KESIMPULAN SEPUTAR HADITS SHAHIH
بسم الله الرحمن الرحيم
Sebagaimana
telah diisyaratkan pada pertemuan ke-enam sebelumnya, Imam Al-Baiquniy
rahimahullahu dalam Nazham Al-Baiquniyyah ini, beliau menyampaikan bahwa
Ilmu Hadits itu terbagi menjadi beberapa bagian. Dan yang beliau sampaikan
dalam nazham ini hanyalah sebagian saja, tidak semua dari bagian tersebut. Yang
beliau sampaikan dalam nazham ini berjumlah sekitar tiga puluh dua (32) bagian.
Masing-masing bagian tersebut akan beliau datangkan dan akan beliau uraikan
satu demi satu bersama dengan masing-masing definisinya, yang dengan definisi
tersebut akan saling membedakan antara satu bagian dengan bagian yang
lain.
Berbeda
halnya dengan kitab Syarh Ikhtishar Ulum Hadits karya Al-Imam Ibnu
Katsir rahimahullahu yang insya Allah akan kita pelajari bersama setelah kitab
ini, di sana Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menyebutkan sekitar enam puluh
lima (65) bagian. Kitab tersebut merupakan ringkasan dari induk kitab-kitab
musthalah yang terlengkap bagian-bagiannya, yakni kitab Ma'rifah Anwa' 'Ulum
Hadits atau yang lebih dikenal dengan nama Muqaddimah Ibnu Shalah.
*****
Dari
kitab Syarah Nazham Al-Baiquniyyah ini, yang didalamnya terdapat tiga
puluh dua (32) bagian, alhamdulillah telah terselesaikan satu bagian dari
bagian-bagian tersebut. Yakni: bagian yang mengulas seputar hadits shahih.
Sebagaimana telah kita uraikan bersama dari pertemuan ke tujuh hingga pertemuan
ke sebelas walhamdulillah.
Dan
kesimpulan dari pembahasan seputar masalah ini telah tercakup dalam Nazhan
Al-Baiquniy:
((أَوَّلُهَا الصَّحِيْحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ
* إِسْنَادُهُ وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ يُعَلْ))
((Yang
pertama shahih, ia adalah yang bersambung * Sanadnya dan tidak syadz ataupun
cacat))
((يَرْويهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلِهِ * مُعْتَمَدٌ فِيْ ضَبْطِهِ ونَقْلِهِ))
((Diriwayatkan
oleh perawi yang 'adil lagi dhabith dari yang semisalnya * Yang muktamad pada
dhabth dan penukilannya))
*****
Dua
bait nazham di atas memberikaan isyarat kepada kita, bahwa definisi hadits yang
shahih yaitu:
مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ، بِنَقْلِ عَدْلٍ، تَامِّ
الضَّبْطِ عَنْ مِثْلِهِ إِلَى مُنْتَهَاهُ، مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ، وَلَا عِلَّةٍ.
Suatu
hadits yang bersambung sanadnya, dinukil oleh perawi yang 'adil, lagi sempurna
dhabth-nya dari yang semisalnya hingga akhir sanad, tidak syadz, dan tidak pula
cacat. [Syarh Al-Baiquniyyah Ali Ar-Razihi].
Dalam
definisi di atas disebutkan dengan konteks تَامُّ الضَّبْطِ (sempurna
dhabt-nya), definisi ini adalah definisi untuk SHAHIH LI DZATIH. Sementara
shahih terbagi menjadi dua: SHAHIH LI DZATIH dan SHAHIH LI GHAIRIH. Adapun
pembahasan Shahih Li Ghairih, insya Allah akan sedikit disinggung oleh
Asy-Syaikh Ibnu Al-'Utsaimin rahimahullahu pada pertemuan ke-enam belas,
tepatnya pada pembahasan seputar Hadits Dha'if.
Masalah
seputar Shahih Li Ghairih Alhamdulillah juga telah kita uraikan bersama pada
kitab sebelumnya (Musthalah Al-Hadits), tepatnya pada pertemuan ke - tujuh bagian pertama.
Berdasarkan
definsi di atas, maka hadits Shahih Li Dzatih harus terpenuhi padanya lima (5)
syarat:
1). Sanadnya
bersambung.
2). Dinukil
oleh perawi yang 'Adil.
3).
Sempurna dhabth-nya.
4). Selamat
dari syadz.
5). Selamat
dari cacat yang merusak (العلة
القادحة).
*****
1). Sanadnya bersambung.
Sanad
yang bersambung (السند
متصل)
yaitu:
مَا رُوِيَ بِإِسْنَادٍ مُتَّصِلٍ بِحَيْثُ
يَأْخُذُهُ كُلُّ رَاوِيٍّ عَمَّنْ فَوْقَهُ.
Suatu hadits
yang diriwayatkan dengan sanad yang bersambung dimana masing-masing perawi
mengambil hadits tersebut dari yang berada diatasnya.
2). Dinukil oleh perawi yang 'Adil.
Sifat
'Adil yaitu:
وَصْفٌ فِيْ الشَّخْصِ يَقْتَضِي
الِاسْتِقَامَةَ فِيْ الدِّيْنِ، وَالْمُرُوْءَةِ. فَاسْتِقَامَةُ الرَّجُلِ فِيْ دِيْنِهِ
وَمُرُوْءَتِهِ تُسَمَّى عَدَالَةً.
Sifat
pada seseorang yang mengharuskan keistiqamahan dalam agama dan muru'ah
(kehormatan diri). Maka keistiqamahan seseorang dalam agama dan muru'ahnya
dinamakan "عَدَالَةً" ('Adalah).
3). Sempurna dhabth-nya.
أَن يُؤَدِّيَ مَا تَحَمَّلَهُ مِن مَسمُوعٍ،
أَو مَرئِيٍّ عَلَى الوَجهِ الَّذِي تَحَمَّلَهُ مِن غَيرِ زِيَادَةٍ وِلاَ نَقصٍ،
لَكِن لاَ يَضُرُّ خَطَأٌ يَسِيرٌ؛ لِأَنَّهُ لاَ يَسلَمُ مِنهُ أَحَدٌ
Seorang perawi menyampaikan apa yang ia bawa, baik berupa apa yang
ia dengar (hafalan), maupun apa yang ia lihat (tulisan), sebagaimana ia
membawanya tanpa adanya penambahan dan pengurangan. Akan tetapi tidak mengapa
apabila terjadi sedikit kesalahan. Karena tidak ada seorangpun yang selamat
darinya. [Musthalah Al-Hadits Al-'Utsaimin bagian pertama pertemuan ke-13].
4). Selamat dari syadz.
Syadz
yaitu:
مَا رَوَاهُ المَقْبُوْلُ مُخَالِفًا لِمَنْ
هُوَ أَوْلَى مِنْهُ.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang Maqbul dalam
keadaan menyelisihi terhadap perawi yang lebih utama darinya. (Nuzhah
An-Nazhr. Hal : 91. Cet : Dar Ibnul Jauzi). Atau:
الَّذِيْ يَرْوِيْهِ الثِّقَةُ مُخَالِفاً
لِمَنْ هُوَ أَرْجَحُ مِنْهُ، إِمَّا فِيْ الْعَدَدِ، أَوْ فِيْ الصِّدْقِ، أَوْ فِيْ
الْعَدَالَةِ.
Hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya) dalam keadaan menyelisihi
yang lebih rajih (kuat) darinya, baik dari segi jumlah, ataupun dari segi
kejujuran, ataupun dari segi agama.
وَالشُّذُوْذُ قَدْ يَكُوْنُ فِيْ حَدِيْثٍ
وَاحِدٍ، وَقَدْ يَكُوْنُ فِيْ حَدِيْثَيْنِ مُنْفَصِلَيْنِ.
Asy-Syadz
terkadang terjadi pada satu hadits dan terkadang terjadi pada dua hadits yang
terpisah.
وَمِنَ الشُّذُوْذِ: أَنْ يُخَالِفَ مَا
عُلِمَ بِالضَّرُوْرَةِ مِنَ الدِّيْنِ.
Dan di antara
bentuk Syadz adalah menyelisihi sesuatu yang diketahui dalam agama secara
dharurat.
5). Selamat dari cacat yang merusak.
Dan
" العِلَّةُ القَادِحَةُ" (cacat yang merusak) yaitu :
أَن يَتَبَيَّنَ بَعدَ البَحثِ فِي الحَدِيثِ
سَبَبٌ يَقدَحُ فِي قَبُولِهِ، فَلاَ يُحكَمُ لِلحَدِيثِ بِالصِّحَةِ حِينَئِذٍ؛
لِعَدَمِ سَلاَمَتِهِ مِنَ العِلَّةِ القَادِحَةِ.
Sebuah sebab yang mencacati maqbulnya suatu hadits, yang
terdeteksi setelah dilakukan penelitian pada hadits tersebut. Tatkala itulah,
hadits tersebut tidak dihukumi sebagai hadits yang shahih (akan tetapi masuk
dalam kategori dha’if _pent). Karena hadits tersebut tidak selamat dari ‘Illah Qadihah. [Musthalah
Al-Hadits bagian pertama pertemuan ke-14].
*****
Dan
dari lima (5) syarat tersebut; tiga syarat darinya adalah شُرُوْطٌ ثُبُوْتِيَّةٌ (syarat yang wajib ada pada hadits shahih),
dan dua syarat selebihnya adalah شُرُوْطٌ سَلْبِيَّةٌ (syarat yang harus ditiadakan dari hadits
shahih).
Wallahu a’lam bish shawab wa baarakallahu fikum.
Ditulis oleh :
Selasa -
06 - Dzul Qa'dah - 1437 H / 09 - Juli - 2016 M
0 komentar:
Posting Komentar