PERTEMUAN : KE-TUJUH
SYARH AL-MANZHUMAH AL-BAIQUNIYYAH
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"SHAHIH, SANAD MUTTASHIL
& SYADZ"
Berkata Imam
Al-Baiquniy rahimahullahu dalam Manzhumahnya:
أَوَّلُهَا الصَّحِيْحُ وَهْوَ
مَا اتَّصَلْ * إِسْنَادُهُ وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ يُعَلْ
Yang
pertama shahih, ia adalah yang bersambung * Sanadnya dan tidak syadz ataupun
cacat
Kemudian
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu mulai menjelaskan:
قَوْلُهُ: "أَوَّلُهَا الصَّحِيْحُ"، بَدَأَ الْمُؤَلِّفُ بِذِكْرِ
أَقْسَامِ الْحَدِيْثِ وَقَدَّمَ الصَّحِيْحَ لِأَنَّهُ أَشْرَفُ أَقْسَامِ الْحَدِيْثِ،
ثُمَّ عَرَّفَهُ فَقَالَ: "وَهْوَ مَا اتَّصَلْ إِسْنَادُهُ"
يَعْنِيْ: مَا رُوِيَ بِإِسْنَادٍ مُتَّصِلٍ بِحَيْثُ يَأْخُذُهُ كُلُّ رَاوِيٍّ عَمَّنْ
فَوْقَهُ.
Perkataan Imam
Al-Baiquniy rahimahullahu: "yang pertama adalah
shahih", beliau memulai dengan menyebutkan pembagian hadits dan
mendahulukan Ash-Shahih, karena ia adalah bagian hadits yang paling tinggi. Kemudian
beliau mendefinisikannya, maka beliau berkata: "ia
adalah hadits yang sanadnya bersambung", yakni: suatu hadits yang
diriwayatkan dengan sanad yang bersambung dimana masing-masing periwayat
mengambil hadits tersebut dari yang berada diatasnya.
فَيَقُوْلُ -مَثَلاً-: حَدَّثَنِيْ رَقْمُ
وَاحِدٍ -وَلِنَجْعَلَهَا بِالْأَرْقَامِ- قَالَ: حَدَّثَنِيْ رَقْمُ اثْنَيْنِ، قَالَ:
حَدَّثَنِيْ رَقْمُ ثَلَاثَةٍ، قَالَ: حَدَّثَنِيْ رَقْمُ أَرْبَعَةٍ. فَهَذَا النَّوْعُ
يَكُوْنُ مُتَّصِلاً، لِأَنَّهُ يَقُوْلُ حَدَّثَنِيْ، فَكُلُّ وَاحِدٍ أَخَذَ عَمَّنْ
رُوِىَ عَنْهُ.
Maka seorang perawi
berkata -misalkan-: telah menceritakan kepadaku nomor satu -kita menjadikan
perumpaan dengan nomor-, ia berkata: telah menceritakan kepadaku nomor dua, ia
berkata: telah menceritakan kepadaku nomor tiga, ia berkata: telah menceritakan
kepadaku nomor empat. Maka bentuk ini adalah muttashil (bersambung), karena ia
mengatakan dengan konteks "حَدَّثَنِيْ" (telah menceritakan kepadaku), kemudian
masing-masing mengambil dari yang ia meriwayatkan darinya (yakni: dari atasnya
_pent).
أَمَّا إِنْ قَالَ حَدَّثَنِيْ رَقْمُ
وَاحِدٍ عَنْ رَقْمِ ثَلَاثَةٍ لَمْ يَكُنْ مُتَّصِلاً، لِأَنَّهُ سَقَطَ مِنْهُ رَقْمُ
اثْنَيْنِ فَيَكُوْنُ مُنْقَطِعاً.
Adapun apabila
periwayat berkata telah menceritakan kepadaku nomor satu dari nomor tiga, maka
bentuk ini tidak muttashil, karena bentuk tersebut hilang darinya nomor dua,
maka bentuk tersebut adalah munqathi'
(terputus).
وَقَوْلُهُ: "وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ يُعَلْ"، يَعْنِيْ: يُشْتَرَطُ
أَنْ لَا يَكُوْنَ شَاذًّا وَلَا مُعَلَّلاً.
Perkataan Imam
Al-Baiquniy rahimahullahu: "tidak syadz ataupun
cacat", yakni: suatu hadits yang shahih dipersyaratkan tidak boleh
syadz dan juga tidak boleh cacat.
DEFINISI
SYADZ.
وَالشَّاذُّ هُوَ: الَّذِيْ يَرْوِيْهِ الثِّقَةُ مُخَالِفاً
لِمَنْ هُوَ أَرْجَحُ مِنْهُ، إِمَّا فِيْ الْعَدَدِ، أَوْ فِيْ الصِّدْقِ، أَوْ فِيْ
الْعَدَالَةِ.
Dan syadz
adalah: suatu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah
(terpercaya) dalam keadaan menyelisihi yang lebih rajih (kuat) darinya, baik
dari segi jumlah, ataupun dari segi kejujuran, ataupun dari segi agama.
*Faidah tambahan. (Pent)
Definisi
yang disebutkan oleh asy-syaikh rahimahullah adalah definisi yang masyhur,
khususnya di kalangan ulama ahlul hadits Hijaz. Dan diberitakan juga, hal
tersebut terdapat sebuah penukilan dari imam Asy-Syafi’i rahimahullah.
Sebagaimana disebutkan dalam Tadrib Ar-Rawi dan Muqaddimah Ibnu
Shalah.
Walaupun
definisi tersebut masyhur. Namun penggunaan lafazh “الذي يرويه
الثِّقَةُ” tepatnya lafazh Tsiqah,
ini seakan memberikan sangkaan bahwa hukum syadz hanya berlaku khusus bagi
kalangan tsiqah yang melakukan mukhalafah. Adapun selain tsiqah seperti Shaduq
atau yang semisalnya, apabila melakukan mukhalafah, maka tidak masuk dalam
kategori Syadz. Padahal, baik pada perawi yang tsiqah maupun shaduq atau yang
semisalnya, apabila mereka melakukan mukhalafah, maka kesemuanya masuk dalam
kategori Syadz.
Di sisi
yang lain, Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan sebuah definisi yang lebih
mencakup dan lebih berlaku umum baik pada perawi yang tsiqah maupun shaduq atau
yang semisalnya. Apabila mereka melakukan mukhalafah, maka kesemuanya masuk
dalam kategori Syadz. Berkata Ibnu Hajar rahimahullah -tentang
Syadz- :
مَا رَوَاهُ المَقْبُوْلُ مُخَالِفًا لِمَنْ
هُوَ أَوْلَى مِنْهُ.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang Maqbul dalam
keadaan menyelisihi terhadap perawi yang lebih utama darinya. (Nuzhah
An-Nazhr. Hal : 91. Cet : Dar Ibnul Jauzi)
KESIMPULAN:
Lafazh “المَقبُولُ” mencakup tsiqah, shaduq, dan yang
semisalnya. Wallahu a’lam.*
Kemudian
berkata Asy-Syaikh rahimahullah:
فَإِذَا جَاءَ الْحَدِيْثُ بِسَنَدٍ مُتَّصِلٍ
لَكِنَّهُ شَاذٌّ، بِحَيْثُ يَكُوْنُ مُخَالِفاً لِرِوَايَةٍ أُخْرَى، هِيَ أَرْجَحُ
مِنْهُ، إِمَّا فِيْ الْعَدَدِ، وَإِمَّا فِيْ الصِّدْقِ، وَإِمَّا فِيْ الْعَدَالَةِ؛
فَإِنَّهُ لَا يُقْبَلُ وَلَوْ كَانَ الَّذِيْ رَوَاهُ عَدْلاً، وَلَوْ كَانَ السَّنَدُ
مُتَّصِلاً، وَذَلِكَ مِنْ أَجْلِ شُذُوْذِهِ.
Maka apabila
datang suatu hadits dengan sanad yang Muttashil akan tetapi ia syadz (ganjil), dimana
ia menyelisihi riwayat yang lain yang lebih rajih (kuat) darinya, baik dari
sisi 'Adad (jumlah) atau dari sisi Ash-Shidq (kejujuran) atau dari sisi Al-'Adl
(keistiqamahan agama); maka hadits tersebut tidak diterima walaupun perawinya
seorang yang istiqamah agamanya ('Adl) dan sanadnya Muttashil, yang demikian
itu dikarenakan Syadz (ganjil) nya hadits tersebut.
وَالشُّذُوْذُ: قَدْ يَكُوْنُ فِيْ حَدِيْثٍ
وَاحِدٍ، وَقَدْ يَكُوْنُ فِيْ حَدِيْثَيْنِ مُنْفَصِلَيْنِ، يَعْنِي: أَنَّهُ لَا
يُشْتَرَطُ فِيْ الشُّذُوْذِ أَنْ يَكُوْنَ الرُّوَاةُ قَدِ اخْتَلَفُوْا فِيْ حَدِيْثٍ
وَاحِدٍ، بَلْ قَدْ يَكُوْنُ الشَّاذُّ أَتَى فِيْ حَدِيْثٍ آخَرَ.
Asy-Syadz terkadang
terjadi pada satu hadits dan terkadang terjadi pada dua hadits yang terpisah. Yakni:
tidak dipersyaratkan pada Asy-Syadz, para perawi berselisih pada satu hadits,
bahkan terkadang Syadz juga datang pada hadits yang lain.
CONTOH
PERTAMA UNTUK HADITS SYADZ.
مِثَالُهُ: مَا وَرَدَ فِيْ السُّنَنِ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الصِّيَامِ إِذَا انْتَصَفَ
شَعْبَانُ، وَالْحَدِيْثُ لَا بَأْسَ بِهِ مِنْ حَيْثُ السَّنَدِ.
Contohnya:
suatu hadits yang datang pada kitab sunan, bahwa nabi shallallahu 'alaihi
wasallam melarang dari berpuasa apabila telah mencapai pertengahan Sya'ban.
Hadits ini dari segi sanad La Ba'sa Bih (tidak mengapa).
أَخْرَجَهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ
(2/325)، وَأَبُوْ دَاوُدَ فِيْ كِتَابِ الصَّوْمِ بَابِ: كَرَاهِيَةُ صَوْمِ النِّصْفِ
مِنْ شَعْبَانَ (1990)، وَالتِّرْمِذْي فِيْ كِتَابِ الصَّوْمِ (669)، وَابْنُ مَاجَة
فِيْ كِتَابِ الصِّيَامِ بَابِ مَاجَاءَ فِيْ النَّهْيِ أَنْ يَتَقَّدَمَ رمضان
بصوم (1641).
Hadits tersebut
dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/320), dan Abu Dawud pada Kitab Puasa bab
Makruhnya Puasa Pertengahan Sya'ban (1990), dan At-Tirmidzi pada Kitab Puasa
(669), dan Ibnu Majah pada Kitab Puasa bab Apa Yang Datang Berupa Larangan
Untuk Mendahului Ramadhan Dengan Berpuasa (1641).
لَكِنْ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ الصَّحِيْحَيْنِ أَنَّهُ قَالَ: "لَا تَقَدَّمُوْا
رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْماً
فَلْيَصُمْهُ".
Akan tetapi
telah tsabit dari nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam Shahihain, bahwa
beliau bersabda: "janganlah mendahului ramadhan dengan berpuasa sehari
atau dua hari terkecuali seseorang yang terbiasa berpuasa, maka
berpuasalah". (Al-Bukhari: 1914 & Muslim: 1812)
فَإِذَا أَخَذْنَا بِالْحَدِيْثِ الثَّانِيْ
الوَارِدِ فِيْ الصَّحِيْحَيْنِ، قُلْنَا: إِنَّ فِيْهِ دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ الصِّيَامَ
بَعْدَ مُنْتَصِفِ شَعْبَانَ جَائِزٌ، وَلَيْسَ فِيْهِ شَيْءٌ، لِأَنَّ النَّهْيَ حُدِدَ
بِمَا قَبْلَ رَمَضَانَ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيِنْ. وَإِذَا أَخَذْنَا بِالأَوَّلِ،
فَنَقُوْلُ: إِنَّ النَّهْيَ يَبْدَأُ مِنْ مُنْتَصِفِ شَعْبَانَ.
Apabila kita
mengambil hadits kedua yang datang dalam Shahihain, maka kita katakan:
sesungguhnya pada hadits tersebut terdapat pendalilan bahwa puasa setelah
pertengahan Sya'bah adalah boleh, hal tersebut tidak mengapa, karena larangan
tersebut hanya dibatasi dengan sehari atau dua hari sebelum ramadhan. Adapun
apabila kita mengambil hadits yang pertama, maka kita katakan: sesungguhnya
larangan tersebut bermula dari pertengahan Sya'ban.
فَأَخَذَ الإِمَامُ أَحْمَدُ بِالْحَدِيْثِ
الْوَارِدِ فِيْ الصَّحِيْحَيْنِ وَهُوَ النَّهْيُ عَنْ تَقَدُّمِ رَمَضَانَ بِصَوْمِ
يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ، وَقَالَ: إِنَّ هَذَا شَاذٌّ، يَعْنِيْ بِهِ: حَدِيْثَ السُّنَنِ،
لِأَنَّهُ مُخَالِفٌ لِمَنْ هُوَ أَرْجَحُ مِنْهُ، إِذْ أَنَّ هَذَا فِيْ الصَّحِيْحَيْنِ
وَذَاكَ فِيْ السُّنَنِ.
Imam Ahmad
rahimahullahu mengambil pendapat dengan hadits yang datang dalam Shahihain,
yaitu: larangan mendahului ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari. Dan
beliau berkata: sesungguhnya hadits ini (pertama_pent) adalah Syadz,
yang beliau maksud dengan ucapan tersebut adalah hadits yang berada dalam kitab
sunan, karena hadits tersebut menyelisihi terhadap yang lebih rajih darinya. Karena
yang ini berada dalam Shahihain dan yang itu berada dalam Kitab Sunan.
CONTOH
KEDUA UNTUK HADITS SYADZ. (dibangun di atas
satu pendapat)
وَمِنْ ذَلِكَ مَا وَرَدَ فِيْ سُنَنِ
أَبِيْ دَاوُدَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صَوْمِ
يَوْمِ السَّبْتِ، قَالَ: "لَا تَصُوْمُوْا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيْمَا افْتُرِضَ
عَلَيْكُمْ".
Dan di antara
contohnya juga adalah suatu hadits yang datang dalam kitab Sunan Abu Dawud
bahwa nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang dari berpuasa pada hari sabtu,
beliau bersabda: "janganlah kalian berpuasa pada hari sabtu terkecuali
pada puasa yang diwajibkan atas kalian".
أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدَ
فِيْ كِتَابِ الصِّيَامِ بَابِ: النَّهْيُ أَنْ يُخَصَّ يَوْمُ السَّبْتِ بِصَوْمٍ
(2412)، وَالتِّرْمِذِيُّ فِيْ أَبْوَابِ الصَّوْمِ بَابِ: مَا جَاءَ فِيْ صَوْمِ يَوْمَ
السَّبْتِ (744).
Hadits tersebut
dikeluarkan oleh Abu Dawud pada Kitab Puasa bab Larangan Mengkhususkan Hari
Sabtu Untuk Berpuasa (2412). Dan At-Tirmidzi pada Bab-Bab Puasa, bab Apa Yang
Datang Mengenai Berpuasa Pada Hari Sabtu (744).
فَقَدَ حَكَمَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ عَلَى
هَذَا الْحَدِيْثِ بِالشُّذُوْذِ، لِأَنَّهُ مُخَالِفٌ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِحْدَى نِسَائِهِ حِيْنَ وَجَدَهَا صَائِمَةً يَوْمَ الْجُمْعَةِ،
فَقَالَ: "هَلْ صُمْتِ أَمْسِ"؟ فَقَالَتْ: لَا، قَالَ: "أَتَصُوْمِيْنَ
غَداً"؟ قَالَتْ: لَا، قَالَ: "فَأَفْطِرِيْ". وَهَذَا الْحَدِيْثُ
ثَابِتٌ فِيْ الصَّحِيْحِ، وَفِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ صِيَامَ يَوْمِ السَّبْتِ
جَائِزٌ لَيْسَ فِيْهِ بَأْسٌ.
Sebagian para
ulama menghukumi terhadap hadits ini dengan Syadz (ganjil). Dikarenakan hadits
tersebut menyelisihi sabda nabi shallallahu 'alaihi wasallam terhadap sebagian
istri beliau tatkala ia mendapatinya dalam keadaan berpuasa pada hari jum'at.
Maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadanya: "apakah
kemarin engkau berpuasa?" maka ia menjawab: tidak. Kemudian nabi kembali
bertanya: "apakah besok engkau akan berpuasa?" iapun menjawab: tidak.
Maka nabi memerintahkan: "berbukalah". Hadits ini tsabit dalam
Ash-Shahih (yakni: Shahih Al-Bukhari _pent). Dan didalamnya terdapat argumen
bahwa berpuasa pada hari sabtu adalah boleh, hal tersebut tidak mengapa.
وَهُنَا قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: إِنَّ
حَدِيْثَ النَّهْيِ عَنْ صِيَامِ يَوْمِ السَّبْتِ شَاذٌّ؛ لِأَنَّهُ مخُاَلِفٌ لِمَا
هُوَ أَرْجَحُ مِنْهُ، وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ قَالَ: لَا مُخَالَفَةَ هُنَا، وَذَلِكَ
لِإِمْكَانِ الْجَمْعِ، وَإِذَا أَمْكَنَ الْجَمْعُ فَلَا مُخَالَفَةَ.
Disini sebagian
ulama ada yang berpendapat: sesungguhnya hadits larangan berpuasa pada hari
sabtu adalah syadz; karena ia menyelisihi suatu hadits yang lebih kuat darinya.
Dan sebagian ulama yang lain ada yang berpendapat: tidak ada mukhalafah
(penyelisihan) disini, karena hal tersebut mungkin untuk dikompromikan, apabila
mungkin untuk dikompromikan maka tidak ada mukhalafah.
وَالْجَمْعُ بَيْنَ الْحَدِيْثَيْنِ أَنْ
يُقَالَ: إِنَّ النَّهْيَ كَانَ عَنْ إِفْرَادِهِ، أَيْ: أَنَّهُ نُهِيَ عَنْ صَوْمِ
يَوْمِ السَّبْتِ مُسْتَقِلّاً بِمُفْرَدِهِ، أَمَّا إِذَا صَامَهُ مَعَ يَوْمِ الْجُمْعَةِ
أَوْ مَعَ يَوْمِ الْأَحَدِ، فَلَا بَأْسَ بِهِ حِيْنَئِذٍ. وَمِنَ الْمَعْلُوْمِ:
أَنَّهُ إِذَا أَمْكَنَ الْجَمْعُ فَلَا مُخَالَفَةَ وَلَا شُذُوْذَ.
Dan
mengompromikan antara dua hadits tersebut adalah dengan dikatakan: sesungguhnya
larangan tersebut hanyalah apabila ia bersendirian, yakni: sesungguhnya
seseorang dilarang dari berpuasa pada hari sabtu apabila ia hanya berpuasa pada
hari itu saja. Adapun apabila ia berpuasa dengan hari jum'at atau dengan hari
ahad, maka tatkala itu tidak mengapa hal tersebut. Dan merupakan perkara yang
kita ketahui bersama: bahwasannya apabila memungkinkan untuk dikompromikan,
maka tidak ada mukhalafah dan tidak ada Syadz.
وَمِنَ الشُّذُوْذِ: أَنْ يُخَالِفَ مَا
عُلِمَ بِالضَّرُوْرَةِ مِنَ الدِّيْنِ.
Dan di antara
bentuk Syadz adalah menyelisihi sesuatu yang diketahui dalam agama secara
dharurat.
مِثَالُهُ: فِيْ صَحِيْحِ الْبُخَارِيِّ
رِوَايَةٌ "أَنَّهُ يَبْقَى فِيْ النَّارِ فَضْلٌ عَمَّنْ دَخَلَهَا مِنْ أَهْلِ
الدُّنْيَا، فَيُنْشِىءُ اللهُ لَهَا أَقْوَاماً فَيُدْخُلُهُمُ النَّارَ".
Contohnya
adalah: di dalam Shahih Al-Bukhari terdapat sebuah riwayat: "bahwasannya
masih tersisa tempat di dalam neraka untuk yang memasukinya dari kalangan para
penduduk dunia, maka Allah menciptakan suatu kaum kemudian Allah memasukkan
mereka ke dalam neraka".
فَهَذَا الْحَدِيْثُ وَإِنْ كَانَ مُتَّصِلُ
السَّنَدِ فَهُوَ شَاذٌّ؛ لِأَنَّهُ مُخَالِفٌ لِمَا عُلِمَ بِالضَّرُوْرَةِ مِنَ الدِّيْنِ،
وَهُوَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى لَا يَظْلِمُ أَحَداً، وَهَذِهِ الرِّوَايَةُ - فِيْ الْحَقِيْقَةِ
- قَدِ انْقَلَبَتْ عَلَى الرَّاوِيِّ، وَالصَّوَابُ أَنَّهُ يَبْقَي فِيْ الْجَنَّةِ
فَضْلٌ عَمَّنْ دَخَلَهَا مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا، فَيُنْشِىءُ اللهُ أَقْوَاماً فَيُدْخِلُهُمُ
الْجَنَّةَ، وَهَذَا فَضْلٌ لَيْسَ فِيْهِ ظُلْمٌ، أَمَّا الْأَوَّلُ فَفِيْهِ ظُلْمٌ.
Hadits tersebut
walaupun sanadnya muttashil (bersambung), akan tetapi ia syadz; karena
menyelisihi sesuatu yang diketahui secara dharurat dalam agama, yaitu:
sesungguhnya Allah Ta'ala tidak menganiaya seorangpun. Dan riwayat ini -pada
hakikatnya- terbalik oleh perawi, dan yang benar: bahwasannya masih terdapat
tambahan tempat di dalam jannah untuk yang memasukinya dari kalangan para
penduduk dunia, maka Allah menciptakan suatu kaum kemudian Allah memasukkan
mereka ke dalam jannah. Dan ini adalah tambahan yang tidak ada penganiayaan
didalamnya. Adapun yang pertama, maka didalamnya terdapat kezhaliman.
عَلَى كُلِّ حَالٍ فَلَابُدَّ لِصِحَّةِ
الْحَدِيْثِ أَلَّا يَكُوْنَ شَاذًّا.
Kesimpulannya,
merupakan suatu keharusan pada shahihnya suatu hadits, ia tidak boleh syadz.
وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً ثِقَةً عَدْلاً
رَوَى حَدِيْثاً عَلَى وَجْهٍ، ثُمَّ رَوَاهُ رَجُلَانِ مِثْلُهُ فِيْ الْعَدَالَةِ
عَلَى وَجْهٍ مُخَالِفٍ لَلْأَوَّلِ، فَمَاذَا نَقُوْلُ لِلْأَوَّلِ؟
Apabila seorang
yang tsiqah lagi adil meriwayatkan hadits dengan suatu konteks, kemudian dua
orang yang semisalnya dari sisi adilnya juga meriwayatkan dengan konteks
menyelisihi yang pertama. Maka apa yang kita katakan terhadap riwayat pertama?
نَقُوْلُ: الْحَدِيْثُ الْأَوَّلُ شَاذٌّ،
فَلَا يَكُوْنُ صَحِيْحاً وَإِنْ رَوَاهُ الْعَدْلُ الثِّقَةُ.
Kita katakan:
hadits pertama adalah Syadz, ia bukan hadits shahih walaupun diriwayatkan oleh
seorang yang adil lagi tsiqah.
وَلَوْ رَوَى إِنْسَانٌ حَدِيْثاً عَلَى
وَجْهٍ، وَرَوَاهُ إِنْسَانٌ آخَرُ عَلَى وَجْهٍ يُخَالِفُ الْأَوَّلَ، وَهَذَا الثَّانِي
أَقْوَى فِيْ الْعَدَالَةِ أَوْ فِيْ الضَّبْطِ، فَيَكُوْنُ الْأَوَّلُ شَاذًّا.
Apabila
seseorang meriwayatkan hadits dengan suatu konteks, dan seseorang yang lain
juga meriwayatkan dengan konteks menyelisihi yang pertama, sementara yang kedua
lebih kuat dari yang pertama dari segi adilnya atau dhabth-nya, maka yang
pertama adalah Syadz.
وَهَذِهِ قَاعِدَةٌ مُفِيْدَةٌ تُفِيْدُ
الْإِنْسَانَ فِيْمَا لَوْ عُرِضَ لَهُ حَدِيْثٌ، فَإِذَا نَظَرَ فِيْ سَنَدِهِ وَجَدَهُ
مَتَّصِلاً، وَوَجَدَ أَنَّ رِجَالَهُ ثِقَاتٌ، وَلَكِنْ إِذَا نَظَرَ إِلَى الْمَتْنِ
وَجَدَهُ مُخَالِفاً كَمَا سَبَقَ، فَحِيْنَئِذٍ نَقُوْلُ لَهُ: أَحْكُمُ بِأَنَّ هَذَا
لَيْسَ بِصَحِيْحٍ، وَلَيْسَ فِيْ ذِمَّتِكَ شَيْءٌ.
Ini adalah
kaidah penting yang memberikan faidah kepada seseorang tatkala dihadirkan
padanya suatu hadits, apabila ia melihat dari sisi sanadnya ia mendapatinya muttashil
dan para rijalnya tsiqah, akan tetapi apabila ia melihat dari sisi matannya ia
mendapatinya mukhalafah sebagaimana telah lalu. Maka tatlkala itu, kita katakan
pada hadits tersebut: aku menghukumi bahwa hadits ini tidak shahih, maka hadits
tersebut tidak mengikatmu sedikitpun.
فَإِذَا قَالَ: كَيْفَ أَحْكُمُ عَلَيْهِ
بِأَنَّهُ غَيْرُ صَحِيْحٍ! وَسَنَدُهُ مُتَّصِلٌ وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ عُدُوْلٌ؟ فَنَقُوْلُ
لَهُ: لِأَنَّ فِيْهِ عِلَّةُ تُوْجِبُ ضَعْفَهُ وَهِيَ الشُّذُوْذُ.
Apabila
seseorang bertanya: bagaimana aku menghukumi hadits tersebut tidak shahih!
Sementara sanadnya muttashil dan para rijalnya tisqah lagi adil? Maka kita katakan
padanya: karena dalam hadits tersebut terdapat cacat yang mengharuskan
lemahnya. Dan cacat tersebut adalah Syadz.
Wallahu a'lam bish-shawab. Wa baarakallahu fikum.
Akhukum fillah:
Sabtu, 13 - Ramadhan - 1437 H / 18 - 06 - 2016 M
شكرا
BalasHapus