Translate

Kamis, 09 Juli 2015

10). Faidah Hadits Ahad.




PERTEMUAN : KE - SEPULUH
BUKU : MUSTHALAH AL-HADITS
PENGARANG : IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
___________



بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ



"FAIDAH HADITS AHAD"


Berkata asy- syaikh rahimahullah :

د_ وَتُفِيدُ أَخبَارُ الآحَادِ سِوَى الضَّعِيفِ

Dan Khabar Ahad (yang terbagi menjadi lima, sebagaimana telah berlalu penjelasannya _pent) selain Dha’if memberikan faidah :

أَوَّلاً: الظَّنُّ وَهَوَ : رُجحَانُ صِحَّةِ نِسبَتِهَا إِلَى مَن نُقِلَت عَنهُ، وَيَختَلِفُ ذَلِكَ بِحَسَبِ مَرَاتِبِهَا السَّابِقَةِ، وَرُبَّمَا تُفِيدُ العِلمَ إِذَا احتَفَّت بِهَا القَرَائِنُ، وَشَهِدَت بِهَا الأُصُولُ

Pertama.
Memberikan faidah “Zhan”. Yaitu : rajihnya kevalidan penisbahan khabar - khabar tersebut kepada para penukilnya. Dan kevalidan tersebut berbeda - beda disesuaikan dengan tingkatan - tingkatannya sebagaimana telah lalu (penjelasnnya _pent). Dan terkadang memberikan faidah “Ilmu” apabila indikasi - indikasinya memperkuat hal tersebut dan dipersaksikan oleh ushulnya.

Tambahan Keterangan. (Pent)

Berbeda halnya dengan “Khabar Dha’if”. Kevalidan penisbahan “Khabar Dha’if” terhadap para penukilnya tidak bisa dirajihkan. Oleh karenanya, tidak bisa memberi faidah “Zhan” dan tidak pula faidah “Ilmu”.

Perkataan asy-syaikh rahimahullah :

“Kevalidan tersebut berbeda-beda disesuaikan dengan tingkatan-tingkatannya sebagaimana telah lalu (penjelasnnya _pent).”

Maksud dari kalimat tersebut yaitu :

Jenjang “Shahih Li Dzatih” lebih kuat dari jenjang “Shahih Li Ghairih”. Dan jenjang “Shahih Li Ghairih” lebih kuat dari jenjang “Hasan Li Dzatih” demikian seterusnya.

Kemudian berkata asy- syaikh rahimahullah :

ثَانِياً: العَمَلُ بِمَا دَلَّت عَلَيهِ، بِتَصدِيقِهِ إِن كَانَ خَبَراً، وَتَطبِيقِهِ إِن كَانَ طَلَباً

Kedua.
Mengamalkan apa yang ditunjukan oleh hadits - hadits tersebut. Dengan membenarkannya apabila ia bersifat pengkhabaran (seperti pengkhabaran tentang perkara ghaib _pent). Dan mempraktikkannya apabila ia bersifat perintah.

Kemudian berkata asy-syaikh rahimahullah :

أَمَّا الضَّعِيفُ فَلاَ يُفِيدُ الظَّنَّ وَلاَ العَمَلَ، وَلاَ يَجُوزُ اعتِبَارُهُ دَلِيلاً، وَلاَ ذِكرُهُ غَيرُ مَقرُونٍ بِبَيَانِ ضَعفِهِ

Adapun “Khabar Dha’if”, ia tidak bisa memberikan faidah “Zhan” (dan tidak pula bisa memberikan faidah “Ilmu” _pent). Dan juga tidak bisa beramal dengan Hadits Dha’if. Dan Hadits Dha’if tidak bisa dianggap sebagai argument. Dan tidak boleh membawakan Hadits Dha’if kecuali beriringan dengan keterangan bahwa ia adalah hadits yang Dha’if.

إِلاَّ فِي التَّرغِيبِ وَالتَّرهِيبِ؛ فَقَد سَهَّلَ فِي ذِكْرِهِ جَمَاعَةٌ بِثَلاَثَةِ شُرُوطٍ

Kecuali pada masalah Targhib (motivasi) dan Tarhib (intimidasi). Sejumlah para ulama ada yang memberikan kemudahan (baca_membolehkan) penyebutan Hadits Dha’if dengan tiga syarat.

1_ أَن لاَ يَكُونَ الضَّعفُ شَدِيداً

Pertama.
Hadits tersebut bukan dalam kategori dha’if yang berat.

2_ أَن يَكُونَ أَصلُ العَمَلِ الَّذِي ذُكِرَ فِيهِ التَّرغِيبُ وَالتَّرهِيبُ ثَابِتاً

Kedua.
Asal amal yang disebutkan padanya targhib dan tarhib adalah sesuatu yang autentik (bisa dipertanggung jawabkan alias disebutkan dalam nash yang valid _pent)

3_ أَن لَا يَعتَقِدَ أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَهُ

Ketiga.
Dan tidak boleh meyakini bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan hadits dha’if tersebut.

Kemudian berkata asy- syaikh rahimahullah :

وَعَلَى هَذَا فَيَكُونُ فَائِدَةُ ذِكرِهِ فِي التَّرغِيبِ: حَثَّ النَّفسِ عَلَى العَمَلِ المُرَغَّبِ فِيهِ، لِرَجَاءِ حُصُولِ ذَلِكَ الثَّوَابِ، ثُمَّ إِن حَصَلَ وَإِلَّا لَم يَضُرْهُ اجتِهَادُهُ فِي العِبَادَةِ، وَلَم يَفُتْهُ الثَّوَابُ الأَصلِي المُرَتَّبُ عَلَى القِيَامِ بِالمَأمُورِ

Dan berdasarkan keterangan tersebut; faidah penyebutan hadits dha’if dalam targhib (motivasi) adalah :

Mendorong jiwa untuk beramal pada sesuatu yang dimotivasi padanya, karena berharap mendapatkan pahala dari keutamaan amal tersebut. Itu jika mendapatkan, jika tidak, maka kesungguhannya dalam beribadah tidak akan mendatangkan kemadharatan baginya. Ia tetap mendapatkan pahala asli yang diperuntukkan atas amal yang diperintahkan.

وَفَائِدَةُ ذِكرِهِ فِي التَّرهِيبِ تَنفِيرُ النَّفسِ عَنِ العَمَلِ المُرَهَّبِ عَنهُ لِلخَوفِ مِن وُقُوعِ ذَلِكَ العِقَابِ، وَلَا يَضُرُّهُ إِذَا اجتَنَبَهُ وَلَم يَقَعِ العِقَابُ المَذكُورُ

Faidah penyebutan hadits dha’if dalam tarhib (intimidasi) adalah :

Menjauhkan jiwa dari perbuatan yang dikecam tersebut karena takut dari terjatuh pada hukuman tersebut. Dan tidak mendatangkan madharat baginya apabila ia menjauhinya. Dan tidak tertimpa hukuman yang disebutkan.

Wallahu a’lam bish shawab.

*****


LATIHAN

1). Khabar Ahad (yang terbagi menjadi lima, sebagaimana telah berlalu penjelasannya _pent) selain Dha’if memberikan faidah : …
2). Adapun “Khabar Dha’if”, ia tidak bisa memberikan faidah …
3). Kecuali pada masalah Targhib (motivasi) dan Tarhib (intimidasi). Sejumlah para ulama ada yang memberikan kemudahan (baca_membolehkan) penyebutan Hadits Dha’if dengan tiga syarat. Yaitu …
4). Faidah penyebutan hadits dha’if dalam targhib (motivasi) adalah : …
5). Faidah penyebutan hadits dha’if dalam tarhib (intimidasi) adalah : …



JAWABAN

1). Khabar Ahad (yang terbagi menjadi lima, sebagaimana telah berlalu penjelasannya _pent) selain Dha’if memberikan faidah :

أَوَّلاً: الظَّنُّ وَهَوَ : رُجحَانُ صِحَّةِ نِسبَتِهَا إِلَى مَن نُقِلَت عَنهُ، وَيَختَلِفُ ذَلِكَ بِحَسَبِ مَرَاتِبِهَا السَّابِقَةِ، وَرُبَّمَا تُفِيدُ العِلمَ إِذَا احتَفَّت بِهَا القَرَائِنُ، وَشَهِدَت بِهَا الأُصُولُ

Pertama.
Memberikan faidah “Zhan”. Yaitu : rajihnya kevalidan penisbahan khabar - khabar tersebut kepada para penukilnya. Dan kevalidan tersebut berbeda - beda disesuaikan dengan tingkatan - tingkatannya sebagaimana telah lalu (penjelasnnya _pent). Dan terkadang memberikan faidah “Ilmu” apabila indikasi - indikasinya memperkuat hal tersebut dan dipersaksikan oleh ushulnya.

ثَانِياً: العَمَلُ بِمَا دَلَّتْ عَلَيهِ، بِتَصدِيقِهِ إِن كَانَ خَبَراً، وَتَطبِيقِهِ إِن كَانَ طَلَباً

Kedua.
Mengamalkan apa yang ditunjukan oleh hadits - hadits tersebut. Dengan membenarkannya apabila ia bersifat pengkhabaran (seperti pengkhabaran tentang perkara ghaib _pent). Dan mempraktikkannya apabila ia bersifat perintah.

2). Adapun “Khabar Dha’if”, ia tidak bisa memberikan faidah “Zhan” dan tidak pula bisa memberikan faidah “Ilmu”. Dan juga tidak bisa beramal dengan Hadits Dha’if. Dan Hadits Dha’if tidak bisa dianggap sebagai argument. Dan tidak boleh membawakan Hadits Dha’if kecuali beriringan dengan keterangan bahwa ia adalah hadits yang Dha’if.

3). Kecuali pada masalah Targhib (motivasi) dan Tarhib (intimidasi). Sejumlah para ulama ada yang memberikan kemudahan (baca_membolehkan) penyebutan Hadits Dha’if dengan tiga syarat.

1_ أَن لاَ يَكُونَ الضَّعفُ شَدِيداً

Pertama.
Hadits tersebut bukan dalam kategori dha’if yang berat.

2_ أَن يَكُونَ أَصلُ العَمَلِ الَّذِي ذُكِرَ فِيهِ التَّرغِيبُ وَالتَّرهِيبُ ثَابِتاً

Asal amal yang disebutkan padanya targhib dan tarhib adalah sesuatu yang autentik (bisa dipertanggung jawabkan alias disebutkan dalam nash yang valid _pent)

3_ أَن لَا يَعتَقِدَ أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَهُ

Ketiga.
Dan tidak boleh meyakini bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan hadits dha’if tersebut.

4). Faidah penyebutan hadits dha’if dalam targhib (motivasi) adalah :

Mendorong jiwa untuk beramal pada sesuatu yang dimotivasi padanya, karena berharap mendapatkan pahala dari keutamaan amal tersebut. Itu jika mendapatkan, jika tidak, maka kesungguhannya dalam beribadah tidak akan mendatangkan kemadharatan baginya. Ia tetap mendapatkan pahala asli yang diperuntukkan atas amal yang diperintahkan.

5). Faidah penyebutan hadits dha’if dalam tarhib (intimidasi) adalah :

Menjauhkan jiwa dari perbuatan yang dikecam tersebut karena takut dari terjatuh pada hukuman tersebut. Dan tidak mendatangkan madharat baginya apabila ia menjauhinya. Dan tidak tertimpa hukuman yang disebutkan.


Wallahu a'lam bish-shawab.


Ditulis oleh :
Kamis - 9 - Juli - 2015 M


0 komentar:

Posting Komentar

Mubaarok Al-Atsary. Diberdayakan oleh Blogger.