PERTEMUAN : KE-DELAPAN
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"'ILLAH QADIHAH"
Sahabat
fillah sekalian…
Sangat kami
sarankan sebelum membaca pembahasan ini, agar sahabat fillah membaca terlebih
dahulu PERTEMUAN KE-EMPAT BELAS BAGIAN PERTAMA KITAB MUSTHALAH AL-HADITS yang
telah kita pelajari bersama sebelumnya. Apabila sahabat fillah sekalian
menguasai dengan baik pertemuan pada kitab tersebut, insya Allah pada pertemuan
kita kali ini adalah sesuatu yang sangat mudah bi idznillah. 'Afanallahu
waiyakum.
Berkata
Asy-Syaikh rahimahullahu:
قَوْلُهُ: "أَوْ
يُعَلَّ"، مَعْنَاهُ أي: يُقْدَحُ فِيْهِ بِعِلَّةٍ تَمْنَعُ قَبُوْلَهُ.
Perkataan Imam
Al-Baiquniy rahimahullahu: "أَوْ يُعَلْ" (ataupun cacat),
maknanya yaitu: suatu hadits yang tercemar padanya dengan suatu 'illah (cacat) yang
menghalangi diterimanya (hadits tersebut _pent).
فَإِذَا وُجِدَتْ فِيْ الْحَدِيْثِ عِلَّةٌ
تَمْنَعُ قَبُوْلَهُ فَلَيْسَ الْحَدِيْثُ بِصَحِيْحٍ.
Apabila
terdapat suatu 'illah (cacat) pada suatu hadits yang menghalangi diterimanya
(hadits tersebut _pent), maka hadits tersebut bukan hadits yang shahih.
وَمَعْنَى الْعِلَّةِ فِيْ الْأَصْلِ
هِيَ: وَصْفٌ يُوْجِبُ خُرُوْجَ الْبَدَنِ عَنِ الْاِعْتِدَالِ الطَّبِيْعِيِّ.
Dan makna kata
"الْعِلَّةُ "
(cacat) pada asalnya adalah: suatu sifat yang mengharuskan keluarnya badan dari
tabi'at yang lurus (kesehatan _pent).
وَلِهَذَا يُقَالُ: فُلَانٌ فِيْهِ عِلَّةٌ،
يَعْنِيْ أَنَّهُ عَلِيْلٌ أَيْ مَرِيْضٌ، فَالْعِلَّةُ مَرَضٌ تَمْنَعُ مِنْ سَلَامَةِ
الْبَدَنِ.
Oleh karena
alasan tersebut, maka dikatakan: fulan padanya terdapat cacat, yakni
sesungguhnya ia bercacat atau sakit. Maka 'Illah adalah suatu penyakit yang
menghalangi dari sehatnya badan.
وَالْعِلَّةُ فِيْ الْحَدِيْثِ مَعْنَاهَا
قَرِيْبَةٌ مِنْ هَذَا، وَهِيَ: وَصْفٌ يُوْجِبُ خُرُوْجَ الْحَدِيْثِ عَنِ الْقَبُوْلِ.
Dan 'Illah pada
suatu hadits maknanya juga dekat dengan ini, yaitu: suatu sifat yang
mengharuskan keluarnya hadits dari sifat maqbul.
لَكِنَّ هَذَا الشَّرْطَ، يُشْتَرَطُ
فِيْهِ شَرْطٌ زَائِدٌ عَلَى مَا قَالَ الْمُؤَلِّفُ، وَهُوَ: أَنْ لَا يُعَلَّ الْحَدِيْثُ
بِعِلَّةٍ قَادِحَةٍ، لِأَنَّ الْحَدِيْثَ قَدْ يُعَلُّ بِعِلَّةٍ لَا تَقْدْحُ فِيْهِ،
وَهَذَا سَيَأْتِيْ الْكَلَامُ عَلَيْهِ إِنْ شَاءَاللهُ.
Akan tetapi
syarat ini, dipersyaratkan padanya satu syarat tambahan terhadap apa yang
disampaikan oleh muallif rahimahullahu, yaitu: hadits yang shahih tidak
tercacati oleh 'illah Qadihah (cacat yang merusak). Karena suatu hadits
terkadang ada yang tercacati oleh 'illah yang tidak merusak pada hadits
tersebut. Dan masalah ini akan datang perbincangannya insya Allah.
*Sedikit
keterangan. (pent)
Maksud yang
disampaikan oleh Asy-Syaikh rahimahullah dari kalimat di atas yakni: definsi
yang disampaikan oleh imam Al-Baiquniy rahimahullahu berkaitan dengan masalah
'illah, imam Al-Baiquniy rahmatullah 'alaih hanya menyampaikan dengan bentuk
global, bahwa: suatu hadits yang shahih adalah hadits yang selamat dari 'illah.
Sementara 'illah itu ada yang bersifat qadihah (merusak hadits) dan ada yang
bersifat ghairu qadihah (tidak merusak hadits).
Dan agar jelas
apa yang dimaksud oleh imam Al-Baiquniy rahimahullahu, juga agar tidak
terwahamkan oleh para pembaca seakan 'illah yang diinginkan dalam nazham
mencakup 'illah qadihah dan 'illah ghairu qadihah, maka Asy-Syaikh Ibnu
Al-'Utsaimin rahimahullahu memberikan kait bahwa yang dimaksud 'illah dalam
nazham adalah 'illah qadihah (cacat yang merusak hadits). Adapun 'illah ghairu
qadihah, maka ia tidak memadharatkan hadits yang shahih. Wallahu a'lam.
Kemudian
berkata Asy-Syaikh rahimahullahu:
إِذاً، فَيُشْتَرَطُ لِلْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ
شُرُوْطٌ أَخَذْنَا مِنْهَا ثَلَاثَةً، وَهِيَ: 1_ اتِّصَالُ السَّنَدِ، 2_
أَنْ يَكُوْنَ سَالِماً مِنَ الشُّذُوْذِ، 3_ أَنْ يَكُوْنَ سَالِماً مِنَ الْعِلَّةِ
القَادِحَةِ.
Jadi, dipersyaratkan
pada hadits yang shahih beberapa syarat, dari syarat-syarat tersebut ada tiga
yang telah kita ambil, yaitu: 1). Sanad Muttashil, 2). Selamatnya hadits shahih
dari syadz, 3). Selamatnya hadits shahih dari 'illah qadihah (cacat yang
merusak).
Faidah
Penting. (pent)
*Dari
penjelasan Asy-Syaikh rahimahullahu tersebut di atas memberikan faidah kepada
kita, bahwa: 'Illah pada suatu hadits itu terbagi menjadi dua: 1). 'Illah
Qadihah (cacat yang merusak hadits) dan 2). 'Illah Ghairu Qadihah
(cacat yang tidak merusak hadits).
وَالْعِلَّةُ الْقَادِحَةُ، اخْتَلَفَ
فِيْهَا الْعُلَمَاءُ اخْتِلَافاً كَثِيْراً! وَذَلِكَ لِأَنَّ بَعْضَ الْعُلَمَاءِ،
قَدْ يَرَى أَنَّ فِيْ الْحَدِيْثِ عِلَّةٌ تُوْجِبُ الْقَدْحَ فِيْهِ، وَبَعْضَهُمْ
قَدْ لَا يَرَاهَا عِلَّةً قَادِحَةً.
Dan 'illah
qadihah, para ulama telah berselisih dalam masalah tersebut dengan perselisihan
yang banyak! Yang demikian itu dikarenakan sebagian ulama terkadang memandang
bahwa pada suatu hadits terdapat 'illah yang mengharuskan kerusakan pada
hadits, sementara sebagian ulama yang lain tidak memandang 'illah tersebut
sebagai 'illah qadihah.
وَمِثَالُهُ: لَوْ أَنَّ شَخْصاً ظَنَّ
أَنَّ هَذَا الْحَدِيْثَ مُخَالِفٌ لِمَا هُوَ أَرْجَحُ مِنْهُ، لَقَالَ: إِنَّ الْحَدِيْثَ
شَاذٌّ، ثُمَّ لَا يَقْبَلُهُ.
Dan contohnya
adalah: apabila seseorang menyangka bahwa hadits ini menyelisihi hadits yang
lebih rajih (kuat) darinya, sehingga iapun berpendapat: sesungguhnya hadits ini
adalah syadz, kemudian iapun tidak menerimanya.
فَإِذَا جَاءَ آخَرٌ وَتَأَمَّلَ الْحَدِيْثَ
وَجَدَ أَنَّهُ لَا يُخَالِفُهُ، فَبِالتَّالِي يَحْكُمُ بِصِحَّةِ الْحَدِيْثِ!
Kemudian
tiba-tiba datang orang lain dan memerhatikan hadits tersebut, lalu ia mendapati
bahwa hadits tersebut tidak meneyelisihi hadits yang lebih rajih darinya. Maka
kemudian, iapun menghukumi akan shahihnya hadits tersebut!
لِأَنَّ أَمْرَ الْعِلَّةِ أَمْرٌ خَفِيٌّ،
فَقَدْ يَخْفَى عَلَى الْإِنْسَانِ وَجْهُ ارْتِفَاعِ الْعِلَّةِ فَيُعَلِّلُهُ بِهَذِهِ
الْعِلَّةِ، وَيَأْتِيْ آخَرٌ وَيَتَبَيَّنُ لَهُ وَجْهُ ارْتِفَاعِ الْعِلَّةِ فَلَا
يُعَلِّلُهُ.
Dikarenakan
perkara 'illah adalah perkara yang samar, terkadang tersamarkan bagi seseorang
sisi terangkatnya suatu 'illah sehingga menganggap cacatnya hadits tersebut
berdasarkan 'illah ini. Dan datang orang lain yang nampak baginya sisi terangkat
'illahnya sehingga tidak menganggap cacatnya hadits tersebut.
لِذَلِكَ قُلْنَا: لَابُدَّ مِنْ إِضَافَةِ
قَيْدٍ، وَهُوَ: أَنْ تَكُوْنَ الْعِلَّةُ قَادِحَةً، وَالْعِلَّةُ الْقَادِحَةُ هِيَ
الَّتِيْ تَكُوْنُ فِيْ صَمِيْمِ مَوْضُوْعِ الْحَدِيْثِ، أَمَّا الَّتِيْ تَكُوْنُ
خَارِجاً عَنْ مَوْضُوْعِهِ فَهَذِهِ لَا تَكُوْنُ عِلَّةً قَادِحَةً.
Oleh karena
itu, kita katakan: harus ada penyandaran pada suatu kait, yaitu: 'illahnya
adalah 'illah qadihah. Dan 'illah qadihah adalah suatu 'illah yang berada pada
inti pembahasan hadits. Adapun 'illah yang berada di luar dari pembahasan
hadits, maka ia bukan 'illah qadihah.
CONTOH
'ILLAH GHAIRU QADIHAH.
Dalam pertemuan
dan pembahasan ini, Asy-Syaikh rahimahullah hanya memberikan contoh pada 'Illah
Ghairu Qadihah (cacat yang tidak merusak hadits), dan beliau tidak memberikan
contoh pada 'Illah Qadihah (cacat yang merusak hadits). Untuk mengetahui di
antara contoh hadits yang terdapat 'Illah Qadihah padanya, silahkan sahabat
fillah sekalian kembali melihat pada PERTEMUAN KE-EMPAT BELAS BAGIAN PERTAMA KITAB MUSTHALAH AL-HADITS yang telah kita pelajari bersama sebelumnya. (pent)
CONTOH
PERTAMA.
وَلْنَضْرِبْ عَلَى ذَلِكَ مَثَلاً بِحَدِيْثِ
فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - فِيْ قِصَّةِ الْقِلَادَةِ الذَّهَبِيَّةِ
الَّتِيْ بِيْعَتْ بِاثْنَيْ عَشَرَ دِيْنَاراً، وَالدِّيْنَارُ نَقْدٌ ذَهَبِيٌّ،
فَفُصِلَتْ فَوَجَدَ فِيْهَا أَكْثَرَ مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ دِيْنَاراً.
Kita membuat
suatu permisalan untuk hal tersebut dengan hadits Fadhalah Ibnu 'Ubaid
radhiallahnu 'anhu tentang kisah kalung emas yang dijual seharga dua belas
dinar. Dinar adalah mata uang emas. Maka kalung tersebut kemudian dipisah, dan
ia mendapati lebih dari dua belas dinar pada kalung tersebut.
وَاخْتَلَفَ الرُّوَاةُ فِيْ مِقْدَارِ
الثَّمَنِ، فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: اثْنَيْ عَشَرَ دِيْنَاراً. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ:
تِسْعَةَ دَنَانِيْرَ. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: عَشْرَةَ دَنَانِيْرَ. وَمِنْهُمْ مَنْ
قَالَ غَيْرَ ذَلِكَ.
Para perawi
berselisih tentang jumlah harganya. Di antara mereka ada yang mengatakan dua
belas dinar. Ada yang mengatakan sembilan dinar. Ada yang mengatakan sepuluh
dinar. Dan ada juga yang mengatakan selain hal tersebut.
وَهَذِهِ الْعِلَّةُ -لَا شَكَّ- أَنَّهَا
عِلَّةٌ تَهُزُّ الْحَدِيْثَ، لَكِنَّهَا عِلَّةٌ غَيْرُ قَادِحَةٍ فِيْ الْحَدِيْثِ،
وَذَلِكَ لِأَنَّ اخْتِلَافَهُمْ فِيْ الثَّمَنِ لَا يُؤَثِّرُ فِيْ صَمِيْمِ مَوْضُوْعِ
الْحَدِيْثِ، وَهُوَ: أَنَّ بَيْعَ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ، إِذَا كَانَ مَعَهُ غَيْرُهُ،
لَا يَجُوْزُ وَلَا يَصِحُّ.
'Illah ini
-tidak diragukan- bahwa ia adalah 'illah yang menggoncang hadits. Akan tetapi
ia adalah 'illah yang tidak merusak hadits. Karena perselisihan mereka hanya
seputar harga yang tidak memberi pengaruh terhadap inti pembahasan hadits,
yaitu: sesungguhnya emas dijual dengan emas, apabila emas tersebut bercampur, maka
jual beli tersebut tidak boleh dan tidak sah.
CONTOH
KEDUA.
وَكَذَلِكَ قِصَّةُ بَعِيْرِ جَابِرٍ
- رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - الَّذِيْ اشْتَرَاهُ مِنْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، حَيْثُ اخْتَلَفَ الرُّوَاةُ فِيْ ثَمَنِ هَذَا الْبَعِيْرِ، هَلْ هُوَ
أَوْقِيَّةٌ، أَوْ أَكْثَرُ، أَوْ أَقَلُّ.
Demikian juga
kisah unta Jabir radhiallahu 'anhu yang dibeli oleh nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, dimana para perawi juga berselisih pada harga unta tersebut. Apakah
seharga satu uqiah (12 dirham _pent), atau lebih banyak, ataukah lebih
sedikit.
فَهَذَا الْخِلَافُ لَا يُعْتَبَرُ عِلَّةً
قَادِحَةً فِيْ الْحَدِيْثِ، لِأَنَّ مَوْضُوْعَ الْحَدِيْثِ هُوَ: شِرَاءُ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجَمَلَ مِنْ جَابِرٍ بِثَمَنٍ مُعَيَّنٍ.
Perselisihan
ini tidak teranggap sebagai 'illah qadihah pada hadits tersebut. Karena inti
pembahasan hadits tersebut adalah: nabi shallallahu 'alaihi wasallam membeli
unta milik Jabir radhiallahu 'anhu dengan harga tertentu.
وَاشْتِرَاطُ جَابِرٍ أَنْ يَحْمِلَهُ
الْجَمَلُ إِلَى الْمَدِيْنَةِ، وَهَذَا الْمَوْضُوْعُ لَمْ يَتَأَثَّرْ وَلَمْ يُصَبْ
بَأَيِّ عِلَّةٍ تَقْدَحُ فِيْهِ، وَغَايَةُ مَا فِيْهِ أَنَّهُمْ اخْتَلَفُوْا فِيْ
مِقْدَارِ الثَّمَنِ، وَهَذِهِ لَيْسَتْ بِعِلَّةٍ قَادِحَةٍ فِيْ الْحَدِيْثِ.
Dan persyaratan
yang diberikan Jabir radhiallahu 'anhu agar unta tersebut membawanya ke Madinah
terlebih dahulu, permasalahan ini tidak memberikan pengaruh dan tidak pula
menyebabkan hadits tersebut tertimpa 'illah yang merusak padanya. Dan puncak
pada hadits tersebut mereka hanya berselisih pada kadar harganya, dan hal ini
bukanlah 'illah yang merusak hadits tersebut.
وَمِنَ الْعِلَلِ الْقَادِحَةِ: أَنْ
يَرْوِيَ الْحَدِيْثَ إِثْنَانِ، أَحَدُهُمَا يَرْوِيْهِ بِصِفَةِ النَّفْيِ، وَالْآخَرُ
يَرْوِيْهِ بِصِفَةِ الْإِثْبَاتِ، وَهَذَا لَا شَكَّ أَنَّهَا عِلَّةٌ قَادِحَةٌ.
Dan
di antara bentuk 'illah qadihah (cacat yang merusak hadits) adalah: sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi, yang pertama meriwayatkan
dengan konteks penafian, sementara yang kedua meriwayatkan dengan konteks
penetapan. Yang seperti ini tidak diragukan bahwa ia adalah 'illah qadihah.
وَسَيَأْتِيْ
الْكَلَامُ عَلَيْهِ إِنْ شَاءَاللهُ فِيْ الْحَدِيْثِ الْمُضْطَرِبِ الَّذِيْ اضْطَرَبَ
الرُّوَاةُ فِيْهِ عَلَى وَجْهٍ يَتَأَثَّرُ بِهِ الْمَعْنَى.
Akan
datang perbincangan masalah tersebut insya Allah, pada (bab) Hadits Mudhtarib yang para perawinya goncang pada suatu hadits
dengan bentuk yang memberikan pengaruh terhadap makna.
Wallahu a'lam bish-shawab. Wa baarakallahu fikum.
Akhukum fillah:
Selasa, 16 - Ramadhan - 1437 H / 21 - 06 - 2016 M
0 komentar:
Posting Komentar