بسم الله الرحمن الرحيم
Soal : Apakah
diperbolehkan mengambil upah dari menyampaikan hadits? Dan apakah perawi yang mengambil upah dari menyampaikan
hadits, maqbul (diterima) riwayatnya?
Jawab : Setidaknya
ada dua pendapat dikalangan ulama ahli hadits mengenai masalah ini.
1.
Pendapat pertama.
Tidak
boleh mengambil upah. Dan jika mengambil upah, maka tidak diterima haditsnya
dan tidak boleh menulis hadits darinya. Ini adalah pendapat sejumlah ulama ahli
hadits, diantaranya adalah imam Ahmad bin Hambal, Abu Hatim ar-Razi dan Ishaq
bin Rahawaih rahmatullahi ‘alaihim.
Al-hafizh
Ibnu Shalah rahmatullahi ‘alaihi menuturkan :
من أخذ على التحديث
أجرًا منع ذلك من قبول روايته عند قوم من أئمة الحديث. روينا عن إسحاق بن إبراهيم:
أنه سئل عن المحدث يحدث بالأجر ؟ فقال: لا يكتب عنه!. وعن أحمد بن حنبل و أبي حاتم
الرازي نحو ذلك.
Barang siapa yang mengambil upah
dari menyampaikan hadits, maka hal tersebut menghalangi dari diterima riwayatnya
menurut sebagian ulama ahli hadits. Telah diriwayatkan kepada kami, dari Ishaq
bin Ibrahim: bahwa beliau pernah ditanya tentang seorang muhaddits yang
menyampaikan hadits dengan upah? Maka beliau menjawab: tidak boleh menulis
hadits darinya!. Dan juga terdapat riwayat yang semakna dengan ini dari Ahmad
bin Hambal dan Abu Hatim ar-Razi. (Ma’rifat
Anwa’ Ulum Hadits)
2.
Pendapat kedua.
Sebagian ulama
yang lain ada yang memberikan rukhshat (keringanan), boleh mengambil upah dari
menyampaikan hadits. Karena pada masalah ini terdapat kesamaan hukum dengan
bolehnya mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur’an. Hanya saja secara adat dan
kebiasaan, hal ini dapat mengurangi nilai muru’ah, dan bisa menyebabkan
pelakunya mendapatkan prasangka buruk. Terkecuali adanya alasan yang menepis
sangkaan buruk tersebut. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh al-hafizh Abu
Nu’aim al-Fadhl bin Dukain dan al-hafizh Ali bin Abdul Aziz dan yang lain.
Al-hafizh
Ibnu Shalah rahmatullahi ‘alaihi menuturkan :
وترخص أبو
نعيم الفضل بن دكين و علي بن عبد العزيز المكي وآخرون في أخذ العوض على التحديث.
وذلك شبيه بأخذ الأجرة على تعليم القرآن ونحوه. غير أن في هذا من حيث العرف خرمًا
للمروءة والظن يساء بفاعله إلا أن يقترن ذلك بعذر ينفي ذلك عنه.
Al-hafizh Abu
Nu’aim al-Fadhl bin Dukain dan al-hafizh Ali bin Abdul Aziz al-Makki dan yang
lainnya, mereka memberikan rukhshat
(keringanan), boleh mengambil upah dari menyampaikan hadits. Karena
pada masalah ini terdapat keserupaan hukum dengan bolehnya mengambil upah dari
mengajarkan Al-Qur’an dan yang semisalnya. Hanya saja secara adat (atau
kebiasaan), hal ini dapat mengurangi
nilai muru’ah, dan bisa menyebabkan pelakunya mendapatkan prasangka buruk.
Terkecuali adanya alasan yang menepis sangkaan buruk tersebut darinya. (Ma’rifat Anwa’ Ulum Hadits)
كمثل ما
حدثنيه الشيخ أبو المظفر عن أبيه الحافظ أبي سعد السمعاني: أن أبا الفضل محمد بن
ناصر السلامي ذكر: أن أبا الحسين بن النقور فعل ذلك لأن الشيخ أبا إسحاق الشيرازي
أفتاه بجواز أخذ الأجرة على التحديث لأن أصحاب الحديث كانوا يمنعونه عن الكسب
لعياله والله أعلم.
Ini seperti
yang disampaikan kepada saya oleh Abu al-Muzhaffar, dari ayah beliau al-hafizh
Abu Sa’d as-Sam’ani: bahwa Abu al-Fadhl Muhammad bin Nashir as-Salami
menyebutkan: sesungguhnya Abu al-Husain bin an-Naqur melakukan hal tersebut (yakni:
mengambil upah dari menyampaikan hadits). Karena asy-Syaikh Abu Ishaq asy-Syirazi
memberikan fatwa kepada beliau akan bolehnya mengambil upah dari menyampaikan
hadits, karena ahli hadits sering terhalangi dari bekerja untuk keluarganya. Wallahu
a’lam. (Ma’rifat
Anwa’ Ulum Hadits)
Alih bahasa
: Dheas Ummu Muhammad.
0 komentar:
Posting Komentar