Translate

Minggu, 17 Juli 2016

009. Perawi Yang 'Adil.


PERTEMUAN : KE-SEMBILAN
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"PERAWI YANG ADIL"

Sahabat fillah sekalian.  
Untuk pertemuan kita kali ini, insya Allah kita akan menguraikan masalah seputar "PERAWI YANG 'ADIL". Dimana sifat 'Adil dijabarkan oleh Asy-Syaikh Al-'Utsaimin -rahimahullah- mencakup sifat istiqamah dan muru'ah. Kemudian beliau menguraikan satu persatu apa gerangan yang dimaksud dengan istiqamah dan apa yang dimaksud dengan muru'ah, kaitan keduanya dengan 'Adlny seorang perawi. Hanya saja pada pertemuan ini, Asy-Syaikh -rahimahullah- tidak berpanjang lebar dalam menguraikannya.

Dan di sisi yang lain..
Pada kitab sebelumnya yang telah kita pelajari bersama; tepatnya pada kitab Musthalah Al-Hadits pertemuan ke - 12 bagian pertama, kita juga telah menguraikan masalah seputar 'Adalah atau ke-'Adl-an seorang perawi.

Sahabat fillah sekalian..
Pada pertemuan tersebut, cukup detil kita menguraikan masalah yang berkaitan dengan sifat 'Adl. Di sana kita juga sedikit menukil beberapa keterangan dari kitab Al-Kifayah karya Al-Khatib Al-Baghdadi, dan juga dari kitab Irsyad Al-Fuhul karya Imam Asy-Syaukani -Allahu yarhamuhuma-, dan juga sedikit menukil keterangan dari Syarh Al-Baiquniyyah karya Syaikh 'Ali Ar-Razihi -hafizhahullahu-.

Kesimpulannya..
Sebelum kita memasuki pertemuan ke sembilan yang akan kita uraikan bersama ini, sangat kami sarankan, agar sahabat fillah sekalian memuraja'ah atau menela'ah ulang terlebih dahulu kitab Musthalah Al-Hadits pertemuan ke - 12 bagian pertama yang walhamdulillah telah kita pelajari bersama. 

Apabila sahabat fillah sekalian menguasai uraian pada kitab Musthalah Al-Hadits petemuan ke - 12 bagian pertama tersebut dengan baik, insya Allah pertemuan ke - 9 pada Syarh Nazham Al-Baiquniyyah ini adalah sesuatu yg sangat mudah bi idzbillah. Allahu yubaarik fikum wa yaftah 'alaikum.

Berikut link pertemuan ke - 12 bagian pertama dari kitab Musthalah Al-Hadits yg telah kita pelajari bersama sebelumnya: DETIL URAIAN SEPUTAR PERAWI YANG 'ADIL.

*****

قَالَ الْمُؤَلِّفُ رَحِمَهُ اللهُ:
يَرْويهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلِهِ  *  مُعْتَمَدٌ فِيْ ضَبْطِهِ ونَقْلِهِ

Berkata Imam Al-Baiquniy rahimahullahu:

Diriwayatkan oleh perawi yang 'adil lagi dhabith dari yang semisalnya * Yang muktamad pada dhabth dan penukilannya

قَوْلُهُ: "يَرْوِيْهِ عَدْلٌ"، يَعْنِيْ: أَنَّهُ لَابُدَّ أَنْ يَكُوْنَ الرَّاوِيُّ عَدْلاً. وَهَذَا هُوَ الشَّرْطُ الرَّابِعُ مِنْ شُرُوْطِ صِحَّةِ الْحَدِيْثِ.

Perkataan Imam Al-Baiquniy rahimahullahu: "يَرْوِيْهِ عَدْلٌ" (diriwayatkan oleh perawi yang 'adil), yakni: sang perawi harus seorang yang 'adil. Dan ini adalah syarat yang keempat dari syarat-syarat pada shahihnya suatu hadits.  

وَالْعَدْلُ فِيْ الْأَصْلِ هُوَ: الِاسْتِقَامَةُ. إِذَا كَانَ الطَّرِيْقُ مُسْتَقِيْماً لَيْسَ فِيْهِ اعْوِجَاجٌ، يَقُالَ: هَذَا طَرِيْقٌ عَدْلٌ، أَيْ: مُسْتَقِيْمٌ. وَمِثْلُهُ الْعَصَا الْمُسْتَقِيْمَةُ يُقَالُ لَهَا عَدْلَةٌ، هَذَا هُوَ الْأَصْلُ.

Dan kata "الْعَدْلُ" ('Adl), pada asalnya ia adalah: "الِاسْتِقَامَةُ" (istiqamah/lurus). Apabila suatu jalan lurus dan tidak ada padanya kebengkokan, maka ia dikatakan: ini adalah jalan yang 'Adl, yakni: lurus. Dan yang semisal itu juga tongkat yang lurus, ia dikatakan "'Adlah", demikian pada asalnya.

لَكِنَّهُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ، هُوَ: وَصْفٌ فِيْ الشَّخْصِ يَقْتَضِي الِاسْتِقَامَةَ فِيْ الدِّيْنِ، وَالْمُرُوْءَةِ. فَاسْتِقَامَةُ الرَّجُلِ فِيْ دِيْنِهِ وَمُرُوْءَتِهِ تُسَمَّى عَدَالَةً.

Akan tetapi di kalangan ahli ilmu, 'Adl adalah: suatu sifat pada seseorang yang mengharuskan keistiqamahan dalam agama dan muru'ah (kehormatan diri). Maka keistiqamahan seseorang dalam agama dan muru'ahnya dinamakan "عَدَالَةً" ('Adalah).

وَعَلَى هَذَا فَالفَاسِقُ لَيْسَ بِعَدْلٍ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ مُسْتَقِيْماً فِيْ دِيْنِهِ. فَلَوْ رَأَيْنَا رَجُلاً قَاطِعاً لِرَحِمِهِ فَلَيْسَ بِعَدْلٍ، وَلَوْ كَانَ مِنْ أَصْدَقِ النَّاسِ فِيْ نَقْلِهِ، لِأَنَّهُ غَيْرُ مُسْتَقِيْمٍ فِيْ دِيْنِهِ. وَكَذَلِكَ لَوْ وَجَدْنَا شَخْصاً لَا يُصَلِّي مَعَ الْجَمَاعَةِ، وَهُوَ مِنْ أَصْدَقِ النَّاسِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بِعَدْلٍ، فَمَا رَوَاهُ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ.

Dibangun di atas keterangan ini, maka seorang yang fasik adalah bukan seorang yang adil; karena ia tidak istiqamah dalam agamanya. Apabila kita melihat seseorang yang memutus silaturahmi, maka ia bukan seorang yang 'adil, meskipun ia adalah manusia yang paling jujur dalam penukilan, karena ia tidak istiqamah dalam agamanya. Demikian juga apabila kita mendapati sesorang yang tidak menunaikan shalat berjama'ah, walaupun ia adalah manusia yang paling jujur, sesungguhnya ia bukan seorang yang 'adil, maka apa yang ia riwayatkan, tidak diterima darinya.

وَالدَّلِيْلُ عَلَى هَذَا قَوْلُ اللهِ تَعَالَى:

Dan argumen akan masalah ini adalah firman Allah Ta'ala:

{يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُواْ أَن تُصِيببُواْ قَوْمَا بِجَهَالَةٍ} [الحجرات: 6].

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila datang kepada kalian seorang yang fasik dengan sebuah berita, maka telitilah kebenarannya, agar kalian tidak mencelakakan suatu kaum dengan kecerobohan." (QS: Al-Hujurat: 06).

فَلَمَّا أَمَرَ اللهُ تَعَالَى بِالتَّبَيُّنِ فِيْ خَبَرِ الْفَاسِقِ عُلِمَ أَنَّ خَبَرَهُ غَيْرُ مَقْبُوْلٍ، لَا يُقْبَلُ وَلَا يُرَدُّ حَتَّى نَتَبَيَّنَ.

Tatkala Allah Ta'ala memerintahkan untuk memperjelas berita dari orang fasik, maka dapat diketahui bahwa khabar seorang fasik adalah tidak diterima. Tidak diterima dan tidak juga ditolak hingga kita memperjelas.

وَنَحْنُ نَشْتَرِطُ فِيْ رِوَايَةِ الْحَدِيْثِ: أَنْ يَكُوْنَ الرَّاوِيُّ عَدْلاً يُمْكِنُ قَبُوْلُ خَبَرِهِ، وَالفَاسِقُ لَا يُقْبَلُ خَبَرُهُ.

Dan kita mempersyaratkan pada periwayatan suatu hadits: sang perawi adalah seorang yang 'adil yang memungkinkan diterima khabarnya. Sementara orang fasik tidak diterima khabarnya.

أَمَّا الْعَدْلُ فَيُقْبَلُ خَبَرُهُ، بِدَلِيْلِ قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَشْهِدُواْ ذَوَى عَدْلٍ مِّنكُمْ}. [الطلاق: 2]. وَلَمْ يَأْمُرْنَا بِإِشْهَادِهِمْ إِلَّا لِنَقْبَلَ شَهَادَتَهُمْ، إِذْ أَنَّ الْأَمْرَ بِقَبُوْلِ شَهَادَةِ مَنْ لَا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُ لَا فَائِدَةَ مِنْهُ وَهُوَ لَغْوٌ مِنَ الْقَوْلِ.

Adapun seorang yang 'adil maka diterima khabarnya, dengan dalil firman Allah Ta'ala:

{وَأَشْهِدُواْ ذَوَى عَدْلٍ مِّنكُمْ}. [الطلاق: 2].

"Dan persaksikanlah dengan dua orang yang 'adil di antara kalian." (QS: Ath-Thalaq: 02)

Tidaklah Allah memerintahkan kita untuk mengambil persaksian mereka, melainkan agar kita menerima persaksian mereka. Karena perintah untuk menerima kesaksian seorang yang tidak diterima persaksiannya adalah sesuatu yang tidak ada faidah darinya, dan ia merupakan ucapan yang sia-sia.

أَمَّا المُرُوْءَةُ، فَقَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِيْ تَعْرِيْفِهَا، هُوَ: أَنْ يَفْعَلَ مَا يُجَمِّلُهُ وَيُزَيِّنُهُ، وَيَدَعُ مَا يُدَنِّسُهُ وَيُشِيْنُهُ.

Adapun "muru'ah", ahlul ilmi berbicara mengenai definsinya, ia adalah: seseorang melakukan sesuatu yang menjadikannya baik dan indah, dan meninggalkan sesuatu yang mengotori dan mencacatinya.   

أَيْ: أَنَّ الْمُرُوْءَةَ هِيَ: أَنْ يَسْتَعْمِلَ مَا يُجَمِّلُهُ أَمَامَ النَّاسِ، وَيُزَيِّنُهُ وَيَمْدَحُوْهُ عَلَيْهِ، وَأَنْ يَتْرُكَ مَا يُدَنِّسُهُ وَيُشِيْنُهُ عِنْدَ النَّاسِ.

Yakni: sesungguhnya "muru'ah" yaitu: seseorang melakukan sesuatu yang nampak indah di hadapan manusia, yang menjadikannya elok yang manusia memuji sesuatu tersebut padanya, dan ia meninggalkan sesuatu yang mengotorinya dan menjadikannya cacat menurut manusia.

كَمَا لَوْ فَعَلَ الْإِنْسَانُ شَيْئاً أَمَامَ الْمَجْتَمَعِ وَهَذَا الْفِعْلُ مُخَالِفٌ لِمَا عَلَيْهِ النَّاسُ، فَإِذَا رَأَوْا ذَلِكَ الْفِعْلَ عَدُّوْهُ فِعْلاً قَبِيْحاً، لَا يَفْعَلُهُ إِلَّا أَرَاذِلُ النَّاسِ وَالْمُنْحَطُّوْنَ مِنَ السَّفَلَةِ، فَنَقُوْلُ: إِنَّ هَذَا لَيْسَ بِعَدْلٍ، وَذَلِكَ لِأَنَّهُ مُرُوْءَتُهُ لَمْ تَسْتَقِمْ، وَبِفِعْلِهِ هَذَا خَالَفَ مَا عَلَيْهِ النَّاسُ فَسَقَطَتْ مُرُوْءَتُهُ.

Seperti apabila seseorang berbuat sesuatu di hadapan manusia, dan perbuatan tersebut menyelisihi kebiasaan mereka, yang apabila manusia melihatnya, mereka akan menganggap hal tersebut sebagai perbuatan buruk, tidak melakukan perbuatan tersebut melainkan orang-orang yang hina dan rendah akhlak. Maka kita katakan: sesungguhnya orang ini bukan seorang yang 'adil, yang demikian dikarenakan muru'ahnya tidak istiqamah, dan dengan perbuatannya tersebut, ia menyelisihi kebiasaan manusia, sehingga jatuhlah muru'ahnya.

وَمِثَالُهُ الْآنَ: لَوْ أَنَّ رَجُلاً خَرَجَ فِيْ بَلِدِنَا هَذَا بَعْدَ الظَّهْرِ، وَمَعَهُ الْغَدَاءُ عَلَى صَحْنٍ لَهُ، وَصَارَ يَمْشِيْ فِيْ الْأَسْوَاقِ، وَيَأْكُلُ أَمَامَ النَّاسِ فِيْ السُّوْقِ، لَسَقَطَتْ مُرُوْءَتُهُ مِنْ أَعْيُنِ النَّاسِ، وَلَصَارَ مَحَلاًّ لِلسُّخْرِيَّةِ وَ الْاِنْتِقَادِ مِنَ الْجَمِيْعِ.

Contohnya untuk saat ini: apabila seseorang keluar di negeri kita ini setelah zhuhur, dan bersamanya sepiring makanan, kemudian ia berjalan di pasar sambil makan di depan manusia, niscaya akan jatuh muru'ahnya di hadapan manusia, dan ia akan menjadi bahan tertawaan dan kritikan dari semuanya. 

أَمَّا إِذَا خَرَجَ رَجُلٌ عِنْدَ بَابِهِ وَمَعَهُ إِبْرِيْقُ الشَّايِ وَالْقَهْوَةِ لِكَيْ يَشْرَبُهُ عِنْدَ الْبَابِ، فَهَلْ يُعَدُّ هَذَا مِنْ خَوَارِمِ الْمُرُوْءَةِ أَمْ لَا؟

Adapun apabila seseorang keluar ke depan pintu dan bersamanya secerek teh atau kopi kemudian ia meminumnya di depan pintu, maka apakah ini terhitung sebagai penjatuh muru'ah ataukah tidak?

نَقُوْلُ: إِنَّ هَذَا فِيْهِ تَفْصِيْلٌ:

Kita katakan: sesungguhnya perkara ini terdapat tafshil padanya:

1_ فَإِنْ كَانَتِ الْعَادَةُ جَرَّتْ بِمِثْلِ ذَلِكَ؛ فَلَا يُعَدُّ مِنْ خَوَارِمِ الْمُرُوْءَةِ؛ لِأَنَّ هَذَا هُوَ عُرْفُ النَّاسِ، وَهُوَ شَيْءٌ مَأْلُوْفٌ عِنْدَهُمْ. كَمَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ كِبَارِ السِّنِّ عِنْدَنَا الْآنَ، وَذَلِكَ إِذَا كَانَ أَوَّلُ النَّهَارِ أَخْرَجَ بَسَاطاً لَهُ عِنْدَ بَابِهِ، وَمَعَهُ الشَّايُ وَالْقَهْوَةُ، وَجَعَلَ يَشْرَبُ أَمَامَ النَّاسِ وَمَنْ مَرَّ بِهِمْ قَالُوْا لَهُ: تَفَضَّلُ، فَهَذَا لَا بَأْسَ بِهِ؛ لِأَنَّ مِنْ عَادَةِ النَّاسِ فِعْلَهُ.

Pertama.
Apabila yang semisal itu sudah menjadi adat; maka ia tidak terhitung sebagai penjatuh muru'ah; karena ini sudah menjadi kebiasaan manusia, dan ia adalah sesuatu yang umum di tengah mereka. Sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian lansia di tempat kita, apabila di siang hari ia mengeluarkan cerek besar ke depan pintu dengan teh dan kopi, kemudian ia minum di depan manusia dan di depan siapa saja yang lewat sembari menawarkan: "silahkan". Maka yang seperti ini tidak mengapa; karena perbuatan tersebut termasuk tradisi mereka.      

2_ أَمَّا إِنْ أَتَى بِهَذَا الْفِعْلِ عَلَى غَيْرِ هَذَا الْوَجْهِ، وَكَانَ النَّاسُ يَنْتَقِدُوْنَهُ عَلَى فِعْلِهِ هَذَا، وَصَارَ مِنْ مَعَائِبِ الرَّجُلِ وَاسْتَهْجَنَ النَّاسُ هَذَا الْفِعْلَ، صَارَ هَذَا الْفِعْلُ مِنْ خَوَارِمِ الْمُرُوْءَةِ.

Kedua.
Adapun apabila ia melakukan perbuatan tersebut tidak pada kondisi seperti ini, dan manusia memberikan kritikan terhadap perbuatannya, sehingga hal tersebut menjadi aib/cacat bagi orang tersebut, dan manusia menganggap buruk perbuatannya, maka perbuatan tersebut terkategorikan sebagai penjatuh muru'ah.

Wallahu a'lam bish-shawab. Wa baarakallahu fikum.

Akhukum fillah:
Ahad, 12 - Syawal - 1437 H / 17 - 07 - 2016 M


0 komentar:

Posting Komentar

Mubaarok Al-Atsary. Diberdayakan oleh Blogger.