Translate

Kamis, 23 Juli 2015

14). Asy-Syudzudz Dan 'Illah Qadihah.




PERTEMUAN : KE - EMPAT BELAS
BUKU : MUSTHALAH AL-HADITS
PENGARANG : IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
___________



بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


“ASY-SYUDZUDZ & ‘ILLAH QADIHAH”


Telah berlalu penjelasan dari asy-syaikh rahimahullah, ada lima syarat sehingga suatu hadits bisa dihukumi sebagai hadits yang shahih. Syarat pertama berkaitan dengan ‘adl-nya seorang perawi dan telah kita uraikan bersama. Syarat kedua berkaitan dengan dhabth-nya seorang perawi dan telah kita uraikan bersama. Syarat ketiga berkaitan dengan sanad muttashil dan telah kita uraikan bersama. Walhamdulillah.

Kemudian tersisa dua syarat terakhir, yakni yang akan kita uraikan bersama pada pertemuan kita kali ini insya Allah. Dua syarat tersebut adalah berkaitan dengan masalah “Asy-Syudzudz dan ‘Illah Qadihah”.

Secara garis besar yang akan kita uraikan adalah :

• 1). Masail seputar “Asy-Syudzudz” yang mencakup :

a). Definisi “Asy-Syudzudz”.
b). Contoh “Asy-Syudzudz”.
c). Hukum Hadits Yang Syadz.

• 2). Masail seputar “’Illah Qadihah” yang mencakup :

a). Definisi “’Illah Qadihah”.
b). Hukum Suatu Hadits Yang Terdapat “’Illah Qadihah” Padanya.
c). Contoh “’Illah Qadihah”.
d). Apabila ‘Illah Ghairu Qadihah.
e). Contoh & Keterangan ‘Illah Ghairu Qadihah.

*****

Perlu kembali penulis ingatkan, sebagaimana telah kita uraikan bersama pada pertemuan ke-lima dan pada pertemuan ke - dua belas. Tepatnya sebagaimana tercantum dalam definisi Shahih Li Dzatih. Bahwa yang dimaksud dengan masalah Asy-Syudzudz dan ‘Illah Qadihah pada pensyaratan hadits Shahih, adalah selamatnya Hadits Shahih dari kedua hal tersebut.

*****

• 1). Masail seputar “Asy-Syudzudz” yang mencakup :

a). Definisi “Asy-Syudzudz”.

Berkata asy-syaikh rahimahullah :

وَالشُّذُوذُ : أَن يُخَالِفَ الثِّقَةُ مَن هُوَ أَرجَحُ مِنهُ، إِمَّا : بِكَمَالِ العَدَالَةِ، أَو تَمَامِ الضَّبطِ، وَكَثرَةِ العَدَدِ، أَو مُلاَزَمَةِ المَروِيِّ عَنهُ، أَو نَحوِ ذَلِكَ

Dan “Asy-Syudzudz” yaitu :
Perawi yang tsiqah menyelisihi perawi yang yang lebih rajih (kuat) darinya. Baik dari sisi kesempurnaan ‘Adl-nya. Maupun kesempurnaan Dhabth-nya. Dan banyaknya jumlah (perawi yang ia selisihi _pent). Maupun dari sisi mulazamah (baca_duduk) nya terhadap guru yang ia mendengar darinya. Atau yang semisal itu.

Faidah tambahan. (Pent)

Definisi yang disebutkan oleh asy-syaikh rahimahullah adalah definisi yang masyhur, khususnya di kalangan ulama ahlul hadits Hijaz. Dan diberitakan juga, hal tersebut terdapat sebuah penukilan dari imam Asy-Syafi’i rahimahullah. Sebagaimana disebutkan dalam Tadrib Ar-Rawi dan Muqaddimah Ibnu Shalah.

Walaupun definisi tersebut masyhur. Namun penggunaan lafazh “أَن يُخَالِفَ الثِّقَةُ” tepatnya lafazh Tsiqah, ini seakan memberikan sangkaan bahwa hukum syadz hanya berlaku khusus bagi kalangan tsiqah yang melakukan mukhalafah. Adapun selain tsiqah seperti Shaduq atau yang semisalnya, apabila melakukan mukhalafah, maka tidak masuk dalam kategori Syadz. Padahal, baik pada perawi yang tsiqah maupun shaduq atau yang semisalnya, apabila mereka melakukan mukhalafah, maka kesemuanya masuk dalam kategori Syadz.

Di sisi yang lain, Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan sebuah definisi yang lebih mencakup dan lebih berlaku umum baik pada perawi yang tsiqah maupun shaduq atau yang semisalnya. Apabila mereka melakukan mukhalafah, maka kesemuanya masuk dalam kategori Syadz. Berkata Ibnu Hajar rahimahullah -tentang Syadz- :

مَا رَوَاهُ المَقبُوُلُ مُخَالِفًا لِمَن هُوَ أَولَى مِنهُ

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang Maqbul dalam keadaan menyelisihi terhadap perawi yang lebih utama darinya. (Nuzhah An-Nazhr. Hal : 91. Cet : Dar Ibnul Jauzi)

Lafazh “المَقبُولُ” mencakup tsiqah, shaduq, dan yang semisalnya. Wallahu a’lam.

b). Contoh “Asy-Syudzudz”.

مِثَالُهُ : حَدِيثُ عَبدِ اللهِ بنِ زَيدٍ فِي صِفَةِ وُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ : "أَنَّهُ مَسَحَ بِرَأسِهِ بِمَاءٍ غَيرِ فَضلِ يَدِهِ"، فَقَد رَوَاهُ مُسلِمٌ بِهَذَا اللَّفظِ مِن طَرِيقِ ابنِ وَهبٍ

Contohnya adalah :
Hadits Abdullah Ibnu Zaid radhiallahu ‘anhu tentang sifat wudhu nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

أَنَّهُ مَسَحَ بِرَأْسِهِ بِمَاءٍ غَيرِ فَضلِ يَدِهِ

Bahwasannya nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengusap kepala beliau dengan air selain sisa dari tangannya.

Hadits ini telah diriwayatkan oleh imam Muslim rahimahullah dengan lafazh tersebut melalui jalan Ibnu Wahb rahimahullah.

وَرَوَاهُ البَيهَقِيُّ مِن طَرِيقِهِ أَيضاً بِلَفظِ : أَنَّهُ أَخَذَ لِأُذُنَيهِ مَاءً خِلاَفَ المَاءِ الَّذِي أَخَذَهُ لِرَأسِهِ

Di sisi yang lain, imam Al-Baihaqi rahimahullah juga meriwayatkan melalui jalan yang sama (yakni melalui jalan Ibnu Wahb rahimahullah _pent). Namun menggunakan lafazh :

أَنَّهُ أَخَذَ لِأُذُنَيهِ مَاءً خِلاَفَ المَاءِ الَّذِي أَخَذَهُ لِرَأسِهِ

Bahwasannya nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengambil air untuk kedua telinga beliau selain air yang beliau ambil untuk kepala beliau shallallahu 'alaihi wasallam.

وَرِوَايَةُ البَيهَقِيِّ شَاذَّةٌ؛ لِأَنَّ رَاوِيهِ عَنِ ابنِ وَهبٍ ثِقَةٌ، لَكِنَّهُ مُخَالِفٌ لِمَن هُوَ أَكثَرُ مِنهُ. حَيثُ رَوَاهُ جَمَاعَةٌ عَنِ ابنِ وَهبٍ بِلَفظِ رِوَايَةِ مُسلِمٍ

Hadits riwayat imam Al-Baihaqi rahimahullah adalah riwayat yang Syadz. Karena periwayat yang meriwayatkan dari Ibnu Wahb rahimahullah (walaupun) tsiqah, akan tetapi perawi tersebut menyelisihi para perawi yang jumlahnya lebih banyak. Dimana sejumlah perawi telah meriwayatkan dari Ibnu Wahb rahimahullah dengan lafazh sebagaimana dalam riwayat imam Muslim rahimahullah.

c). Hukum Hadits Yang Syadz.

وَعَلَيهِ فَرِوَايَةُ البَيهَقِيِّ غَيرُ صَحِيحَةٍ، وَإِن كَانَ رُوَاتُهَا ثِقَات؛ لِعَدَمِ سَلاَمَتِهَا مِنَ الشُّذُوذِ

Dan berdasarkan uraian tersebut, maka riwayat imam Al-Baihaqi rahimahullah bukan riwayat yang shahih. Walaupaun para periwayatnya dari kalangan tsiqah. Karena riwayat tersebut tidak selamat dari syadz. 

Kesimpulan. (Pent)
Hadits yang Syadz masuk dalam kategori Dha’if. Bahkan masuk dalam kategori Syadid Adh-Dha'f. Tidak bisa menjadi syawahid atau penguat. Wallahu a'lam

*****

• 2). Masail seputar “’Illah Qadihah” yang mencakup :

a). Definisi “’Illah Qadihah”.

Berkata asy-syaikh rahimahullah :

وَالعِلَّةُ القَادِحَةُ : أَن يَتَبَيَّنَ بَعدَ البَحثِ فِي الحَدِيثِ سَبَبٌ يَقدَحُ فِي قَبُولِهِ

Dan " العِلَّةُ القَادِحَةُ" (penyakit yang mencacati) yaitu :
Sebuah sebab yang mencacati maqbulnya suatu hadits, yang terdeteksi setelah dilakukan penelitian pada hadits tersebut.

b). Hukum Suatu Hadits Yang Terdapat “’Illah Qadihah” Padanya.

بِأَن يَتَبَيَّنَ أَنَّهُ مُنقَطِعٌ، أَو مَوقُوفٌ، أَو أَنَّ الرَّاوِيَّ فَاسِقٌ، أَو سَيِّئُ الحِفظِ، أَو مُبتَدِعٌ وَالحَدِيثُ يُقَوِّيُّ بِدعَتَهُ، وَنَحوُ ذَلِكَ

Dengan terdeteksinya (sebuah sebab yang mencacati maqbulnya suatu hadits, setelah dilakukan penelitian _pent), bahwa ia adalah Munqathi’ (terputus), atau Mauquf (terhenti), atau perawinya fasiq, atau jelek hafalannya, atau seorang ahlul bid’ah yang haditsnya menguatkan bid’ahnya dan yang semisal itu.

فَلاَ يُحكَمُ لِلحَدِيثِ بِالصِّحَةِ حِينَئِذٍ؛ لِعَدَمِ سَلاَمَتِهِ مِنَ العِلَّةِ القَادِحَةِ

Tatkala itulah, hadits tersebut tidak dihukumi sebagai hadits yang shahih (akan tetapi masuk dalam kategori dha’if _pent). Karena hadits tersebut tidak selamat dari ‘Illah Qadihah.

Faidah dari apa yang disampaikan asy-syaikh rahimahullah :

1). Di antara bentuk atau jenis-jenis ‘Illah Qadihah adalah : a_ Munqathi’ (terputus), b_ Mauquf (terhenti), c_ Perawinya fasiq, d_ Perawinya jelek hafalannya, Dan e_ Perawinya seorang ahlul bid’ah yang haditsnya menguatkan bid’ahnya.

2). Suatu hadits yang terdapat padanya ‘Illah Qadihah masuk dalam kategori hadits yang dha’if. Wallahu a’lam.

c). Contoh “’Illah Qadihah”.

مِثَالُهُ : حَدِيثُ ابنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ تَقرَأِ الحَائِضُ وَلاَ الجُنُبُ شَيئاً مِنَ القُرآنِ

Contohnya adalah :
Hadits Abdullah Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لاَ تَقرَأِ الحَائِضُ وَلاَ الجُنُبُ شَيئاً مِنَ القُرآنِ

Seorang yang sedang haidh atau junub, janganlah membaca sedikitpun dari al-Qur’an.

فَقَد رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ : لاَ نَعرِفُهُ إِلاَّ مِن حَدِيثِ إِسمَاعِيلَ بنِ عَيَّاش عَن مُوسَى بنِ عُقبَةَ... إلخ

Hadits tersebut telah diriwayatkan oleh imam Tirmidzi rahimahullah, dan beliau berkata : kami tidak mengetahui hadits tersebut melainkan hanya dari hadits Ismail Ibnu ‘Ayyasy rahimahullah dari Musa Ibnu ‘Uqbah rahimahullah… dst.

فَظَاهِرُ الإِسنَادِ الصِّحَةُ، لَكِن أُعِلَّ بِأَنَّ رِوَايَةَ إِسمَاعِيلَ عَنِ الحِجَازِيِّيِنَ ضَعِيفَةٌ، وَهَذَا مِنهَا، وَعَلَيهِ فَهُوَ غَيرُ صَحِيحٍ لِعَدَمِ سَلاَمَتِهِ مِنَ العِلَّةِ القَادِحَةِ

Secara zhahir, sanad hadits tersebut adalah shahih. Akan tetapi (sejatinya) terdapat ‘Illah (baca_cacat) padanya. Bahwa riwayat Ismail Ibnu ‘Ayyasy rahimahullah dari penduduk Hijaz adalah dha’if. Dan hadits ini adalah diantaranya.

Dan berdasarkan uraian tersebut, maka sanad hadits ini adalah bukan sanad yang shahih (yakni masuk dalam kategori dha’if _pent). Karena sanad tersebut tidak selamat dari ‘Illah Qadihah. (Wallahu a’lam)

d). Apabila ‘Illah Ghairu Qadihah.

فَإِن كَانَتِ العِلَّةُ غَيرَ قَادِحَةٍ لَم تَمنَع مِن صِحَّةِ الحَدِيثِ أَو حَسَنِهِ

Apabila “العِلَّةُ غَيرُ قَادِحَةٍ” (penyakitnya tidak mencacati), maka hal ini tidak menghalangi dari shahihnya atau hasannya suatu hadits.

e). Contoh & Keterangan ‘Illah Ghairu Qadihah.

مِثَالُهُ : حَدِيثُ أَبِي أَيُّوب الأَنصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ : "مَن صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتبَعَهُ سِتًّا مِن شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهرِ". فَقَد رَوَاهُ مُسلِمٌ مِن طَرِيقِ سَعد بنِ سَعِيدٍ، وَأُعِلَّ الحَدِيثُ بِهِ، لِأَنَّ الإِمَامَ أَحمَدَ ضَعَّفَهُ

Contohnya adalah :
Hadits Abu Ayyub Al-Anshari Allahu yardhah, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَن صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتبَعَهُ سِتًّا مِن شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهرِ

Barang siapa yang berpuasa di bulan ramadhan, kemudian menambahkannya dengan enam hari di bulan syawwal, seakan-akan ia berpuasa satu tahun penuh.

Hadits ini diriwayatkan oleh imam Muslim melalui jalur Sa’d Ibnu Sa’id. Dan hadits ini dinilai cacat karena jalur tersebut. Dikarenakan imam Ahmad menilai Sa’d Ibnu Sa’id adalah seorang perawi yang dha’if. Rahimahumullahul jami’.

Kemudian kata asy-syaikh rahimahullah :

وَهَذِهِ العِلَّةُ غَيرُ قَادِحَةٍ؛ لِأَنَّ بَعضَ الأَئِمَّةِ وَثَّقَهُ، وَلِأَنَّ لَهُ مُتَابِعاً، وَإِيرَادُ مُسلِمٍ لَهُ فِي "صَحِيحِهِ" يَدُلُّ عَلَى صِحَّتِهِ عِندَهُ، وَأَنَّ العِلَّةَ غَيرُ قَادِحَةٍ

Akan tetapi ‘Illah ini adalah ‘Illah Ghairu Qadihah. (Yang pertama _pent) karena sebagian para imam menilai Sa’d Ibnu Sa’id rahimahullah adalah seorang perawi yang tsiqah. Dan (yang kedua _pent) hadits tersebut memiliki pendukung (dari jalur yang lain _pent). Dan (yang ketiga _pent) imam Muslim rahimahullah memasukkan hadits dengan jalur tersebut ke dalam shahih beliau adalah menunjukan shahihnya perkara tersebut di sisi beliau rahimahullah. Dan sesungguhnya ‘Illah tersebut tidak mencacati.

Wallahu a’lam bish-shawab. Wa baarakallahu fikum.



Akhukum fillah
Kamis - 23 - Juli - 2015 M



0 komentar:

Posting Komentar

Mubaarok Al-Atsary. Diberdayakan oleh Blogger.