PERTEMUAN : KE-LIMA
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"MUQADDIMAH IMAM AL-BAIQUNIY"
Berkata Imam Al-Baiquniy
rahimahullahu dalam Manzhumahnya:
v1_ أَبْدأُ
بِالْحَمْدِ مُصَلِّياً عَلَى * مُحَمّدٍ خَيْرِ نَبِيٍّ أُرْسِلَا.
Aku memulai dengan pujian
bershalawat atas * Muhammad sebaik-baik nabi yang diutus.
Kemudian Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin
rahimahullahu memulai menguraikan pendahuluan dari imam Al-Baiquniy
rahimahullah tersebut, dan berkata:
قَوْلُهُ:
أَبْدَأُ بِالْحَمْد، يُوْحِي بِأَنَّهُ لَمْ يَذْكُرِ
الْبَسْمَلَةَ، فَإِنَّهُ لَوْ بَدَأَ بِالْبَسْمَلَةِ؛ لَكَانَتِ الْبَسْمَلَةُ هِيَ
الْأَوْلَى، وَلِذَلِكَ يَشُكُّ الْإِنْسَانُ هَلْ بَدَأَ الْمُؤَلِّفُ بِالْبَسْمَلَةِ
أَمْ لَا؟ لَكِنَّ الشَّارِحَ ذَكَرَ أَنَّ الْمُؤَلِّفَ بَدَأَ النَّظْمَ بِالْبَسْمَلَةِ،
وَبِنَاءً عَلَى هَذَا تَكُوْنُ الْبَدَاءَةُ هُنَا نِسْبِيَّةٌ، أَيْ: بِالنِّسْبَةِ
لِلدُّخُوْلِ فِيْ مَوْضُوْعِ الْكِتَابِ أَوْ صَلْبِ الْكِتَابِ.
Perkataan imam Al-Baiquniy
rahimahullah: "aku memulai dengan pujian,". Mengisyaratkan
bahwa beliau tidak menyebutkan basmalah, kalaulah sekiaranya beliau memulai
dengan basmalah, niscaya basmalah lebih utama. Oleh karenanya manusia menjadi
ragu; apakah muallif (yakni: imam Al-Baiquniy rahimahullah_pent) memulai
dengan basmalah ataukah tidak? Akan tetapi pensyarah menyebutkan bahwa muallif memulai
nazham beliau dengan basmalah. Dan dibangun di atas ini, maka permulaan disini
adalah nisbi, yakni: apabila dinisbatkan untuk masuk pada pokok masalah atau
naskah kitab.
وَقَوْلُهُ:
بِالْحَمْدِ مُصَلِّياً، نُصِبَ "مُصَلِّياً"
عَلَى أَنَّهُ حَالٌ مِنَ الضَّمِيْرِ فِيْ "أَبْدَأُ"، وَالتَّقْدِيْرُ
حَالُ كَوْنِي مُصَلِّياً.
Perkataan imam Al-Baiquniy
rahimahullah: "dengan pujian bershalawat,". Dinashabkan
kata "Mushalliyan" sebagai "Hal" dari "Dhamir"
pada kata "Abda'", dan hipothesis tersebut adalah: aku dalam keadaan
bershalawat.
وَمَعْنَى
الْحَمْدِ كَمَا قَالَ الْعُلَمَاءُ: هُوَ وَصْفُ الْمَحْمُوْدِ بِالْكَمَالِ مَحَبَّةً
وَتَعْظِيْماً، فَإِنْ وَصَفَهُ بِالْكَمَالِ لَا مَحَبَّةً وَلَا تَعْظِيْماً، وَلَكِنْ
خَوْفاً وَرَهْبَةً سُمِيَ ذَلِكَ مَدْحاً لَا حَمْداً، فَالْحَمْدُ لَابُدَّ أَنْ
يَكُوْنَ مَقْرُوْناً بِمَحَبَّةِ الْمَحْمُوْدِ وَتَعْظِيْمِهِ.
Dan makna "Al-Hamd" sebagaimana
dikatakan oleh para ulama: "Al-Hamd" adalah menyifati yang dipuji
dengan kesempurnaan dengan penuh cinta dan pengagungan. Maka apabila menyifati
yang dipuji dengan kesempurnaan tanpa cinta dan tanpa pengagungan, akan tetapi
dengan khauf (takut) dan rahbah (cemas), ini dinamakan "Madh" bukan
"Hamd". Adapun "Hamd" maka ia harus beriringan dengan cinta
terhadap yang dipuji dan mengagungkannya.
وَقَوْلُ
الْمُؤَلِّفُ: بِالْحَمْدِ، لَمْ يَذْكُرِ الْمَحْمُوْدَ، وَلَكِنَّهُ مَعْلُوْمٌ
بِقَرِيْنَةِ الْحَالِ، لِأَنَّ الْمُؤَلِّفَ مُسْلِمٌ؛ فَالْحَمْدُ يَقْصُدُ بِهِ
حَمْدُ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
Perkataan imam Al-Baiquniy
rahimahullah: "dengan pujian,". Beliau tidak
menyebutkan siapa yang dipuji. Akan tetapi hal tersebut dapat diketahui dengan
indikasi keadaan. Karena muallif adalah seorang muslim; maka
"Al-Hamd" yang beliau maksudkan adalah pujian untuk Allah Subhanahu
wa Ta'ala.
وَمَعْنَى
الصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ: طَلَبُ الثَّنَاءِ
عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تَعَالَى، وَهَذَا مَا إِذَا وَقَعَتِ الصَّلاَةُ مِنَ الْبَشَرِ،
أَمَا إِذَا وَقَعَتْ مِنَ اللهِ تَعَالَى فَمَعْنَاهَا ثَنَاءُ اللهِ تَعَالَى عَلَيْهِ
فِيْ الْمَلَأِ الْأَعْلَى، وَهَذَا هُوَ قَوْلُ أَبِيْ الْعَالِيَّةِ.
Dan makna bershalawat atas baginda nabi
shallallahu 'alaihi wasallam adalah: berharap pujian untuk beliau shallallahu
'alaihi wasallam dari Allah Ta'ala, dan ini apabila berupa shalawat yang
diucapkan oleh manusia. Adapun apabila dari Allah Ta'ala, maka maknanya adalah
pujian Allah Ta'ala terhadap beliau shallallahu 'alaihi wasallam di sisi para
malaikat yang mulya. Ini adalah pendapat Abu Al-'Aliyah rahimahullahu.
وَأَمَّا
مَنْ قَالَ إِنَّ الصَّلَاةَ مِنَ اللهِ تَعَالَى تَعْنِي الرَّحْمَةَ، فَإِنَّ هَذَا
الْقَوْلَ ضَعِيْفٌ، يُضَعِّفُهُ قَوْلُهُ تَعَالَى:
Adapun yang berpendapat bahwa
shalawat dari Allah Ta'ala maksudnya adalah rahmah, maka sesungguhnya pendapat
ini adalah pendpapat yang lemah. Dilemahkan oleh firman Allah Ta'ala:
{أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَتٌ مِّن
رَّبْهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ} [البقرة: 157].
"Mereka itulah orang-orang yang
mendapat curahan shalawat dan rahmah dari Rabb mereka dan mereka itulah
orang-orang yang berpetunjuk." (QS: Al-Baqarah : 157)
وَلَوْ
كَانَتِ الصَّلَاةُ بِمَعْنَى الرَّحْمَةِ، لَكَانَ مَعْنَى الْأَيَةِ أَيْ: أُوْلَئِكَ
عَلَيْهِمْ رَحْمَاتٌ مِنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ، وَهَذَا لَا يَسْتَقِيْمُ! وَالْأَصْلُ
فِيْ الْكَلَامِ التَّأْسِيْسُ؛
فَإِذَا قُلْنَا إِنَّ الْمَعْنَى أَيْ: رَحْمَاتٌ مِنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ، صَارَ
عَطْفَ مُمَاثِلٍ عَلَى مُمَاثِلٍ.
Andaikata shalawat bermakna rahmah,
niscaya makna ayat di atas yakni: "mereka itulah orang-orang yang mendapat
berbagai rahmah dari Rabba mereka dan rahmah". Dan makna ini tidak tepat!
Asal pada susunan kalimat adalah "At-Ta'sis" (berdiri sebagai pokok);
maka apabila kita katakan sesungguhnya makna tersebut yakni: "berbagai
rahmah dari Rabba mereka dan rahmah", maka ia menjadi menyandarkan yang
semisal kepada yang semisal.
فَالصَّحِيْحُ
هُوَ: الْقَوْلُ الْأَوَّلُ وَهُوَ أَنَّ صَلَاةَ اللهِ عَلَى عَبْدِهِ ثَنَاؤُهُ
عَلَيْهِ فِيْ الْمَلَأِ الْأَعْلَى.
Maka yang shahih adalah pendapat
pertama, yaitu: sesungguhnya shalawat Allah terhadap hamba-Nya adalah
pujian-Nya disisi para malaikat yang mulya.
وَقَوْلُهُ:
مُحَمَّدٍ خَيْرِ نَبِيٍّ أُرْسِلَا.
Kemudian perkataan imam Al-Baiquniy
rahimahullah: "Muhammad sebaik-baik nabi yang diutus."
مُحَمَّدٌ:
هُوَ اسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَدْ ذَكَرَ
اللهُ تَعَالَى اسْمَيِنْ مِنْ أَسْمَاءِ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
فِيْ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ وَهُمَا: أَحْمَدُ وَمُحَمَّدٌ.
Muhammad adalah salah satu nama dari
nama-nama nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Telah disebutkan oleh Allah ta'ala
dua nama dari nama-nama nabi shallallahu 'alaihi wasallam di dalam Al-Qur'an
Al-Karim, kedua nama tersebut adalah Ahmad dan Muhammad.
أَمَّا
أَحْمَدُ: فَقَدْ ذَكَرَهُ نَقْلاً عَنْ عِيْسَى عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ،
وَقَدِ اخْتَارَ عِيْسَى ذَلِكَ؛ إِمَّا لِأَنَّهُ لَمْ يُوْحَ إِلَيْهِ إِلَّا بِذَلِكَ،
وَإِمَّا لِأَنَّهُ يَدُلُّ عَلَى التَّفْضِيْلِ، فَإِنَّ أَحْمَدَ اسْمُ تَفْضِيْلٍ
فِيْ الْأَصْلِ، كَمَا تَقُوْلُ: فُلَانٌ أَحْمَدُ النَّاسِ، فَخَاطَبَ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ
لِيُبَيِّنَ كَمَالَهُ.
Adapun "Ahmad", Allah
menyebutkannya dalam konteks penukilan dari nabi 'Isa 'alaihi ash-shalatu wa
as-salam. 'Isa telah memilih nama tersebut; mungkin karena tidak diwahyukan
kepada beliau selain nama tersebut, atau mungkin juga karena nama tersebut
menunjukkan keutamaan. Karena sesungguhnya "Ahmad" pada asalnya
adalah isim tafdhil, sebagaimana engkau katakan: Fulan adalah manusia yang
paling terpuji, maka 'Isa 'alaihi ash-shalatu wa as-salam mengajak berbicara
Bani Israil untuk menjelaskan kesempurnaan nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wasallam.
أَمَّا
مُحَمَّدٌ فَهُوَ اسْمُ مَفْعُوْلٍ مِنْ حَمْدِهِ، وَلَكِنَّ الْأَقْرَبَ أَنَّ
اللهَ تَعَالَى أَوْحَى إِلَيْهِ بِذَلِكَ لِسَبَبَيْنِ هُمَا:
Adapun "Muhammad", maka ia
adalah isim maf'ul dari kata "Hamd" sebagai masdarnya. Akan tetapi
yang lebih dekat, sesungguhnya Allah mewahyukam kepada 'Isa dengan nama 'Ahmad dikarenakan
dua sebab:
1_ لِكَيْ يُبَيِّنَ
لِبَنِيْ إِسْرَائِيْلَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ أَحْمَدُ
النَّاسِ وَأَفْضَلُهُمْ.
Pertama.
Agar nabi 'Isa 'alaihi ash-shalatu
wa as-sallam menjelaskan kepada Bani Israil bahwa nabi Muhammad shallallahu
'alihi wasallam adalah manusia yang paling terpuji dan paling utama.
2_ لِكَيْ يَبْتَلِيَ
بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ وَيَمْتَحِنَهُمْ، وَذَلِكَ لِأَنَّ النَّصَارَى قَالُوْا: إِنَّ
الَّذِيْ بَشَّرَنَا بِهِ عِيْسَى هُوَ أَحْمَدُ، وَالَّذِيْ جَاءَ لِلْعَرَبِ هُوَ
مُحَمَّدٌ، وَأَحْمَدُ غَيْرُ مُحَمَّدٍ، فَإِنَّ أَحْمَدَ لَمْ يَأتِ بَعْدُ، وَهَؤُلَاءِ
قَالَ اللهُ فِيْهِمْ:
Kedua.
Agar menjadi cobaan terhadap Bani
Israil dan menjadi ujian bagi mereka. Yang demikian itu karena orang-orang
Nashara berkata: sesungguhnya yang dikhabar gembirakan oleh nabi 'Isa 'alaihi
ash-shalatu wa as-sallam adalah Ahmad. Sementara yang datang untuk orang 'Arab
adalah Muhammad. Ahmad bukan Muhammad, adapun Ahmad belum datang hingga saat
ini. Dan mereka itulah orang-orang yang Allah katakan menegenai mereka:
{فَأَمَّا الَّذِينَ فى قُلُوبِهِمْ
زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَبَهَ مِنْهُ}. [آل عمران: 7].
"Adapun orang-orang yang di
dalan hati-hati mereka terdapat penyelewengan, maka mereka mengikuti sesuatu
yang samar dari Al-Qur'an." (QS: Ali Imran: 07)
وَلَكِنْ
نَقُوْلُ لَهُمْ: إِنَّ قَوْلَكُمْ أَنَّهُ لَمْ يَأْتِ بَعْدُ؛ كَذْبٌ لِأَنَّ
اللهَ تَعَالَى قَالَ فِيْ نَفْسِ الْأَيَةِ
Akan tetapi kita katakan kepada
mereka: ucapan kalian bahwa ia belum datang hingga saat ini, ini adalah
sebuah kedustaan, karena Allah telah
menjelaskan dalam ayat itu sendiri:
{فَلَمَّا جَاءَهُم بِالْبَيِّنَتِ
قَالُواْ هَذَا سِحْرٌ مُّبِينٌ}. [الصف: 6].
"Dan tatkala datang kepada
mereka dengan penjelasan-penjelasan yang nyata, mereka mengatakan: ini adalah
sihir yang nyata." (QS: Ash-Shaf: 06)
وَ"جَاءَ"
فِعْلٌ مَاضِي، يَعْنِي أَنَّ أَحْمَدَ جَاءَ، وَلَا نَعْلَمُ أَنَّ أَحَداً جَاءَ
بَعْدَ عِيْسَى إِلَّا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Dan kata "Ja'a" adalah "fi'il
madhi", yakni: sesungguhnya Ahmad telah datang. Dan kita tidak mengetahui
ada seorangpun yang datang setelah 'Isa selain Muhammad 'alaihima ash-shalatu
wa as-salam.
وَبَيْنَ
مُحَمَّدٍ وَأَحْمَدَ فَرْقٌ فِيْ الصِّيْغَةِ وَالْمَعْنَى:
Dan antara Muhammad dan Ahmad
terdapat perbedaan dalam sighat (bentuk kalimat) dan makna:
أَمَّا
فِيْ الصِّيْغَةِ: فَمُحَمَّدٌ: اسْمٌ مَفْعُوْلٌ، وَأَحْمَدُ: اسْمٌ تَفْضِيْلٌ.
Adapun dari segi sighat: Muhammad
adalah Isim Maf'ul dan Ahmad adalah Isim Tafdhil.
أَمَّا
الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا فِيْ الْمَعْنَى:
Adapun perbedaan keduanya dari segi
makna:
فَفِيْ
مُحَمَّدٍ: يَكُوْنُ الْفِعْلُ وَاقِعاً مِنَ النَّاسِ، أي: أن الناس يحمدونه.
Pada kata Muhammad: perbuatan
(yakni: pujian _pent) terjadi dari manusia, yakni: manusia yang
memujinya.
وَفِيْ
أَحْمَدَ: يَكُوْنُ الْفِعْلُ وَاقِعاً مِنْهُ، يَعْنِي أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَحْمَدُ النَّاسِ لِلَّهِ تَعَالَى، يَكُوْنُ وَاقِعاً عَلَيْهِ يَعْنِي
أَنَّهُ هُوَ أَحَقُّ النَّاسِ أَنَّ يُحْمَدَ.
Dan pada kata Ahmad: terkadang perbuatan
terjadi dari beliau, yakni: sesungguhnya beliau shallallahu 'alaihi wasallam adalah
manusia yang paling terpuji di sisi Allah subhanahu wa ta'ala. Dan terkadang
terjadi terhadap beliau shallallahu 'alaihi wasallam, yakni: beliau shallallahu
'alaihi wasallam adalah manusia yang paling berhak untuk dipuji.
فَيَكُوْنُ
مُحَمَّدٌ حُمِدَ بِالْفِعْلِ.
Sehingga Muhammad adalah yang dipuji
dengan perbuatan.
وَأَحْمَدُ،
أَيْ: كَانَ حَمْدُهُ عَلَى وَجْهٍ يَسْتَحِقُّهُ؛ لِأَنَّهُ أَحَقُّ النَّاسِ أَنْ
يُحْمَدَ، وَلَعَلَّ هَذَا هُوَ السِّرُّ فِيْ أَنَّ اللهَ تَعَالَى أَلْهَمَ عِيْسَى
أَنْ يَقُوْلَ: {وَمُبَشِّراً بِرَسُولٍ يَأْتِى مِن بَعْدِى اسْمُهُ أَحْمَدُ}
[الصف: 6]. حَتَّى يُبَيِّنَ لِبَنِيْ إِسْرَائِيْلَ أَنَّهُ أَحْمَدُ النَّاسِ لِلَّهِ
تَعَالَى، وَأَنَّهُ أَحَقُّ النَّاسِ بِأَنْ يُحْمَدَ.
Dan Ahmad, yakni: pujian terhadap
beliau shallallahu 'alahi wasallam adalah pujian yang sesuai dengan haknya;
karena beliau adalah manusia yang paling berhak mendapat pujian. Bisa jadi ini
adalah sesuatu yang tersembunyi di sebalik Allah subhanahu wata'ala mengilhamkan
terhadap nabi 'Isa 'alaihi salam untuk mrngatakan:
{وَمُبَشِّراً بِرَسُولٍ يَأْتِى مِن
بَعْدِى اسْمُهُ أَحْمَدُ} [الصف: 6].
"Dan memberikan berita gembira
dengan datangnya seorang rasul setelahku yang bernama Ahmad." (QS:
Ash-Shaf: 06)
وَقَوْلُهُ: خَيْرِ نَبِيٍّ أُرْسِلَا.
Kemudian perkataan imam
Al-Baiquniy rahimahullah: "Sebaik-baik nabi yang diutus."
جَمَعَ
الْمُؤَلِّفُ هُنَا بَيْنَ النُّبُوَّةِ وَالرِّسَالَةِ، لِأَنَّ النَّبِيَّ مُشْتَقٌّ
مَعَ النَّبَأِ فَهُوَ فَعِيْلٌ بِمَعْنَى مَفْعُوْلٌ، أَوْ هُوَ مُشْتَقٌّ مِنَ
النُّبُوَّةِ، أَيْ: نَبَا يَنْبُوْا إِذَا ارْتَفَعَ، وَالنَّبِيُّ لَا شَكَّ أَنَّهُ
رَفِيْعُ الرُّتْبَةِ، وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْمَلُ مَنْ
أَرْسِلَ وَأَكْمَلُ مَنْ أُنْبِىءَ، وَلِهَذَا قَالَ مُحَمَّدٌ خَيْرُ نَبِيٍّ أُرْسِلَا.
Muallif rahimahullah disini
mengandengkan antara nubuwah dan kerasulan, karena kata "Nabi" adalah
pecahan bersama "Naba" dan ia dengan sighat "Fa'il" yang
bermakna "Maf'ul". Atau ia pecahan dari kata "Nubuwah",
yakni: "Naba" - "Yanbu" apabila meninggi. Dan Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam tidak diragukan bahwa beliau tinggi tingkatannya. Dan
Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah rasul yang paling sempurna dan
nabi yang paling sempurna. Oleh karena itu muallif rahimahullah mengatakan: "Muhammad adalah sebaik-baik nabi yang diutus."
وَالْمُؤَلِّفُ
هُنَا قَالَ: نَبِيٍّ أُُرْسِلَا، وَلَمْ يَقُلْ خَيْرُ رَسُوْلٍ أُرْسِلَا.
Dan muallif rahimahullah disini
mengatakan: "sebaik-baik nabi yang diutus".
Tidak mengatakan: "sebaik-baik rasul yang
diutus".
وَذَلِكَ
لِأَنَّ كُلَّ رَسُوْلٍ نَبِيٌّ، وَدَلَالَةُ الرِّسَالَةِ عَلَى النُّبُوَّةِ مِنْ
بَابِ دَلَالَةِ اللُّزُوْمِ؛ لِأَنَّ مِنْ لَازِمِ كَوْنِهِ رَسُوْلاً أَنْ يَكُوْنَ
نَبِيًّا.
Yang demikian dikarenakan setiap
rasul adalah nabi. Dan pendalilan risalah terhadap kenabian adalah termasuk
dalam bab Dalalah Luzum (pendalilan keharusan); karena termasuk keharusan
seorang rasul adalah seorang nabi. (Yakni: tidak bisa mencapai tingkatan rasul
melainkan dari kalangan para nabi _pent)
فَإِذَا
ذُكِرَ اللَّفْظُ صَرِيْحاً كَانَ ذَلِكَ أَفْصَحُ فِيْ الدِّلَالَةِ عَلَى الْمَقْصُوْدِ،
فَالْجَمْعُ بَيْنَ النُّبُوَّةِ وَالرِّسَالَةِ نَسْتَفِيْدُ مِنْهُ أَنَّهُ نَصَّ
عَلَى النُّبُوَّةِ.
Apabila disebutkan lafazh tersebut
(yakni: lafazh kenabian _pent) dengan jelas, maka hal tersebut akan
menjadi lebih fashih dalam pendalilan terhadap yang diinginkan. Dengan
menggabungkan antara lafazh nubuwah dan risalah, maka kita mendapatkan faidah
dari hal tersebut akan adanya nash terhadap nubuwah.
وَلَوِ
اقْتُصِرَ عَلَى الرِّسَالَةِ لَمْ نَسْتَفِدْ مَعْنىَ النُّبُوَّةِ إِلاَّ عَنْ طَرِيْقِ
اللُّزُوْمِ.
Dan apabila hanya mencukupkan dengan
lafazh risalah (tanpa menyebutkan lafazh nubuwah _pent), maka kita tidak
mendapat faidah makna nubuwah melainkan dengan metode Al-Luzum
(keharusannya).
وَكَوْنُ
اللَّفْظِ دَالًّا عَلَى الْمَعْنَى بِنَصِّهِ أَوْلَى مِنْ كَوْنِهِ دَالاًّ بِاسْتِلْزَامِهِ.
Dan dengan adanya lafazh tersebut
menunjukkan terhadap makna dengan nashnya, adalah lebih utama dari adanya
lafazh yang hanya menunjukkan dengan istilzam (keharusan) nya.
*Kesimpulannya: kita mendapatkan
sebuah kaidah penting, yaitu:
دِلَالَةُ
اللَّفْظِ أَوْلَى مِنْ دِلَالَةِ اللُّزُوْمِ.
Pendalilan berdasarkan lafazh adalah
lebih diutamakan dari pendalilan berdasarkan kelaziman.* (pent)
كَمَا
فِيْ حَدِيْثِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - عِنْدَ تَعْلِيْمِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُ دُعَاءَ النَّوْمِ، فَلَمَّا أَعَادَ
الْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - الدُّعَاءَ قَالَ: وَبِرَسُوْلِكَ
الَّذِيْ أَرْسَلْتَ. فَقَالَ لَهُ النَّبِيّ ُصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"لَا؛ قُلْ: وَبِنَبِيِّكَ الَّذِيْ أَرْسَلْتَ". لِأَجْلِ أَنْ تَكُوْنَ
الدِّلَالَةُ عَلَى النُّبُوَّةِ دِلَالَةً نَصِّيَّةً، هَذَا مِنْ جِهَةٍ.
Sebagaimana terdapat dalam hadits
Al-Bara Ibni 'Azib radhiallahu 'anhu ketika nabi shallallahu 'alaihi wasallam
mengajarkannya do'a sebelum tidur. Maka tatkala Al-Bara Ibnu 'Azib radhiallahu
'anhu mengulang do'a tersebut, beliau berkata: "dengan "rasul"-Mu
yang Engkau utus". Maka nabi shallallahu 'alaihi wasallam menimpalinya:
"tidak; tapi ucapkanlah: dengan "nabi"-Mu yang Engkau
utus". Dengan tujuan agar pendalilan nubuwah adalah dengan pendalilan
secara nash (lafazh). Ini apabila ditinjau dari satu sisi.
وَمِنْ
جِهَةٍ أُخْرَى: أَنَّهُ إِذَا قَالَ: خَيْرُ رَسُوْلٍ، فَإِنَّ لَفْظَ الرَّسُوْلِ
يَشْمَلُ الرَّسُوْلَ المَلَكِي وَهُوَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَيَشْمَلُ
الرَّسُوْلَ البَشَرِي وَهُوَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَكِنْ!
عَلَى كُلِّ حَالٍ فِيْ كَلَامِ المُؤَلِّفِ كَلِمَةُ "مُحَمَّدٍ" تَخْرُجُ
مِنْهُ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ.
Dan dari sisi yang lain: apabila muallif
rahimahullahu mengatakan: sebaik-baik "rasul", maka lafazh rasul
mencakup rasul malaki (dari kalangan malaikat) dan ia adalah Jibril 'alaih
salam, dan juga mencakup rasul basyari (dari kalangan manusia) dan ia adalah
Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Akan tetapi! Bagaimanapun keadaannya,
pada ucapan muallif rahimahullah terdapat kata "Muhammad", maka
keluar darinya Jibril 'alaihi salam.
وَالْأَلِفُ
فِيْ قَوْلِهِ: أُرْسِلَا يُسَمِّيْهَا الْعُلَمَاءُ أَلِفَ الْإِطْلَاقِ، أَيْ: إِطْلَاقُ
الروي.
Dan Alif pada kata "أُرسلا",
para ulama menamakannya sebagai Alif Ithlaq, yakni: Ithlaq Ar-Rawi.
Wallahu
a'lam bish-shawab. Wa baarakallahu fikum.
Akhukum
fillah:
Selasa,
02 - Ramadhan - 1437 H / 07 - 06 - 2016 M
Baca Juga :
--------------------------
0 komentar:
Posting Komentar