PERTEMUAN : KETIGA
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"PENJABARAN BASMALAH Bag
(1)"
Berkata
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahullahu-:
"بسم
الله الرحمن الرحيم"
"Bismillahirrahmanirrahim"
البَسْمَلَةُ آيَةٌ مِنْ كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَهِيَ مِنْ كَلَامِ
اللهِ تَعَالَى، يُبْتَدَأُ بِهَا فِيْ كُلِّ سُوْرَةٍ مِنْ سُوَرِ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ؛
إِلَّا سُوْرَةَ "بَرَاءَةٍ" فَإِنَّهَا لَا تُبْدَأُ بِالْبَسْمَلَةِ،
اتِّبَاعاً لِلصَّحَابَةِ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ، وَلَوْ أَنَّ الْبَسْمَلَةَ
كَانَتْ قَدْ نُزِلَتْ فِيْ أَوَّلِ هَذِهِ السُّوْرَةِ لَكَانَتْ مَحْفُوْظَةً كَمَا
حُفِظَتْ فِيْ بَاقِي السُّوَرِ، وَلَكِنَّهَا لَمْ تُنْزَلْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَكِنَّ الصَّحَابَةَ أَشْكَلَ عَلَيْهِمْ، هَلْ سُوْرَةُ
"بَرَاءَةٍ" مِنَ الْآنْفَالِ أَمْ أَنَّهَا سُوْرَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ؟ فَوَضَعُوْا
فَاصِلاً بَيْنَهُمَا دُوْنَ الْبَسْمَلَةِ.
Basmalah
adalah ayat dari kitab Allah 'Azza wa Jalla, dan ia termasuk kalam Allah
Ta'ala, dimulai dengannya setiap surat dari surat-surat Al-Qur'an Al-Karim; terkecuali
surat "Al-Bara'ah" sesungguhnya ia tidak diawali dengan basmalah,
sebagai bentuk ittiba' (mengkuti) terhadap para shahabat ridhwanullah 'alaihim.
Dan andaikata basmalah telah diturunkan pada awal surat ini, niscaya ia akan
terjaga sebagaimana terjaga pada surat-surat yang lain. Akan tetapi ia tidak
diturunkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, sehingga terjadi isykal
(problem) bagi para shahabat, apakah surat "Al-Bara'ah" termasuk
surat "Al-Anfal" atau ia adalah surat tersendiri? Sehingga kemudian
para shahabat meletakkan pemisah di antara keduanya tanpa basamalah.
وَالْبَسْمَلَةُ فِيْهَا جَارٌ وَمَجْرُوْرٌ، وَمُضَافٌ إِلَيْهِ، وَصِفَةٌ.
Dan
basmalah, didalamnya terdapat: (Jar dan Majrur), (Mudhaf Ilaih) dan (Shifat).
فَالْجَارُ وَالْمَجْرُوْرُ هُوَ "بِسْمِ".
Adapun
Jar dan Majrur, yaitu pada lafazh (بِسْمِ)
وَالْمُضَافُ إِلَيْهِ هُوَ لَفْظُ الْجَلَالَةِ "الله".
Dan
adapun Mudhaf Ilaih, yaitu pada lafazh Jalalah (الله)
وَالصِّفَةُ هِيَ "الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ".
Dan
adapun Shifat, yaitu pada lafazh (الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ)
وَكُلُّ جَارٍّ وَمَجْرُوْرٍ لَابُدَّ لَهُ مِنَ التَّعَلُّقِ إِمَّا
بِفِعْلٍ كَقَامَ، أَوْ مَعْنَاهُ كَاسْمِ الْفَاعِلِ، أَوِ اسْمِ الْمَفْعُوْلِ مَثَلاً.
Dan
setiap (Jar dan Majrur) ia harus memiliki keterkaitan, baik dengan (Fi'il)
seperti (قَامَ), atau yang semakna dengan
(Fi'il) seperti (Isim Fa'il) atau (Isim Maf'ul) -misalkan-.
فَالْبَسْمَلَةُ مُتَعَلِّقَةٌ بِمَحْذُوْفٍ، فَمَا هُوَ هَذَا الْمَحْذُوْفُ؟
Maka
basmalah memiliki keterkaitan dengan sesuatu yang dihapus, lalu apa gerangan
sesuatu yang dihapus tersebut?
اخْتَلَفَ النَّحْوِيُّوْنَ فِيْ تَقْدِيْرِ هَذَا الْمَحْذُوْفِ، لَكِنْ
أَحْسَنُ مَا قِيْلَ فِيْهِ وَهُوَ الصَّحِيْحُ: أَنَّ الْمَحْذُوْفَ فِعْلٌ مُتَأَخِّرٌ
مُنَاسِبٌ لِلْمَقَامِ.
Para
ahli nahwu berbeda pendapat pada hipotesis (perkiraan) yang dihapus tersebut,
akan tetapi sebaik-baik pendapat pada sesuatu yang dihapus tersebut -dan ini
pendapat yang shahih-, yang dihapus tersebut adalah (Fi'il) yang diakhirkan
yang bersesuaian dengan keadaan.
مِثَالُهُ: إِذَا قَالَ رَجُلٌ بِسْمِ اللهِ، وَهُوَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْرَأَ
النَّظْمَ فَإِنَّ التَّقْدِيْرَ يَكُوْنُ: بِسْمِ اللهِ أَقْرَأُ، وَإِذَا كَانَ
النَّاظِمُ هُوَ الَّذِيْ قَالَ: بِسْمِ اللهِ، فَإِنَّ التَّقْدِيْرَ يَكُوْنُ: بِسْمِ
اللهِ أُنَظِّمُ.
Contohnya: apabila seseorang membaca bismillah dan ia ingin membaca nazham,
maka hipotesis yang dihapus adalah بِسْمِ اللهِ أَقْرَأُ (bismillah saya ingin membaca). Dan apabila
yang membaca bismillah adalah yang memiliki nazham, maka hipotesis tersebut
adalah بِسْمِ اللهِ أُنَظِّمُ (bismillah saya ingin
menazhamkan).
وَلِمَاذَا قَدَّرْنَاهُ فِعْلاً وَلَمْ نُقَدِّرْهُ اسْمَ فَاعِلٍ مَثَلاً؟
Dan mengapa
yang kita hipotesiskan adalah (Fi'il) bukan (Isim Fa'il) -misalkan-?
نَقُوْلُ: قَدَّرْنَاهُ فِعْلاً،
لِأَنّ الْأَصْلَ فِيْ الْعَمَلِ الْأَفْعَالُ، وَلِهَذَا يَعْمَلُ الْفِعْلُ بِدُوْنِ
شَرْطٍ، وَمَا سِوَاهُ مِنَ الْعَوَامِلِ الْاِسْمِيَّةِ فَإِنَّهَا تَحْتَاجُ إِلَى
شَرْطٍ.
Maka
kita jawab: kita hipotesiskan sesuatu yang dihapus tersebut adalah (Fi'il).
Karena pada asalnya yang beramal adalah (Fi'il). Oleh karenanya (Fi'il) beramal
tanpa syarat. Adapun selain (Fi'il) yakni berupa 'Awamil Ismiyah ('Amil-'Amil
Isim), maka ia butuh kepada syarat (tatkala beramal _pent).
وَلِمَاذَا قَدَّرْنَاهُ
مُتَأَخِّراً؟
Lalu
mengapa kita perkirakan (Fi'il) yang dihapus tersebut diakhirkan?
نَقُوْلُ قَدَّرْنَاهُ مُتَأَخِّراً
لِوَجْهَيْنِ:
Kita jawab:
kita perkirakan bahwa Fi'il tersebut diakhirkan, karena dua alasan:
1_ التَّيَمُّنُ
بِالْبَدَاءَةِ بِاسْمِ اللهِ تَعَالَى؛ لِيَكُوْنَ اسْمُ اللهِ تَعَالَى هُوَ الْمُقَدَّمُ،
وَحَقٌّ لَهُ أَنْ يُقَدَّمَ.
Pertama.
Mendahulukan
dengan memulai menggunakan nama Allah Ta'ala; agar nama Allah ta'ala menjadi
sesuatu yang didahulukan, dan sudah merupakan hak bagi Allah untuk didahulukan.
2_ لِإِفَادَةِ
الْحَصْرِ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ تَأْخِيْرَ الْعَامِلِ يُفِيْدُ الْحَصْرَ، فَإِنَّ تَقْدِيْمَ
مَا حَقُّهُ التَّأْخِيْرُ يُفِيْدُ الْحَصْرَ.
Kedua.
Karena
mengakhirkan Fi'il memberikan faidah pembatasan; yang demikian itu, karena
mengakhirkan suatu Amil akan memberikan faidah Al-Hashr (pembatasan). Sesungguhnya
mendahulukan sesuatu yang seharusnya diakahirkan akan memberikan faidah
Al-Hashr.
فَإِذَا قُلْتَ: بِسْمِ اللهِ
أَقْرَأُ، تَعَيَّنَ أَنَّكَ تَقْرَأُ بِاسْمِ اللهِ لَا بِاسْمِ غَيْرِهِ.
Maka apabila
engkau mengatakan: بِسْمِ
اللهِ أَقْرَأُ
(bismillah saya akan membaca), jelaslah bahwa engkau akan membaca hanya
dengan nama Allah tidak dengan nama selain Allah.
وَنَحْنُ قَدَّرْنَاهُ مُنَاسِباً
لِلْمَقَامِ لِأَنَّهُ أَدَلُّ عَلَى الْمَقْصُوْدِ، وَلِأَنَّهُ لَا يَخْطُرُ فِيْ
ذِهْنِ الْمُبَسْمِلِ إِلَّا هَذَا التَّقْدِيْرُ.
Dan
kita menghipotesiskan Fi'il yang bersesuaian dengan keadaan, karena hal
tersebut lebih menunjukan terhadap yang diinginkan, karena tidak akan terbetik
dalam benak seorang yang mengucapkan basmalah melainkan hanya hipotesis ini.
مِثَالُهُ: لَوْ أَنَّكَ
سَأَلْتَ الرَّجُلَ الَّذِيْ قَالَ عِنْدَ الْوُضُوْءِ بِسْمِ اللهِ عَنِ التَّقْدِيْرِ
فِيْ قَوْلِهِ: بِسْمِ اللهِ، لَقَالَ: بِسْمِ اللهِ أَتَوَضَّأُ.
Misalnya: apabila engkau bertanya kepada seseorang yang mengucapkan
"bismillah" tatkala berwudhu, apa gerangan yang ia perkirakan pada ucapannya
"bismillah", niscaya ia akan menjawab: (yang aku maksud bismillah
adalah _ pent) بِسْمِ
اللهِ أَتَوَضَّأُ (bismillah aku akan berwudhu).
وَلَوْ قَالَ قَائِلٌ: أَنَا
أُرِيْدُ أَنْ أُقَدِّرَ الْمُتَعَلِّقَ بِسْمِ اللهِ أَبْتَدِئُ.
Dan
apabila seseorang berkata: saya ingin yang saya hipotesiskan pada keterkaitan
tersebut adalah بِسْمِ
اللهِ أَبْتَدِئُ (bismillah saya ingin memulai).
فَإِنَّنَا نَقُوْلُ: لَا
بَأْسَ بِذَلِكَ، لَكِنْ أَبْتَدِئُ: فِعْلٌ عَامٌّ يَشْمَلُ ابْتِدَاءَكَ بِالْأَكْلِ
وَالْوُضُوْءِ وَالنَّظْمِ، وَكَمَا قُلْنَا فَإِنَّ هَذَا التَّقْدِيْرَ لَا يَتَبَادَرُ
إِلَى ذِهْنِ المُبَسْمِلِ.
Maka
kita katakan: tidak mengapa dengan hal tersebut. Akan tetapi kata أَبْتَدِئُ (saya memulai) adalah Fi'il yang umum yang
mencakup segala permulaanmu tatkala hendak makan, wudhu dan membaca nazham. Dan
sebagaimana yang kita katakan: bahwa hipotesis tersebut tidak segera terbetik
oleh benak pengucap basmalah.
أَمَّا "اسْمٌ"
فَيَقُوْلُوْنَ: إِنَّهُ مُشْتَقٌّ مِنَ السُّمُوِّ، وَهُوَ الْعُلُوُّ.
Adapun
kata "اسْمٌ", para ulama mengatakan: kata
tersebut adalah pecahan dari kata "السُّمُوِّ" yakni: tinggi.
وَقِيْلَ: مِنَ السِّمَةِ
وَهِيَ الْعَلَامَةُ.
Dan
konon ada yang mengatakan: kata tersebut berasal dari kata السِّمَةِ yakni: alamat/tanda.
وَالِاسْمُ مَهْمَا كَانَ
اشْتِقَاقُهُ فَإِنَّهُ يُرَادُ بِهِ هُنَا كُلُّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللهِ الْحُسْنَى،
أَيْ أَنَّهُ لَا يُرَادُ بِهِ اسْمٌ وَاحِدٌ بِعَيْنِهِ مَعَ أَنَّهُ مُفْرَدٌ؛ لِأَنَّ
الْقَاعِدِةَ: أَنَّ الْمُفْرَدَ الْمُضَافَ يُفِيْدُ الْعُمُوْمَ.
Dan
isim, bagaimanapun bentuk pecahannya, sesungguhnya yang diinginkan dengannya
disini adalah setiap nama dari nama-nama Allah yang indah. Yakni: yang dimaukan
darinya bukan hanya satu nama semata dikarenakan ia mufrad (berbentuk tunggal).
Karena kaidah menyatakan: bahwa mufrad yang di-idhafahkan memberikan faidah
umum.
فَبِذَلِكَ يَلْزَمُ مِنْ
قَوْلِنَا: بِسْمِ اللهِ، أَنْ يَكُوْنَ الْمَعْنَى: بِكُلِّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ
اللهِ الْحُسْنَى.
Maka
dengan alasan tersebut, merupakan suatu keharusan dari ucapan kita "dengan
nama Allah", maknanya adalah: dengan setiap nama dari nama-nama Allah yang
indah.
وَلِهَذَا تَجِدُ الْقَائِلَ:
بِسْمِ اللهِ، لَا يَخْطُرُ بِبَالِهِ اسْمٌ مُعَيَّنٌ كَالرَّحْمَنِ وَالرَّحِيْمِ
وَالْغَفُوْرِ وَالْوَدُوْدِ وَالشَّكُوْرِ وَنَحْوِهَا، بَلْ هُوَ يُرِيْدُ الْعُمُوْمَ.
Oleh
karenanya, engkau akan mendapati orang yang mengucapkan bismillah, tidak
terbetik dalam hatinya suatu nama tertentu seperti: Ar-Rahman, Ar-Rahim,
Al-Ghafur, Al-Wadud dan Asy-Syakur dan yang semisalnya; bahkan yang ia inginkan
adalah umum.
وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ،
أَيْ عَلَى أَنَّ الْمُفْرَدَ الْمُضَافَ لِلْعُمُوْمِ قَوْلُهُ تَعَالَى:
Dan
yang menunjukan terhadap hal tersebut, yakni: sesungguhnya bentuk tunggal yang
disandarkan memberikan faidah umum, adalah firman Allah Jalla wa 'Ala
{وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَةَ اللَّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ الإنسان لَظَلُومٌ
كَفَّارٌ} [إبراهيم: 34].
"Dan
apabila kalian hendak menghitung ni'mat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya.
Sesungguhnya manusia benar-benar zhalim lagi kufur." (QS: Ibrahim: 34)
وَلَوْ كَانَ الْمُرَادُ
نِعْمَةً وَاحِدَةً لَمَا قَالَ: {لاَ تُحْصُوهَا}. إِذاً فَالْمَعْنَى أَبْتَدِئُ
بِكُلِّ اسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
Andaikata
yang diinginkan adalah satu ni'mat saja, tentu Allah tidak akan mengatakah
(niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya). Jadi, makna dari ucapan
bismillah adalah: aku memulai dengan semua nama dari nama-nama Allah 'Azza wa
Jalla.
Wallahu a'lam bish-shawab. Wa baarakallahu fikum.
Akhukum fillah:
Senin, 28 - Jumada Tsaniyah - 1437 H / 04 - 04 - 2016 M
Baca Juga :
--------------------------
0 komentar:
Posting Komentar