Kedua.
“شَدِيدُ الضَّعفِ” (Dha’if yang Syadid/yang berat). Dha’if
jenis ini adalah jenis dha’if yang tidak bisa saling menguatkan apabila
berbilang (terlebih lagi apabila bersendirian).
C). “لاَ يَكُونُ فِيهَا كَذَّابٌ، وَلاَ مُتَّهَمٌ بِالكَذبِ” Tidak adanya
perawi yang “كَذَّابٌ” atau “مُتَّهَمٌ بِالكَذبِ” di dalamnya.
Ini memberikan faidah kepada kita bahwa, sebuah hadits apabila
dalam jalan periwayatannya terdapat perawi dengan kriteria tersebut, yakni “كَذَّابٌ” atau “مُتَّهَمٌ بِالكَذبِ”, maka haditsnya dihukumi sebagai hadits
dha’if dan tidak bisa saling menguatkan apabila berbilang. Dan dha’if ini masuk
dalam jenis “شَدِيدُ الضَّعفِ”. Wallahu a’lam.
Kesimpulan Global :
1). Ada hadits dha’if yang bisa saling
menguatkan apabila berbilang. Ini diisthilahkan dengan “خَفِيفُ الضَّعفِ” bisa juga
disebut “ضَعِيفٌ مُنجَبِرٌ”. Dan
2). Ada hadits dha’if yang tidak bisa
saling menguatkan apabila berbilang (terlebih bersendirian). Ini disebut dengan
istilah “شَدِيدُ الضَّعفِ”.
*****
CONTOH HADITS HASAN LI GHAIRIH.
Berkata Asy - Syaikh rahimahullah :
مِثَالُهُ : حَدِيثُ عُمَرَ بنِ
الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنهُ قَالَ : كَانَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ إِذَا مَدَّ يَدَيهِ فِي الدُّعَاءِ لَم يَرُدَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ
بِهِمَا وَجهَهُ، أَخرَجَهُ التِّرمِذِيُ
Contohnya adalah :
Hadits Umar Ibnul Khaththab radhiallahu
‘anhu, beliau berkata :
كَانَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ
عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَدَّ يَدَيهِ فِي الدُّعَاءِ لَم يَرُدَّهُمَا حَتَّى
يَمسَحَ بِهِمَا وَجهَهُ
“Adalah nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila beliau membentangkan kedua tangannya tatkala berdoa,
beliau tidak mengembalikannya hingga beliau mengusapkan keduanya pada
wajahnya.” (Hadits ini diriwayatkan oleh imam Tirmidzi)
قَالَ فِي "بُلُوغِ المَرَامِ"
: وَلَهُ شَوَاهِدُ عِندَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيرِهِ، وَمَجمُوعُهَا يَقضِي
بِأَنَّهُ حَدِيثٌ حَسَنٌ
Berkata (Ibnu Hajar rahimahullah) dalam “Bulughul Maram” :
Hadits ini memiliki syawahid (pendukung) pada (Sunan) Abu Daud. Dan apabila digabungkan, ia
mengharuskan bahwa hadits tersebut adalah Hadits Hasan (Li Ghairih).
Sekedar pemberitahuan (pent):
Hadits yang dibawakan oleh asy-syaikh rahimahullah tersebut adalah hadits yang para pakar hadits berselisih dalam
menentukan hukum padanya. Sebagian mereka ada yang berpendapat tidak bisa
mencapai derajat Hasan Li Ghairih. Dan sebagian yang lain berpendapat bisa
saling menguatkan dan bisa mencapai hukum Hasan Li Ghairih.
Adapun maksud asy-syaikh rahimahullah membawakan hadits tersebut disini, bukan berarti menunjukan
beliau berpendapat sunnah mengusap wajah setelah berdoa berdasarkan hadits
tersebut. Akan tetapi lebih mengarah kepada Min Babit Tamtsil alias dalam
rangka memberi contoh dan gambaran.
Adapun pendapat beliau dalam masalah mengusap wajah setelah
berdoa, dalam berbagai kitab dan pelajaran beliau, diantaranya sebagaimana
disebutkan dalam kitab "Syarh Mumti" dan juga dalam "Al-Fatawa"
karya beliau. Beliau berkata dengan konteks :
وَالَّذِي أَرَاهُ أَنَّ مَسحَ
الوَجهِ بَعدَ الدُّعَاءِ لَيسَ بِسُنَّةٍ، لَكِن مَن مَسَحَ فَلاَ يُنكَرُ
عَلَيهِ، وَمَن تَرَكَ فَلاَ يُنكَرُ عَلَيهِ
Dan pendapat yang aku pandang, bahwasannya mengusap wajah setelah
berdoa bukan termasuk dalam kategori sunnah. Akan tetapi barang siapa yang
melakukannya, ia tidak diingkari. Sebagaimana juga yang meninggalkannya, ia
tidak diingkari. (Al - Fatawa li Ibni Utsaimin, bab Shalat Tathawu’).
Kesimpulan :
Maka dari sini, nampaklah bagi kita bersama, bahwa asy-syaikh rahimahullah mengisyaratkan adanya khilaf dalam menghukumi hadits tersebut.
Bahkan dalam ucapan beliau yang lain, beliau tegas menyatakan adanya khilaf
dalam masalah ini. Dan beliau rahimahullah lebih memilih jalan tengah, yakni
mengkompromikan di antara keduanya. Wallahu a’lam.
*****
Mengapa ia dinamakan Hasan Li Ghairih, tidak dinamakan Hasan Li
Dzatih ??? Diterangkan oleh asy-syaikh rahimahullah :
وَإِنَّمَا سُمِيَ حَسَناً
لِغَيرِهِ؛ لِأًنَّهُ لَو نُظِرَ إِلَى كُلِّ طَرِيقٍ بِانفِرَادِهِ لَم يَبلُغ
رُتبَةَ الحَسَنِ، فَلَمَّا نُظِرَ إِلَى مجَمُوعِ طُرُقِهِ قَوِيَ حَتَّى
بَلَغَهَا
Ia dinamakan “Hasan Li Ghairih” (yakni tidak dinamakan Hasan Li
Dzatih _pent), karena apabila dilihat pada masing - masing jalannya secara
bersendirian, ia tidak mencapai level Hasan. Dan tatkala dilihat dengan cara
digabungkan jalan - jalannya, jadilah ia kuat dan mencapai level hasan. (Maka
dikatakanlah “Hasan Li Ghairih _pent).
Wallahu a’lam bish shawab.
*****
LATIHAN
1). Hasan Li Ghairih yaitu : …
2). Hadits dha’if terbagi menjadi dua,
yaitu …
3). Sebutkan di antara contoh hadits
Hasan Li Ghairih!
4). Berkata (Ibnu Hajar rahimahullah) dalam “Bulughul Maram” : …
5). Apa komentar asy-syaikh tentang
masalah mengusap wajah setelah berdoa?
6). Mengapa suatu hadits dinamakan
Hasan Li Ghairih, tidak Hasan Li Dzatih ?
JAWABAN
1). Adh - dha’if apabila berbilang
jalan - jalan (periwayatan) nya, dengan bentuk yang saling menguatkan
sebagiannya terhadap sebagian yang lain, dan tidak adanya perawi yang “كَذَّابٌ” (pendusta) di dalamnya, dan tidak pula
adanya perawi yang “مُتَّهَمٌ بِالكَذبِ” (tertuduh berdusta).
2). Hadits dha’if terbagi menjadi dua,
yaitu …
Pertama.
“خَفِيفُ الضَّعفِ” (Dha’if yang ringan). Jenis dha’if ini juga
disebut dengan istilah “ضَعِيفٌ مُنجَبِرٌ” (Dha’if yang menguatkan). Dha’if inilah
yang apabila berbilang jalan periwayatannya, bisa saling menguatkan dan bisa
mencapai derajat Hasan Li Ghairih.
Kedua.
“شَدِيدُ الضَّعفِ” (Dha’if yang Syadid/yang berat). Dha’if
jenis ini adalah jenis dha’if yang tidak bisa saling menguatkan apabila
berbilang (terlebih lagi apabila bersendirian).
3). Contohnya adalah :
حَدِيثُ عُمَرَ بنِ الخَطَّابِ
رَضِيَ اللهُ عَنهُ قَالَ : كَانَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا
مَدَّ يَدَيهِ فِي الدُّعَاءِ لَم يَرُدَّهُمَا حَتَّى يَمسَحَ بِهِمَا وَجهَهُ،
أَخرَجَهُ التِّرمِذِيُ
Hadits Umar Ibnul Khaththab radhiallahu
‘anhu, beliau berkata :
كَانَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ
عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَدَّ يَدَيهِ فِي الدُّعَاءِ لَم يَرُدَّهُمَا حَتَّى
يَمسَحَ بِهِمَا وَجهَهُ
“Adalah nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila beliau membentangkan kedua tangannya tatkala berdoa,
beliau tidak mengembalikannya hingga beliau mengusapkan keduanya pada
wajahnya.” (Hadits ini diriwayatkan oleh imam Tirmidzi)
4). Berkata (Ibnu Hajar rahimahullah) dalam “Bulughul Maram” : …
وَلَهُ شَوَاهِدُ عِندَ أَبِي
دَاوُدَ وَغَيرِهِ، وَمَجمُوعُهَا يَقضِي بِأَنَّهُ حَدِيثٌ حَسَنٌ
Hadits ini memiliki syawahid (pendukung) pada (Sunan) Abu Daud. Apabila diganbungkan, hal ini
mengharuskan bahwa hadits tersebut adalah Hadits Hasan (Li Ghairih).
5). Berkata asy-syaikh rahimahullah : . . .
وَالَّذِي أَرَاهُ أَنَّ مَسحَ
الوَجهِ بَعدَ الدُّعَاءِ لَيسَ بِسُنَّةٍ، لَكِن مَن مَسَحَ فَلاَ يُنكَرُ
عَلَيهِ، وَمَن تَرَكَ فَلاَ يُنكَرُ عَلَيهِ
Dan pendapat yang aku pandang, bahwasannya mengusap wajah setelah
berdoa bukan termasuk dalam kategori sunnah. Akan tetapi barang siapa yang
melakukannya, ia tidak diingkari. Sebagaimana juga yang meninggalkannya, ia
tidak diingkari. (Al - Fatawa li Ibni Utsaimin, bab Shalat Tathawu’).
6). Sebagaimana dijelaskan oleh asy-syaikh rahimahullah : . . .
وَإِنَّمَا سُمِيَ حَسَناً
لِغَيرِهِ؛ لِأًنَّهُ لَو نُظِرَ إِلَى كُلِّ طَرِيقٍ بِانفِرَادِهِ لَم يَبْلُغْ
رُتْبَةَ الحَسَنِ، فَلَمَّا نُظِرَ إِلَى مجَمُوعِ طُرُقِهِ قَوِيَ حَتَّى
بَلَغَهَا
Ia dinamakan “Hasan Li Ghairih” (yakni tidak dinamakan Hasan Li
Dzatih _pent), karena apabila dilihat pada masing - masing jalannya secara
bersendirian, ia tidak mencapai level Hasan. Dan tatkala dilihat dengan cara digabungkan
jalan - jalannya, jadilah ia kuat dan mencapai level hasan. (Maka dikatakanlah
“Hasan Li Ghairih _pent).
*****
Alhamdulillah sudah mulai meluas sedikit ya, semakin terasa sakit
kepalanya, semangaaattt…!!!
Baarakallahu fikum.
Ditulis oleh :
Rabu - 1 - Juli - 2015 M.
0 komentar:
Posting Komentar