Translate

Senin, 25 Juli 2016

010. Ikhtilaf Ulama Dalam Jarh & Ta'dil.



PERTEMUAN : KE-SEPULUH
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"IKHTILAF 'ULAMA DALAM JARH & TA'DIL"

قَالَ الشَّيْخُ الْعُثَيْمِيْنُ رَحِمَهُ اللهُ:

وَقَدْ يَخْتَلِفُ الْعُلَمَاءُ فِيْ تَعْدِيْلِ رَجُلٍ مُعَيَّنٍ - وَهَذِهِ تَقَعُ كَثِيْراً -، أَنْظُرُ مَثَلاً التَّهْذِيْبَ أَوْ تَهْذِيْبَ التَّهْذِيْبِ لِابْنِ حَجَرَ رَحِمَهُ اللهُ أَوْ غَيْرَهُ، تَجِدُ أَنَّ الشَّخْصَ الوَاحِدَ يَخْتَلِفُ فِيْهِ الْحُفَّاظُ، فَيَقُوْلُ أَحَدُ الْحُفَّاظِ: هَذَا رَجُلٌ لَا بَأْسَ بِهِ. وَيَقُوْلُ غَيْرُهُ: هُوَ ثِقَةٌ. وَيَقُوْلُ آخَرٌ: اضْرِبْ عَلَى حَدِيْثِهِ، لَيْسَ بِشَيْءٍ.

Berkata Asy-Syaikh Al-'Utsaimin rahimahullahu:

Terkadang para ulama berselisih dalam penta'dilan terhadap perorangan tertentu -dan ini sering terjadi-, misalkan aku melihat kitab At-Tahdzib atau kitab Tahdzib At-Tahdzib karya Ibnu Hajar rahimahullahu atau selainnya, engkau akan mendapati bahwa satu orang diperselisihkan oleh para huffazh. Seorang hafizh berkata: "orang ini tidak mengapa dengannya". Dan selain hafizh tersebut berkata: "ia seorang yang tsiqah". Dan yang lainnya lagi berkata: "lemparlah haditsnya, ia tidak teranggap".    

فَإِذَا اخْتَلَفُوْا، فَمَاذَا نَعْمَلُ؟

Apabila mereka berselisih, maka apa yang akan kita lakukan?

نَقُوْلُ: إِذَا اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِيْ مِثْلِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَغَيْرِهَا، فَإِنَّنَا نَأْخُذُ بِمَا هُوَ أَرْجَحُ، فَإِذَا كَانَ الَّذِيْ وَثَّقَهُ أَعْلَمُ بِحَالِ الشَّخْصِ مِنْ غَيْرِهِ، فَإِنَّنَا نَأْخُذُ بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّهُ أَعْلَمُ بِحَالِهِ مِنْ غَيْرِهِ.

Kita katakan: apabila para ulama berselisih pada yang semisal masalah ini dan selainnya, maka kita mengambil pendapat yang paling rajih. Apabila yang men-tsiqah-kannya lebih mengetahui keadaan orang tersebut dari selainnya, maka kita mengambil pendapatnya; karena ia lebih mengetahui keadaannya dari selainnya.

وَلِهَذَا لَا نَرَى أَحَداً يَعْلَمُ حَالَ الشَّخْصِ إِلَّا مَنْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ مُلَازَمَةٌ، فَإِذَا عَلِمْنَا أَنَّ هَذَا الرَّجُلَ مُلَازِمٌ لَهُ، وَوَصَفَهُ بِالْعَدَالَةِ، قُلْنَا هُوَ أَعْلَمُ مِنْ غَيْرِهِ فَنَأْخُذُ بِقَوْلِهِ.

Oleh karena hal ini, kita tidak memandang seorangpun mengetahui keadaan orang yang terta'dil melainkan yang terdapat mulazamah antara ia dan ia. Apabila kita mengetahui bahwa orang ini bermulazamah terhadapnya dan menyifatinya dengan "Al-'Adalah', maka kita katakan: ia lebih mengetahui dari selainnya dan kita mengambil pendapatnya.    

وَكَذَا مَا إِذَا ضَعَّفَ أَحَدُهُمْ رَجُلاً وَكَانَ مُلَازِماً لَهُ، وَهُوَ أَعْرَفُ بِحَالِهِ مِنْ غَيْرِهِ، فَإِنَّنَا نَأْخُذُ بِقَوْلِهِ.

Demikian juga apabila salah satu dari mereka melemahkan seseorang dan ia bermulazamah dengannya, dan ia lebih mengetahui keadaannya dari selainnya, maka kita mengambil pendapatnya.   

فَالْمُهِمُّ: أَنَّهُ إِذَا اخْتَلَفَ حُفَّاظُ الْحَدِيْثِ فِيْ تَعْدِيْلِ رَجُلٍ أَوْ تَجْرِيْحِهِ، وَكَانَ أَحَدُهُمَا أَقْرَبَ إِلَى مَعْرِفَةِ الْمَوْصُوْفِ مِنَ الْآخَرِ، فَإِنَّنَا نَأْخُذُ بِقَوْلِ مَنْ هُوَ أَقْرَبُ إِلَيْهِ وَأَعْلَمُ بِحَالِهِ مِنْ غَيْرِهِ.

Intinya:
Apabila para huffazh hadits berselisih dalam men-ta'dil seseorang atau men-jarh-nya, dalam keadaan salah satu dari kedua belah pihak lebih dekat pengetahuannya terhadap objek dari selainnya, maka kita mengambil pendapat yang lebih dekat kepadanya dan yang lebih mengetahui keadaannya dari selainnya.

أَمَّا إِنْ تَسَاوَى الْأَمْرَانِ بِأَنْ كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بَعِيْداً عَنْ ذَلِكَ الشَّخْصِ، أَوْ جَهِلْنَا الْأَمْرَ فِيْ ذَلِكَ، فَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ: هَلْ نَأْخُذُ بِالتَّعْدِيْلِ، أَوْ نَأْخُذُ بِالتَّجْرِيْحِ، بِنَاءً عَلَى أَنَّهُ: هَلِ الْأَصْلُ فِيْ الْإِنْسَانِ الْعَدَالَةُ، أَوِ الْأَصْلُ فِيْهِ عَدَمُ الْعَدَالَةِ؟

Adapun apabila kedua perkara tersebut sama, dimana masing-masing dari kedua belah pihak jauh dari objek, atau kita tidak mengetahui perkara dalam hal tersebut, maka para ulama berselisih: apakah kita mengambil "ta'dil"? Ataukah kita mengambil "tajrih"? Dibangun di atas dasar: apakah hukum asal pada manusia adalah 'adil? Ataukah hukum asal pada manusia adalah tidak 'adil?

فَمَنْ قَالَ: إِنَّ الْأَصْلَ الْعَدَالَةُ، أَخَذَ بِالْعَدَالَةِ.

Bagi yang berpendapat: hukum asal pada manusia adalah 'adil, maka ia mengambil Al-'Adalah (ta'dil_pent).

وَمَنْ قَالَ: إِنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ الْعَدَالِةِ، أَخَذَ بِالْجَرْحِ، وَرَدَّ رِوَايَتَهُ.

Dan bagi yang berpendapat: hukum asal pada manusia adalah tidak 'adil, maka ia mengambil Al-Jarh dan menolak riwayatnya.  

وَفَصَّلَ بَعْضُهُمْ فَقَالَ: يُقْبَلُ مِنْهُمَا مَا كَانَ مُفَسَّراً. وَالْمُفَسَّرُ، مِثْلُ أَنْ يَقُوْلَ الْمُعَدِّلُ الَّذِيْ وَصَفَهُ بِالْعَدَالَةِ: هُوَ عَدْلٌ، وَمَا ذُكِرَ فِيْهِ مِنَ الْجَرْحِ فَقَدْ تَابَ مِنْهُ.

Dan sebagian ulama merinci, ia berkata: sebuah jarh atau sebuah ta'dil diterima apabila dalam bentuk terperinci. Terperinci, seperti berkata seorang yang men-ta'dil yang menyifati objek dengan Al-'Adalah: ia seorang yang 'adil dan apa yang disebutkan tentangnya berupa jarh, ia telah bertaubat darinya.

مِثْلُ أَنْ يُجَرَّحَ بِأَنَّهُ يَشْرَبُ الْخَمْرَ، فَيَقُوْلُ الَّذِيْ وَصَفَهُ بِالْعَدَالَةِ: هُوَ عَدْلٌ وَمَا ذُكِرَ عَنْهُ مِنْ شُرْبِ الْخَمْرِ فَقَدْ تَابَ مِنْهُ.

Semisal ia telah di-jarh dikarenakan ia meminum khamar, maka berkata seorang yang menyifatinya dengan Al-'Adalah: ia seorang yang 'adil dan apa yang disebutkan tentangnya berupa meminum khamar, ia telah bertaubat darinya.

إِذاً نُقَدِّمَ الْمُفَسِّرَ، لِأَنَّهُ مَعَهُ زِيَادَةُ عِلْمٍ، فَقَدْ عَلِمَ أَنَّهُ مَجْرُوْحٌ بِالْأَوَّلِ، ثُمَّ زَالَ عَنْهُ مَا يَقْتَضِي الْجَرْحَ.

Jadi, kita mendahulukan yang merinci, karena terdapat tambahan ilmu padanya. Ia mengetahui bahwa orang tersebut pada awalnya di-jarh, kemudian hilanglah darinya sesuatu yang mengharuskan jarh tersebut.

وَإِنْ كَانَ الْأَمْرُ بِالْعَكْسِ بِأَنْ قَالَ الْجَارِحُ: هَذَا الرَّجُلُ لَيْسَ بِعَدْلٍ، لِأَنَّهُ مُدْمِنٌ عَلَى شُرْبِ الْخَمْرِ، فَفِيْ هَذِهِ الْحَالَةُ نُقَدِّمُ الْجَارِحَ.

Dan apabila perkaranya sebaliknya, dimana seorang pen-jarh berkata: orang ini bukan seorang yang 'adil karena ia pecandu khamar. Dalam konteks yang sperti ini, maka kita mendahulukan pihak yang men-jarh.  

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَحَدُهُمَا مُفَسِّراً، أَوْ فَسَّرَا جَمِيْعاً شَيْئاً عَنِ الرَّاوِيِّ، فَهُنَا نَقُوْلُ: إِنْ كَانَ الْجَرْحُ أَوِ التَّعْدِيْلُ غَيْرَ مُفَسَّرٍ، فَيَنْبَغِيْ أَنْ نَتَوَقَّفَ إِذَا لَمْ نَجِدْ مُرَجِّحًا، فَالوَاجِبُ التَّوَقُّفُ فِيْ حَالِ هَذَا الرَّجُلِ.

Dan apabila salah satu dari kedua belah pihak tidak merinci (yakni: sama-sama mubham_pent), atau kedua belah pihak sama-sama merinci sesuatu mengenai perawi, disini kita katakan: apabila jarh atau ta'dil tidak dirinci (atau sama-sama dirinci_pent), maka hendaknya kita berhenti apabila kita tidak mendapati sesuatu yang merajihkan. Yang wajib adalah tawaqquf (tidak menghukumi) keadaan orang tersebut.   

وَلِيُعْلَمَ: أَنَّ بَعْضَ عُلَمَاءِ الْحَدِيْثِ عِنْدَهُمْ تَشَدُّدٌ فِيْ التَّعْدِيْلِ، وَبَعْضَهُمْ عِنْدَهُمْ تَسَاهُلٌ فِيْ التَّعْدِيْلِ.

Dan hendaknya diketahui: sesungguhnya sebagian ulama hadits ada yang tasyaddud (bersikap keras) dan ada juga yang tasahul (bermudah-mudah) dalam menta'dil.

يَعْنِيْ أَنَّ بَعْضَهُمْ مِنْ تَشَدُّدِهِ يُجَرِّحُ بِمَا لَا يَكُوْنُ جَارِحاً. وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُوْنُ عَلَى الْعَكْسِ فَيَتَسَاهَل فَيُعَدِّل مَنْ لَا يَسْتَحِقُّ التَّعْدِيْلَ. وَهَذَا مَعْرُوْفٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ.

Yakni: sebagian para ulama hadits dikarenakan sikap tasyaddudnya, menyebabkan ia men-jarh dengan sesuatu yang bukan untuk men-jarh. Dan sebagian ulama hadits ada yang sebaliknya, ia bermudah-mudah sehingga ia men-ta'dil seseorang yang tidak berhak mendapatkan ta'dil. Dan ini adalah perkara yang ma'ruf di kalangan ahli ilmu.   

فَمَنْ كَانَ شَدِيْداً فِيْ الرُّوَاةِ فَإِنَّ تَعْدِيْلَهُ يَكُوْنُ أَقْرَبَ لِلْقَبُوْلِ مِمَّنْ كَانَ مُتَسَاهِلاً، وَإِنْ كَانَ الْحَقُّ أَنْ يَكُوْنَ الْإِنْسَانُ قَائِماً بِالْعَدْلِ لَا يُشَدِّدُ وَلَا يَتَسَاهَلُ.

Dan ulama yang mutasyaddid (bersikap keras) terhadap para perawi, sesungguhnya ta'dilnya lebih dekat untuk diterima ketimbang ulama yang mutasahil (bermudah-mudah). Walaupun yang benar hendaknya seorang manusia itu berdiri dengan keadilan, tidak tasyaddud dan tidak pula tasahul. 

لِأَنَّنَا إِذَا تَشَدَّدْنَا فَرُبَّمَا نَرَدُّ حَدِيْثاً صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بِنَاءً عَلَى هَذَا التَّشَدُّدِ. وَكَذَا مَا إِذَا تَسَاهَلَ الْإِنْسَانُ، فَرُبَّمَا يُنْسِبُ حَدِيْثاً إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ لَمْ يَصِحَّ ثُبُوْتُهُ إِلَيْهِ بِسَبَبِ هَذَا التَّسَاهُلِ.

Karena apabila kita bersikap keras, terkadang kita menolak hadits shahih dari nabi shallallahu 'alaihi wasallam disebabkan sikap tasyaddud tersebut. Demikian juga apabila seseorang bermudah-mudah, terkadang ia menyandarkan hadits kepada nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam keadaan hadits tersebut tidak valid kepadanya disebabkan sikap tasahul tersebut.    

Wallahu a'lam bish-shawab. Wa baarakallahu fikum.

Akhukum fillah:
Senin, 20 - Syawwal - 1437 H / 25 - 07 - 2016 M


0 komentar:

Posting Komentar

Mubaarok Al-Atsary. Diberdayakan oleh Blogger.