Translate

Senin, 28 Maret 2016

002. Muqaddimah Asy-Syaikh -rahimahullahu-.



PERTEMUAN : KEDUA
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


"MUQADDIMAH ASY-SYAIKH RAHIMAHULLAHU"



إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين وسلم تسليماً. أما بعد:

فَهَذِهِ مُقَدِّمَةٌ فِيْ عِلْمِ مُصْطَلَحِ الْحَدِيْثِ:

Ini adalah pendahuluan pada Ilmu Musthalah Al-Hadits:



*DEFINISI AL-MUSTHALAH*


الْمُصْطَلَحُ: عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ أَحْوَالُ الرَّاوِيِّ وَالْمَرْوِيِّ مِنْ حَيْثُ الْقَبُوْلِ وَالرَّدِ.

Al-Musthalah yaitu: sebuah ilmu yang diketahui dengannya keadaan "seorang perawi" dan "yang diriwayatkan" dari sisi diterima dan ditolaknya.

وَفَائِدَةُ عِلْمِ الْمُصْطَلَحِ: هُوَ تَنْقِيَّةُ الْأَدِلَّةِ الْحَدِيْثِيَّةِ وَتَخْلِيْصُهَا مِمَّا يَشُوْبُهَا مِنْ: ضَعِيْفٍ وَغَيْرِهِ، لِيَتَمَكَّنَ مِنَ الْاِسْتِدْلَالِ بِهَا لِأَنَّ المُسْتَدِلَّ بِالسُّنَّةِ يَحْتَاجُ إِلَى أَمْرَيْنِ هُمَا:

Dan faidah dari Ilmu Musthalah adalah: membersihkan dalil-dalil hadits dan memurnikannya dari apa-apa yang mencampurinya berupa hadits yang lemah dan selainnya, agar kokoh dalam berargumen dengan hadits-hadits tersebut. Karena sesungguhnya seorang yang berargumen dengan sunnah (yakni: hadits), ia membutuhkan kepada dua perkara, yaitu:

1_ ثُبُوْتُهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Pertama.
Validnya sunnah (hadits) yang ia jadikan argumen dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

2_ ثُبُوْتُ دِلَالَتِهَا عَلَى الْحُكْمِ.

Kedua.
Validnya pendalilan dengan sunnah (hadits) tersebut terhadap suatu hukum.

فَتَكُوْنُ الْعِنَايَةُ بِالسُّنَّةِ النَّبَوِيَّةِ أَمْراً مُهِمّاً، لِأَنَّهُ يَنْبَنِي عَلَيْهَا أَمْرٌ مُهِمٌّ وَهُوَ مَا كَلَّفَ اللهُ بِهِ الْعِبَادَ مِنْ عَقَائِدَ وَعِبَادَاتٍ وَأَخْلَاقٍ وَغَيْرِ ذَلِكَ.

Sehingga memberikan perhatian terhadap sunnah nabawiyyah adalah merupakan suatu perkara yang penting, karena terbangunnya sesuatu yang penting di atas hal tersebut, yaitu berupa perkara yang Allah bebankan terhadap hamba-hambaNya berupa akidah, ibadah, akhlaq dan lain sebagainya.

وَثُبُوْتُ السُّنَّةِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخْتَصُّ بِالْحَدِيْثِ، لِأَنَّ الْقُرْآنَ نُقِلَ إِلَيْنَا نَقْلاً مُتَوَاتِراً قَطْعِياً، لَفْظاً وَمَعْنىً، وَنَقَلَهُ الْأَصَاغِرُ عَنِ الْأَكَابِرِ، فَلَا يَحْتَاجُ إِلَى الْبَحْثِ عَنْ ثُبُوْتِهِ.


Dan tsabit (valid) nya sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hanya dikhususkan dengan hadits (yakni: berbeda dengan Al-Qur'an _pent). Karena Al-Qur'an telah dinukilkan kepada kita dengan penukilan yang mutawatir lagi qath'i (pasti), baik secara lafazh maupun makna, dan ia dinukil oleh Al-Ashaghir (orang-orang belakangan) dari Al-Akabir (orang-orang senior), sehingga tidak diperlukan penelitian akan kevalidannya.

*Perhatian!!! (pent)
Untuk mengetahui detil uraian akan perbedaan seorang yang berdalil dengan Al-Qur'an dan seorang yang berdalail dengan As-Sunnah, silahkan pembaca lihat kembali pelajaran kita pada kitab sebelumnya, yakni: (Kitab Musthalah Al-Hadits Pertemuan Pertama Bagian Pertama).* 

ثُمَّ اعْلَمْ أَنَّ عِلْمَ الْحَدِيْثِ يَنْقَسِمُ إِلَى قِسْمَيِنْ:

Kemudian ketahuilah! Bahwa ilmu hadits terbagi menjadi dua:

1_ عِلْمُ الْحَدِيْثِ رِوَايَةً.

Pertama.
Ilmu hadits secara periwayatan.

2_ عِلْمُ الْحَدِيْثِ دِرَايَةً.

Kedua.
Ilmu hadits secara dirayah (pengetahuan).

فَعِلْمُ الْحَدِيْثِ رِوَايَةً يَبْحَثُ عَمَّا يُنْقَلُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَقْوَالِهِ وَأَفْعَالِهِ وَأَحْوَالِهِ. وَيَبْحَثُ فِيْمَا يُنْقَلُ لَا فِيْ النَّقْلِ.

Adapun ilmu hadits secara periwayatan, ia adalah sebuah ilmu yang menguraikan seputar apa-apa yang dinukil dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berupa ucapan, perbuatan dan keadaan beliau shallallahu 'alaihi wasallam. Dan menguraikan apa-apa yang dinukil (yakni: seputar matan _pent) bukan pada penulikan (yakni: sanad _pent). 

مِثَالُهُ: إِذَا جَاءَنَا حَدِيْثٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّنَا نَبْحَثُ فِيْهِ هَلْ هُوَ قَوْلٌ أَوْ فِعْلٌ أَوْ حَالٌ؟ وَهَلْ يَدُلُّ عَلَى كَذَا أَوْ لَا يَدُلُّ؟ فَهَذَا هُوَ عِلْمُ الْحَدِيْثِ رِوَايَةً.

Contohnya adalah: apabila datang suatu hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian yang kita bahas apakah ia ucapan atau perbuatan atau keadaan? Apakah ia menunjukan begini atau tidak? Maka inilah yang dinamakan ilmu hadits secara periwayatan.

وَمَوْضُوْعُهُ الْبَحْثُ فِيْ ذَاتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا يَصْدُرُ عَنْ هَذِهِ الذَّاتِ مِنْ أَقْوَالٍ وَأَفْعَالٍ وَأَحْوَالٍ.

Dan letak uraiannya adalah membahas seputar dzat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan apa-apa yang muncul dari dzat ini berupa ucapan, perbuatan dan keadaan.

وَمِنَ الْأَفْعَالِ: الإِقْرَارُ، فَإِنَّهُ يُعْتَبَرُ فِعْلاً.

Dan termasuk bentuk perbuatan adalah Al-Iqrar (pengakuan), sesungguhnya Al-Iqrar teranggap sebagai perbuatan.

 وَأَمَّا الْأَحْوَالُ فَهِيَ صِفَاتُهُ كَالطَّوْلِ وَالقِصَرِ وَاللَّوْنِ، وَالْغَضَبِ وَالْفَرْحِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ.

Adapun keadaan, maka ia adalah sifat beliau shallallahu 'alaihi wasallam, seperti: tinggi, pendek, warna, marah, bahagia dan yang semisal itu.

*Perhatian!!! (pent)
Untuk mengetahui detil masing-masing contoh dari ucapan, perbuatan, keadaan atau sifat atau taqrir Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, silahkan pembaca lihat kembali pelajaran kita pada kitab sebelumnya, yakni: (Kitab Musthalah Al-Hadits Pertemuan Kedua Bagian Pertama).* 

أَمَّا عِلْمُ الْحَدِيْثِ دِرَايَةً فَهُوَ: عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ أَحْوَالِ الرَّاوِيِّ وَالْمَرْوِيِّ مِنْ حَيْثُ الْقَبُوْلِ وَالرَّدِّ.

Adapun ilmu hadits secara dirayah (pengetahuan), ia adalah sebuah ilmu yang diuraikan didalamnya tentang "keadaan perawi" dan "yang diriwayatkan" dari sisi diterima dan ditolaknya.

مِثَالُهُ: إِذَا وَجَدْنَا رَاوِياً فَإِنَّا نَبْحَثُ هَلْ هَذَا الرَّاوِيُّ مَقْبُوْلٌ أَمْ مَرْدُوْدٌ؟

Contohnya adalah: apabila kita mendapatkan seorang perawi, kemudian kita menela'ah apakah ini adalah seorang perawi yang maqbul (diterima riwayatnya) ataukah mardud (ditolak)?

أَمَّا الْمَرْوِيُّ فَإِنَّهُ يُبْحَثُ فِيْهِ مَا هُوَ الْمَقْبُوْلُ مِنْهُ وَمَا هُوَ الْمَرْدُوْدُ؟

Adapun berkaitan dengan "yang diriwayatkan", maka yang ditela'ah padanya adalah mana yang diterima dari periwayatan tersebut dan mana yang ditolak?

وَبِهَذَا نَعْرِفُ أَنَّ قَبُوْلَ الرَّاوِيِّ لَا يَسْتَلْزِمُ قَبُوْلَ الْمَرْوِيِّ.

Dengan penjelasan tersebut (yakni: harus tetap diteliti secara dirayah baik perawi maupun yang diriwayatkan _pent) maka dapat kita ketahui,  bahwa maqbulnya seorang perawi tidak mengharuskan maqbulnya yang diriwayatkan.

لِأَنَّ السَّنَدَ قَدْ يَكُوْنُ رِجَالُهُ ثِقَاةً عُدُوْلاً، لَكِنْ قَدْ يَكُوْنُ الْمَتْنُ شَاذًّا أَوْ مُعَلَّلاً فَحِيْنَئِذٍ لَا نَقْبَلُهُ.

Karena terkadang pada suatu sanad para rijal (perawi) nya terpercaya dan adil, akan tetapi terkadang matan (lafazh) haditsnya syadz atau cacat, maka ketika itu, kita tidak menerima hadits tersebut.

كَمَا أَنَّهُ أَحْيَاناً لَا يَكُوْنُ رِجَالُ السَّنَدِ يَصِلُوْنَ إِلَى حَدِّ الْقَبُوْلِ وَالثِّقَةِ، وَلَكِنَّ الْحَدِيْثَ نَفْسَهُ يَكُوْنُ مَقْبُوْلاً، وَذَلِكَ لِأَنَّ لَهُ شَوَاهِدُ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، أَوْ قَوَاعَدِ الشَّرِيْعَةِ تُؤَيِّدُهُ.

Sebagaimana juga terkadang para rijalnya tidak mencapai batasan maqbul dan tsiqah, akan tetapi matan hadits itu sendiri maqbul (diterima), yang demikian dikarenakan matan hadits tersebut memiliki penguat (syawahid) baik dari kitab maupun dari sunnah atau dari kaidah-kaidah syar'iyyah yang menguatkannya.

إِذَنْ فَائِدَةُ عِلْمِ مُصْطَلَحِ الْحَدِيْثِ هُوَ: مَعْرِفَةُ ماَ يُقْبَلُ وَمَا يُرَدُّ مِنَ الْحَدِيْثِ.

Jadi, faidah ilmu musthalah hadits adalah: mengetahui mana yang diterima dan mana yang ditolak dari suatu hadits (baik perawi maupun matannya _pent).

وَهَذَا مُهِمٌّ بِحَدِّ ذَاتِهِ؛ لِأَنَّ الْأَحْكَامَ الشَّرْعِيَّةَ مَبْنِيَّةٌ عَلَى ثُبُوْتِ الدَّلِيْلِ وَعَدَمِهِ، وَصِحَّتِهِ وَضَعْفِهِ.

Dan ini merupakan perkara penting pada batasan dzat musthalah itu sendiri; karena hukum-hukum syar'i terbangun di atas kevalidan dan tidaknya serta shahih dan lemahnya suatu argumen.

Wallahu a'lam bish-shawab wabaarakallahu fikum.

Unduh Format PDF artikel ini : "002. Muqaddimah Asy-Syaikh -rahimahullahu-".

Akhukum fillah:
Ahad, 18 - Jumada Tsaniyah - 1437 H / 27 - 03 - 2016 M


                                                                                 

Baca Juga :
--------------------------

0 komentar:

Posting Komentar

Mubaarok Al-Atsary. Diberdayakan oleh Blogger.