PERTEMUAN : KE-TIGA BELAS
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"MABAHITS HADITSIYAH"
* الَمبْحَثُ الْأَوَّلُ:
تَنْقَسِمُ الْأَخْبَارُ الْمَنْقُوْلَةُ
إِلَيْنَا إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:
Khabar yang dinukilkan
kepada kita terbagi menjadi tiga (3) bagian:
1_ الحَدِيْثُ: وَهُوَ يُخْتَصُّ بِمَا
أُضِيْفَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Pertama.
Al-Hadits: ia
adalah yang dikhususkan terhadap apa-apa yang disandarkan kepada nabi
shallallahu 'alahi wasallam.
2_ الأَثَرُ: وَهُوَ يُخْتَصُّ بِمَا أُضِيْفَ
إِلَى مَنْ دُوْنَهُ، مِنَ الصَّحَابَةِ، أَوِ التَّابِعِيْنَ، أَوْ مَنْ بَعْدَهُمْ.
Kedua.
Al-Atsar: ia
adalah yang dikhususkan terhadap apa-apa yang disandarkan kepada selain nabi
shallallahu 'alahi wasallam, dari kalangan para shahabat atau tabi'in atau
orang-orang setelah mereka.
3_ الخَبَرُ: وَهُوَ يَعُمُّ الحَدِيْثَ
وَالْأَثَرَ.
Ketiga.
Al-Khabar: ia
mencakup hadits dan atsar.
وَلَا يُطْلَقُ الْأَثَرُ عَلَى الْمَرْفُوْعِ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا مُقَيَّداً، مِثْلُ أَنْ يُقَالَ:
"وَفِيْ الْأَثَرِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ"، أَمَّا
عِنْدَ الإِطْلَاقِ فَهُوَ مَا أُضِيْفَ إِلَى الصَّحَابِيِّ فَمَنْ دُوْنَهُ.
Tidak
di-muthlaq-kan kata "Al-Atsar" terhadap nabi shallallahu 'alaihi
wasallam melainkan harus muqayyad (dikaitkan). Seperti dikatakan: "dan
dalam atsar dari nabi shallallahu 'alaihi wasallam". Adapun jika hanya
di-muthlaq-kan, maka ia adalah apa-apa yang disandarkan kepada shahabat dan
yang setelahnya.
*****
* المَبْحَثُ الثَّانِي:
*Pembahasan
Kedua.
أَحْوَالُ التَّلَقِّي ثَلَاثَةٌ:
Keadaan
bertalaqi (mengambil dari guru) itu ada tiga (3):
1_ أَنْ يُصَرِّحَ بِالسَّمَاعِ مِنْهُ.
Pertama.
Seorang perawi
men-sharih (menyatakan dengan jelas), ia telah mendengar dari gurunya.
2 _ أَنْ يَثْبُتَ لُقِيُّهُ بِهِ دَوْنَ
السَّمَاعِ مِنْهُ.
Kedua.
Terbukti ia
bertemu gurunya, tetapi tidak terbukti telah mendengar dari guru tersebut.
3_ أَنْ يَكُوْنَ مُعَاصِراً لَهُ وَلَكِنْ
لَمْ يَثْبُتْ أَنَّهُ لَقِيَهُ.
Ketiga.
Perawi satu
zaman dengan gurunya, akan tetapi tidak terbukti bahwa ia pernah bertemu dengan
guru tersebut.
*****
Keterangan
Pembahasan Kedua
Pertama.
Seorang perawi
men-sharih (menyatakan dengan jelas), ia telah mendengar dari gurunya.
فَأَمَّا إِذَا ثَبَتَ السَّمَاعُ مِنْهُ
فَقَالَ: سَمِعْتُ فُلَاناً أَوْ حَدَّثَنِيْ فُلَانٌ، فَالِاتِّصَالُ وَاضِحٌ.
Adapun apabila
terbukti ia telah mendengar dari gurunya, dimana ia mengatakan: "aku
telah mendengar fulan" atau "fulan telah menyampaikan
hadits kepadaku", maka kebersambungan tersebut adalah jelas.
Kesimpulan:
Lafazh سَمِعْتُ
(aku telah mendengar) atau lafazh حَدَّثَنِيْ (telah menyampaikan kepadaku) adalah termasuk
lafazh yang memberikan bukti bahwa perawi telah mendengar dari gurunya dan
lafazh tersebut juga menunjukkan اتصال
السند (bersambungnya
sanad). (pent)
Kedua.
Terbukti ia
bertemu gurunya, tetapi tidak terbukti telah mendengar dari guru tersebut.
أَمَّا إِذَا ثَبَتَ اللُّقِي دُوْنَ
السَّمَاعِ، فَقَالَ الرَّاوِيُّ: قَالَ فُلَانٌ كَذَا وَكَذَا، أَوْ عَنْ فُلَانٍ
كَذَا وَكَذَا، وَلَمْ يَقُلْ سَمِعْتُ أَوْ حَدَّثَنِي، لَكِنْ قَدْ ثَبَتَتِ الْمُلَاقَاةُ
بَيْنَهُمَا، فَهُنَا يَكُوْنُ مُتَّصِلاً أَيْضَاً؛ لِأَنَّهُ مَادَامَ أَنَّ الرَّاوِيَّ
عَدْلٌ، فَإِنَّهُ لَا يُنْسِبُ إِلَى أَحَدٍ كَلَاماً إِلَّا مَا قَدْ سَمِعَهُ مِنْهُ،
هَذَا هُوَ الْأَصْلُ.
Adapun apabila
terbukti bertemu namun tidak terbukti mendengar, dimana perawi tersebut
berkata: "fulan berkata begini dan begini" atau "dari
fulan begini dan begini". Ia tidak mengatakan سَمِعْتُ
(aku telah mendengar) atau حَدَّثَنِيْ (telah menyampaikan kepadaku). Akan tetapi
telah terbukti adanya pertemuan di antara keduanya. Maka keadaan yang seperti
ini juga terkategorikan muttashil (bersambung). Karena selama perawi tersebut
seorang yang 'adil, sesungguhnya ia tidak akan menyandarkan suatu ucapan kepada
seorangpun melainkan apa yang telah ia dengar dari orang tersebut, dan ini
adalah hukum asalnya.
Ketiga.
Perawi satu
zaman dengan gurunya, akan tetapi tidak terbukti bahwa ia pernah bertemu dengan
guru tersebut.
وَإِذَا كَانَ مُعَاصِراً لَهُ، لَكِنَّهُ
لَمْ يَثْبُتْ أَنَّهُ لَقِيَهُ، فَهَلْ يُحْمَلُ الْحَدِيْثُ عَلَى الاِتِّصَالِ؟
Dan apabila
perawi satu zaman dengan gurunya, akan tetapi tidak terbukti ia pernah bertemu
dengannya. Apakah hadits-nya diarahkan kepada hukum muttashil (bersambung)?
Pendapat
pertama.
قَالَ الْبُخَارِيُّ - رَحِمَهُ اللهُ
-: لَا يُحْمَلُ عَلَى الاِتِّصَالِ، حَتَّى يَثْبُتَ أَنَّهُ لَاقَاهُ.
Imam Al-Bukhari
rahimahullahu berkata:
Hadits-nya
tidak diarahkan kepada hukum muttashil (bersambung), hingga terbukti ia bertemu
dengan gurunya.
Pendapat kedua.
وَقَالَ مُسْلِمٌ - رَحِمَهُ اللهُ
-: بَلْ يُحْمَلُ عَلَى الاِتِّصَالِ؛ لِأَنَّهُ مَادَامَ أَنَّهُ مُعَاصِرٌ لَهُ وَنَسَبَ
الحَدِيْثُ إِلَيْهِ فَالْأَصْلُ أَنَّهُ سَمِعَهُ مِنْهُ.
Imam Muslim
rahimahullahu berkata:
Bahkan
diarahkan kepada hukum muttahsil (bersambung); karena selama perawi tersebut
sezaman dengan gurunya dan menyandarkan hadits kepadanya, maka asal hukumnya
adalah: perawi tersebut mendengar dari gurunya.
وَلَكِنْ قَوْلُ الْبُخَارِيِّ أَصَحُّ،
وَهُوَ أَنَّهُ لَابُدَّ أَنْ يَثْبُتَ أَنَّ الرَّاوِيَّ قَدْ لَقِيَ مَنْ رَوَى عَنْهُ.
وَلِهَذَا كَانَ صَحِيْحُ الْبُخَارِيِّ أَصَحَّ مِنْ صَحِيْحِ مُسْلِمٍ، لِأَنَّ البُخَارِيَّ
يَشْتَرِطُ الْمُلَاقَاةُ، أَمَّا مُسْلِمٌ فَلَا يَشْتَرِطُهَا.
Akan
tetapi pendapat imam Al-Bukhari lebih shahih, dimana beliau mempersyaratkan
harus terbukti perawi tersebut bertemu dengan gurunya. Oleh karena pendapat
inilah, Shahih Al-Bukhari lebih shahih dari Shahih Muslim, karena imam
Al-Bukhari rahimahullahu mempersyaratkan pertemuan, adapun imam Muslim
rahimahullahu tidak mempersyaratkannya.
وَذَهَبَ
بَعْضُ الْعُلَمَاءِ الَّذِيْنَ يَتَشَدَّدُوْنَ فِيْ نَقْلِ الْحَدِيْثِ إِلَى أَنَّهُ
لَابُدَّ مِنْ ثُبُوْتِ السَّمَاعِ، لِأَنَّهُ رُبَمَا يُلَاقِيْهِ وَلَا يَسْمَعُ
مِنْهُ، وَهَذَا لَا شَكَّ أَنَّهُ أَقْوَى، لَكِنَّنَا لَوِ اشْتَرَطْنَا السَّمَاعَ
لَفَاتَ عَلَيْنَا الْكَثِيْرُ مِنَ السُّنَّةِ الصَّحِيْحَةِ.
Dan
sebagian ulama yang mutasyaddid dalam menukil hadits berpendapat harus adanya
bukti mendengar, karena adanya kemungkinan ia menjumpai gurunya akan tetapi
tidak mendengar darinya. Tidak diragukan ini adalah pendapat yang kuat, akan
tetapi apabila kita mempersyaratkan mendengar, niscaya akan banyak sunnah
shahihah yang terluputkan oleh kita.
Wallahu a’lam bish shawab wa baarakallahu fikum.
Ditulis oleh :
Selasa -
13 - Dzul Qa'dah - 1437 H / 16 - 08 - 2016 M
0 komentar:
Posting Komentar