Translate

Selasa, 16 Agustus 2016

013. Mabahits Haditsiyah.



PERTEMUAN : KE-TIGA BELAS
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"MABAHITS HADITSIYAH"

* الَمبْحَثُ الْأَوَّلُ:

*Pembahasan Pertama.

تَنْقَسِمُ الْأَخْبَارُ الْمَنْقُوْلَةُ إِلَيْنَا إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Khabar yang dinukilkan kepada kita terbagi menjadi tiga (3) bagian:

1_ الحَدِيْثُ: وَهُوَ يُخْتَصُّ بِمَا أُضِيْفَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Pertama.
Al-Hadits: ia adalah yang dikhususkan terhadap apa-apa yang disandarkan kepada nabi shallallahu 'alahi wasallam.

2_ الأَثَرُ: وَهُوَ يُخْتَصُّ بِمَا أُضِيْفَ إِلَى مَنْ دُوْنَهُ، مِنَ الصَّحَابَةِ، أَوِ التَّابِعِيْنَ، أَوْ مَنْ بَعْدَهُمْ.

Kedua.
Al-Atsar: ia adalah yang dikhususkan terhadap apa-apa yang disandarkan kepada selain nabi shallallahu 'alahi wasallam, dari kalangan para shahabat atau tabi'in atau orang-orang setelah mereka. 

3_ الخَبَرُ: وَهُوَ يَعُمُّ الحَدِيْثَ وَالْأَثَرَ.

Ketiga.
Al-Khabar: ia mencakup hadits dan atsar.

وَلَا يُطْلَقُ الْأَثَرُ عَلَى الْمَرْفُوْعِ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا مُقَيَّداً، مِثْلُ أَنْ يُقَالَ: "وَفِيْ الْأَثَرِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ"، أَمَّا عِنْدَ الإِطْلَاقِ فَهُوَ مَا أُضِيْفَ إِلَى الصَّحَابِيِّ فَمَنْ دُوْنَهُ.

Tidak di-muthlaq-kan kata "Al-Atsar" terhadap nabi shallallahu 'alaihi wasallam melainkan harus muqayyad (dikaitkan). Seperti dikatakan: "dan dalam atsar dari nabi shallallahu 'alaihi wasallam". Adapun jika hanya di-muthlaq-kan, maka ia adalah apa-apa yang disandarkan kepada shahabat dan yang setelahnya.

*****

* المَبْحَثُ الثَّانِي:

*Pembahasan Kedua.

أَحْوَالُ التَّلَقِّي ثَلَاثَةٌ:

Keadaan bertalaqi (mengambil dari guru) itu ada tiga (3):

1_ أَنْ يُصَرِّحَ بِالسَّمَاعِ مِنْهُ.

Pertama.
Seorang perawi men-sharih (menyatakan dengan jelas), ia telah mendengar dari gurunya. 

2 _ أَنْ يَثْبُتَ لُقِيُّهُ بِهِ دَوْنَ السَّمَاعِ مِنْهُ.

Kedua.
Terbukti ia bertemu gurunya, tetapi tidak terbukti telah mendengar dari guru tersebut.

3_ أَنْ يَكُوْنَ مُعَاصِراً لَهُ وَلَكِنْ لَمْ يَثْبُتْ أَنَّهُ لَقِيَهُ.

Ketiga.
Perawi satu zaman dengan gurunya, akan tetapi tidak terbukti bahwa ia pernah bertemu dengan guru tersebut.

*****

Keterangan Pembahasan Kedua

Pertama.
Seorang perawi men-sharih (menyatakan dengan jelas), ia telah mendengar dari gurunya. 

فَأَمَّا إِذَا ثَبَتَ السَّمَاعُ مِنْهُ فَقَالَ: سَمِعْتُ فُلَاناً أَوْ حَدَّثَنِيْ فُلَانٌ، فَالِاتِّصَالُ وَاضِحٌ.

Adapun apabila terbukti ia telah mendengar dari gurunya, dimana ia mengatakan: "aku telah mendengar fulan" atau "fulan telah menyampaikan hadits kepadaku", maka kebersambungan tersebut adalah jelas.

Kesimpulan:
Lafazh سَمِعْتُ (aku telah mendengar) atau lafazh حَدَّثَنِيْ (telah menyampaikan kepadaku) adalah termasuk lafazh yang memberikan bukti bahwa perawi telah mendengar dari gurunya dan lafazh tersebut juga menunjukkan اتصال السند (bersambungnya sanad). (pent)

Kedua.
Terbukti ia bertemu gurunya, tetapi tidak terbukti telah mendengar dari guru tersebut.

أَمَّا إِذَا ثَبَتَ اللُّقِي دُوْنَ السَّمَاعِ، فَقَالَ الرَّاوِيُّ: قَالَ فُلَانٌ كَذَا وَكَذَا، أَوْ عَنْ فُلَانٍ كَذَا وَكَذَا، وَلَمْ يَقُلْ سَمِعْتُ أَوْ حَدَّثَنِي، لَكِنْ قَدْ ثَبَتَتِ الْمُلَاقَاةُ بَيْنَهُمَا، فَهُنَا يَكُوْنُ مُتَّصِلاً أَيْضَاً؛ لِأَنَّهُ مَادَامَ أَنَّ الرَّاوِيَّ عَدْلٌ، فَإِنَّهُ لَا يُنْسِبُ إِلَى أَحَدٍ كَلَاماً إِلَّا مَا قَدْ سَمِعَهُ مِنْهُ، هَذَا هُوَ الْأَصْلُ.

Adapun apabila terbukti bertemu namun tidak terbukti mendengar, dimana perawi tersebut berkata: "fulan berkata begini dan begini" atau "dari fulan begini dan begini". Ia tidak mengatakan سَمِعْتُ (aku telah mendengar) atau حَدَّثَنِيْ (telah menyampaikan kepadaku). Akan tetapi telah terbukti adanya pertemuan di antara keduanya. Maka keadaan yang seperti ini juga terkategorikan muttashil (bersambung). Karena selama perawi tersebut seorang yang 'adil, sesungguhnya ia tidak akan menyandarkan suatu ucapan kepada seorangpun melainkan apa yang telah ia dengar dari orang tersebut, dan ini adalah hukum asalnya.  

Ketiga.
Perawi satu zaman dengan gurunya, akan tetapi tidak terbukti bahwa ia pernah bertemu dengan guru tersebut.

وَإِذَا كَانَ مُعَاصِراً لَهُ، لَكِنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ أَنَّهُ لَقِيَهُ، فَهَلْ يُحْمَلُ الْحَدِيْثُ عَلَى الاِتِّصَالِ؟

Dan apabila perawi satu zaman dengan gurunya, akan tetapi tidak terbukti ia pernah bertemu dengannya. Apakah hadits-nya diarahkan kepada hukum muttashil (bersambung)?

Pendapat pertama.

قَالَ الْبُخَارِيُّ - رَحِمَهُ اللهُ -: لَا يُحْمَلُ عَلَى الاِتِّصَالِ، حَتَّى يَثْبُتَ أَنَّهُ لَاقَاهُ.

Imam Al-Bukhari rahimahullahu berkata:
Hadits-nya tidak diarahkan kepada hukum muttashil (bersambung), hingga terbukti ia bertemu dengan gurunya.

Pendapat kedua.

وَقَالَ مُسْلِمٌ - رَحِمَهُ اللهُ -: بَلْ يُحْمَلُ عَلَى الاِتِّصَالِ؛ لِأَنَّهُ مَادَامَ أَنَّهُ مُعَاصِرٌ لَهُ وَنَسَبَ الحَدِيْثُ إِلَيْهِ فَالْأَصْلُ أَنَّهُ سَمِعَهُ مِنْهُ.

Imam Muslim rahimahullahu berkata:
Bahkan diarahkan kepada hukum muttahsil (bersambung); karena selama perawi tersebut sezaman dengan gurunya dan menyandarkan hadits kepadanya, maka asal hukumnya adalah: perawi tersebut mendengar dari gurunya.    

وَلَكِنْ قَوْلُ الْبُخَارِيِّ أَصَحُّ، وَهُوَ أَنَّهُ لَابُدَّ أَنْ يَثْبُتَ أَنَّ الرَّاوِيَّ قَدْ لَقِيَ مَنْ رَوَى عَنْهُ. وَلِهَذَا كَانَ صَحِيْحُ الْبُخَارِيِّ أَصَحَّ مِنْ صَحِيْحِ مُسْلِمٍ، لِأَنَّ البُخَارِيَّ يَشْتَرِطُ الْمُلَاقَاةُ، أَمَّا مُسْلِمٌ فَلَا يَشْتَرِطُهَا.

Akan tetapi pendapat imam Al-Bukhari lebih shahih, dimana beliau mempersyaratkan harus terbukti perawi tersebut bertemu dengan gurunya. Oleh karena pendapat inilah, Shahih Al-Bukhari lebih shahih dari Shahih Muslim, karena imam Al-Bukhari rahimahullahu mempersyaratkan pertemuan, adapun imam Muslim rahimahullahu tidak mempersyaratkannya.  

وَذَهَبَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ الَّذِيْنَ يَتَشَدَّدُوْنَ فِيْ نَقْلِ الْحَدِيْثِ إِلَى أَنَّهُ لَابُدَّ مِنْ ثُبُوْتِ السَّمَاعِ، لِأَنَّهُ رُبَمَا يُلَاقِيْهِ وَلَا يَسْمَعُ مِنْهُ، وَهَذَا لَا شَكَّ أَنَّهُ أَقْوَى، لَكِنَّنَا لَوِ اشْتَرَطْنَا السَّمَاعَ لَفَاتَ عَلَيْنَا الْكَثِيْرُ مِنَ السُّنَّةِ الصَّحِيْحَةِ.

Dan sebagian ulama yang mutasyaddid dalam menukil hadits berpendapat harus adanya bukti mendengar, karena adanya kemungkinan ia menjumpai gurunya akan tetapi tidak mendengar darinya. Tidak diragukan ini adalah pendapat yang kuat, akan tetapi apabila kita mempersyaratkan mendengar, niscaya akan banyak sunnah shahihah yang terluputkan oleh kita.

Wallahu a’lam bish shawab wa baarakallahu fikum.

Ditulis oleh :
Selasa - 13 - Dzul Qa'dah - 1437 H / 16 - 08 - 2016 M


0 komentar:

Posting Komentar

Mubaarok Al-Atsary. Diberdayakan oleh Blogger.