PERTEMUAN : KE - DUA BELAS
BUKU : MUSTHALAH AL-HADITS
PENGARANG : IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
___________
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"PENJELASAN
DEFINISI ASH-SHAHIH LI DZATIH"
Pada sepuluh pertemuan sebelumnya, kita telah mengetahui secara
global bahwa hadits adalah mencakup semua tentang ucapan, perbuatan dan taqrir
serta sifat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dimana semua itu tidak lepas apakah ia bersifat mutawatir maupun
ahad. Dan ahad tidak lepas dari tiga keadaan, baik masyhur, ‘aziz, maupun
gharib. Dan tiga keadaan tersebut adakalanya masuk dalam kategori maqbul dan
adakalanya masuk dalam kategori mardud.
Yang maqbul tidak lepas, baik masuk dalam kategori shahih li dzatih
maupun shahih li ghairih, atau masuk dalam kategori hasan li dzatih maupun
hasan li ghairih. Adapun yang mardud juga terbagi menjadi dua, ada yang
bersifat dha’if yang ringan sehingga bisa menjadi penguat, dan ada yang
bersifat dha’if yang syadid sehingga tidak bisa menjadi penguat.
Kemudian pada liqa kita kali ini, insya Allah kita akan mulai
masuk menguraikan rincian-rincian dan pendetilan dari semua masail yang
berkaitan dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Dimana asy-syaikh rahimahullah memulai memberikan penjelasan dengan rincian pada definisi shahih
li dzatih.
*****
Berkata asy-syaikh rahimahullah :
شَرحُ تَعرِيفِ الصَّحِيحِ
لِذَاتِهِ
PENJELASAN
DEFINISI ASH-SHAHIH LI DZATIH
سَبَقَ أَنَّ الصَّحِيحَ
لِذَاتِهِ : مَا رَوَاهُ عَدلٌ تَامُ الضَّبطِ بِسَنَدٍ مُتَّصِلٍ، وَسَلِمَ مِنَ
الشُّذُوذِ وَالعِلَّةِ القَادِحَةِ
Telah berlalu, bahwa Ash-Shahih Li Dzatih yaitu :
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang :
1). “ADL”.
2). “TAM DHABTH”.
3). “SANAD MUTTASHIL”.
4). Selamat dari “SYUDZUDZ”. Dan
5). Selamat dari “ILLAH QADIHAH”.
1). Pertama.
“العَدَالَةُ” (‘Adl-nya Seorang Perawi).
فَالعَدَالَةُ : استِقَامَةُ
الدِّينِ وَالمُرُوءَةِ
Al ‘Adalah yaitu :
Istiqamah dalam agama dan istiqamah dalam muru’ah.
a). Istiqamah Dalam Agama.
فَاستِقَامَةُ الدِّينِ : أَدَاءُ
الوَاجِبَاتِ، وَاجتِنَابُ مَا يُوجِبُ الفِسقَ مِنَ المُحَرَّمَاتِ
Adapun istiqamah dalam agama yaitu :
(Kontinu dalam) menunaikan kewajiban-kewajiban, dan (kontinu
dalam) meninggalkan apa-apa yang menyebabkan kefasikan berupa perkara-perkara
yang diharamkan.
Tambahan Faidah. (Pent)
Apa yang disampaikan oleh asy-syaikh rahimahullah, seorang perawi yang ‘Adl adalah seorang yang meninggalkan
perkara-perkara yang diharamkan. Definisi tersebut adalah datang dari
kitab-kitab ushul dan mayoritas kitab-kitab musthalah.
Dan disana terdapat sebagian ahlul hadits yang memberi kritikan
terhadap ungkapan tersebut. Diantaranya adalah Al-Khatibul Baghdadi
rahimahullah, beliau berkata :
لَمَّا كَانَ كُلُّ مُكَلَّفٍ
مِنَ البَشَرِ لاَ يَكَادُ يَسلَمُ مِن أَن يَشُوبَ طَاعَتَهُ بِمَعصِيَّةٍ، لَم
يَكُن سَبِيلٌ إِلَى أَلاَّ يُقبَلُ إِلاَّ طَائِعٌ مَحضُ الطَّاعَةِ، لِأَنَّ
ذَالِكَ يُوجِبُ أَلاَّ يُقبَلُ أَحَدٌ
Tatkala setiap mukallaf dari kalangan manusia hampir-hampir tidak
bisa terlepas dari bercampurnya ketaatannya dengan kemaksiatan, maka (definisi
tersebut mengharuskan _pent) tidak ada satu jalanpun yang diterima melainkan hanya seorang
yang benar-benar ta’at. Karena hal tersebut mengharuskan tidak ada seorangpun yang
bisa diterima. (Al-Kifayah : 1/317)
Ini menunjukan, bahwa definisi atau pengertian yang datang dari
para pakar ushul dan mayoritas kitab-kitab hadits adalah pendapat yang sangat
sulit dan berat. Dimana tak seorangpun yang selamat dari kemaksiatan. Oleh
karenanya penulis mengisyaratkan tentang definisi ‘Adl dengan konteks
sebagiamana telah berlalu penyebutannya, yaitu :
المُسلِمُ البَالِغُ العَاقِلُ
الَّذِي غَلَبَت عَلَيهِ الطَّاعَةُ
Muslim, yang baligh, yang berakal dan mayoritas keadaannya di atas
keta’atan. (Syarh Baiquniyah Ar Razihi fashl Shahih Li Dzatih). Wallahu
a’lam.
b). Istiqamah Dalam Muru’ah.
Berkata asy-syaikh rahimahullah :
وَاستِقَامَةُ المُرُوءَةِ : أَن
يَفعَلَ مَا يَحمَدُهُ النَّاسُ عَلَيهِ مِنَ الآدَابِ وَالأَخلاَقِ، وَيَترُكُ
مَا يَذُمُّهُ النَّاسُ عَلَيهِ مِن ذَلِكَ
Dan adapun istiqamah dalam muru’ah yaitu :
Mengerjakan sesuatu yang manusia memuji hal tersebut, berupa
akhlak dan adab. Dan meninggalkan sesuatu yang manusia mencela hal tersebut,
berupa adab dan akhlak.
Faidah Tambahan. (Pent)
Apa yang disampaikan oleh asy-syaikh rahimahullah berkaitan dengan masalah muru’ah, dimana ini merupakan suatu
syarat bagi seorang perawi yang ‘Adl. Hal ini adalah sebagaimana yang dikatakan
oleh Imam Asy-Syaukani rahimahullah :
وَالأَولَى أَن يُقَالَ فِي
تَعرِيفِ العَدَالَةِ إِنَّهَا التَّمَسُّكُ بِآدَابِ الشَّرعِ
Dan ungkapan yang lebih tepat untuk pengertian ‘Adl-nya seorang
perawi adalah berpegang teguhnya ia dengan adab-adab syar’i.
فَمَن تَمَسَّكَ بِهَا فِعلاً
وَتَركًا فَهُوَ العَدلُ المَرضِيُّ
Maka barang siapa yang berpegang teguh dengan adab-adab tersebut,
baik yang bersifat mengerjakan (yang diperintahkan _pent) maupun meninggalkan (yang
dilarang _pent), maka ia adalah seorang yang ‘Adl dan diridhai. (Irsyad
Al-Fuhul : 52. Cet : Darul Fikr)
Pensyaratan muru’ah tidak lepas dari 2 (dua) keadaan. Adakalanya
pelanggaran terhadap muru’ah bisa mencacati sifat ‘Adl-nya seorang perawi. Dan
adakalanya tidak mencacati sifat ‘Adl-nya, akan tetapi mengurangi nilai
kewibawaannya.
Yang pertama :
وَمَن أَخَلَّ بِشَيءٍ مِنهَا،
فَإِن كَانَ الإِخلاَلُ بِذَالِكَ الشَّيءِ يَقدَحُ فِي دِينِ فَاعِلِهِ أَو
تَارِكِهِ كَفِعلِ الحَرَامِ وَ تَركِ الوَاجِبِ، فَلَيسَ بِعَدلٍ
Dan barang siapa yang melanggar sesuatu dari adab-adab tersebut,
apabila pelanggarannya terhadap sesuatu tersebut adalah sesuatu yang mencacati
agama yang mengerjakannya, atau mencacati agama yang meninggalkannya, seperti
mengerjakan keharaman dan meninggalkan kewajiban, maka ia bukan seorang yang
‘Adl. (Irsyad Al-Fuhul : 52. Cet : Darul Fikr)
Kesimpulan.
Apabila pelanggaran pada muru’ah yang bersifat mengerjakan
perbuatan yang haram atau meninggalkan yang wajib, maka hal ini mencacati sifat
‘Adl-nya seorang perawi.
Yang kedua :
وَأَمَّا اعتِبَارُ العَادَاتِ
الجَارِيَةِ بَينَ النَّاسِ المُختَلِفَةِ بِاختِلاَفِ الأَشخَاصِ وَالأَزمِنَةِ
وَالأَمكِنَةِ وَالأَحوَالِ فَلاَ مُدخَلَ لِذَالِكَ فِي هَذَا الأَمرِ الدِّينِي
Dan apabila (yang diinginkan dengan muru’ah _pent) dari sisi adat dan kebiasaan yang
terjadi di tengah-tengah manusia yang beraneka ragam, dengan perbedaan
masing-masing person dan perbedaan zaman, tempat dan keadaan, maka sesuatu
tersebut (yakni cacat dari sisi muru’ah ini _pent) tidak termasuk dalam perkara
agama. (Irsyad Al-Fuhul : 52. Cet : Darul Fikr)
Kesimpulan.
Apabila pelanggaran muru’ah yang bersifat kembali kepada adat dan
kebiasaan manusia, lingkungan dan waktu. Dimana hal ini bukan dalam kategori
perkara agama. Maka pelanggaran muru’ah ini tidak mencacati sifat ‘Adl-nya
seorang perawi. Walaupun mungkin mengurangi nilai kewibawaannya.
Contohnya adalah seperti kebiasaan makan di pasar, atau menyisir
rambut saat kajian sedang berlangsung dan yang semisalnya.
Kemudian berkata asy-syaikh rahimahullah :
وَتُعرَفُ عَدَالَةُ الرَّاوِي
بِالاستِفَاضَةِ كَالأَئِمَّةِ المَشهُورِينَ : مَالِكٍ وَأَحمَدَ وَالبُخَارِيِّ
وَنَحوِهِم، وَبِالنَّصِّ عَلَيهَا مِمَّن يُعتَبَرُ قَولُهُ فِي ذَلِكَ
Dan ‘Adl-nya seorang perawi dapat diketahui dengan :
1). “بِالاستِفَاضَةِ” (yakni dengan tersebar luasnya berita
seorang perawi, bahwa ia adalah seorang yang ‘Adl _pent). Seperti para imam yang masyhur :
Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Bukhari rahimahumullahu, dan yang semisal mereka.
2). “بِالنَّصِّ” (yakni dengan keterangan _pent) tentang ‘Adl-nya seorang perawi
dari seorang imam yang ucapannya terakui dalam hal tersebut. (Dalam hal ini
adalah keterangan para imam dalam bidang jarh dan ta’dil _pent).
Contohnya bagaimana?
Contohnya tatkala engkau melihat seorang perawi dalam suatu
hadits, dan perawi tersebut bukan seorang yang masyhur. Maka untuk mentela’ah
apakah ia seorang yang ‘Adl atau tidak, engkau harus melihat keterangan para
imam yang berkompeten dalam bidang tersebut. Apa komentar mereka terhadap
perawi hadits tersebut.
Wallahu a’lam bish shawab.
*****
LATIHAN
1). Al ‘Adalah yaitu: …
2). Apa pendapat asy-syaikh rahimahullah tentang Istiqamah fid din?
3). Apa kritikan Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah tentang pemutlakan Istiqamah fid din?
4). Bagaimana konteks definisi ‘Adl
yang disiyaratkan oleh penulis?
5). Apa keterangan asy-syaikh rahimahullah tentang Istiqmah Muru’ah?
6). Pensyaratan muru’ah tidak lepas
dari dua keadaan. Sebutkan ungkapan Asy-Syaukani rahimahullah !
7). Dan ‘Adl-nya seorang perawi dapat
diketahui dengan : …
JAWABAN
1). Al-‘Adalah yaitu: …
فَالعَدَالَةُ : استِقَامَةُ الدِّينِ
وَالمُرُوءَةِ
Istiqamah dalam agama dan istiqamah dalam muru’ah.
2). Adapun istiqamah dalam agama yaitu
: . . .
فَاستِقَامَةُ الدِّينِ : أَدَاءُ
الوَاجِبَاتِ، وَاجتِنَابُ مَا يُوجِبُ الفِسقَ مِنَ المُحَرَّمَاتِ
(Kontinu dalam) menunaikan kewajiban-kewajiban, dan (kontinu
dalam) meninggalkan apa-apa yang menyebabkan kefasikan berupa perkara-perkara
yang diharamkan.
3). Berkata Al-Khatib
Al-Baghdadi rahimahullah : . . .
لَمَّا كَانَ كُلُّ مُكَلَّفٍ
مِنَ البَشَرِ لاَ يَكَادُ يَسلَمُ مِن أَن يَشُوبَ طَاعَتَهُ بِمَعصِيَّةٍ، لَم
يَكُن سَبِيلٌ إِلَى أَلاَّ يُقبَلُ إِلاَّ طَائِعٌ مَحضُ الطَّاعَةِ، لِأَنَّ
ذَالِكَ يُوجِبُ أَلاَّ يُقبَلُ أَحَدٌ
Tatkala setiap mukallaf dari kalangan manusia hampir-hampir tidak
bisa terlepas dari bercampurnya ketaatannya dengan kemaksiatan, maka (definisi
tersebut mengharuskan _pent) tidak ada satu jalanpun yang diterima melainkan hanya seorang
yang benar-benar ta’at. Karena hal tersebut mengharuskan tidak ada seorangpun
yang bisa diterima. (Al-Kifayah : 1/317)
4). Al-'Adl yang diisyaratkan oleh
penulis adalah : . . .
المُسلِمُ البَالِغُ العَاقِلُ
الَّذِي غَلَبَت عَلَيهِ الطَّاعَةُ
Muslim, yang baligh, yang berakal dan mayoritas keadaannya di atas
keta’atan. (Syarh Baiquniyah Ar Razihi fashl Shahih Li Dzatih).
5). Berkata asy-syaikh rahimahullah : . . .
وَاستِقَامَةُ المُرُوءَةِ : أَن
يَفعَلَ مَا يَحمَدُهُ النَّاسُ عَلَيهِ مِنَ الآدَابِ وَالأَخلاَقِ، وَيَترُكُ
مَا يَذُمُّهُ النَّاسُ عَلَيهِ مِن ذَلِكَ
Dan adapun istiqamah dalam muru’ah yaitu :
Mengerjakan sesuatu yang manusia memuji hal tersebut, berupa
akhlak dan adab. Dan meninggalkan sesuatu yang manusia mencela hal tersebut,
berupa adab dan akhlak.
6). Yang pertama :
وَمَن أَخَلَّ بِشَيءٍ مِنهَا،
فَإِن كَانَ الإِخلاَلُ بِذَالِكَ الشَّيءِ يَقدَحُ فِي دِينِ فَاعِلِهِ أَو
تَارِكِهِ كَفِعلِ الحَرَامِ وَ تَركِ الوَاجِبِ، فَلَيسَ بِعَدلٍ
Dan barang siapa yang melanggar sesuatu dari adab-adab tersebut,
apabila pelanggarannya terhadap sesuatu tersebut adalah sesuatu yang mencacati
agama yang mengerjakannya, atau mencacati agama yang meninggalkannya, seperti
mengerjakan keharaman dan meninggalkan kewajiban, maka ia bukan seorang yang
‘Adl. (Irsyad Al-Fuhul : 52. Cet : Darul Fikr)
Kesimpulan.
Apabila pelanggaran pada muru’ah yang bersifat mengerjakan
perbuatan yang haram atau meninggalkan yang wajib, maka hal ini mencacati sifat
‘Adl-nya seorang perawi.
Yang kedua :
وَأَمَّا اعتِبَارُ العَادَاتِ
الجَارِيَةِ بَينَ النَّاسِ المُختَلِفَةِ بِاختِلاَفِ الأَشخَاصِ وَالأَزمِنَةِ
وَالأَمكِنَةِ وَالأَحوَالِ فَلاَ مُدخَلَ لِذَالِكَ فِي هَذَا الأَمرِ الدِّينِي
Dan apabila (yang diinginkan dengan muru’ah _pent) dari sisi adat dan kebiasaan yang
terjadi di tengah-tengah manusia yang beraneka ragam, dengan perbedaan
masing-masing person dan perbedaan zaman, tempat dan keadaan, maka sesuatu
tersebut (yakni cacat dari sisi muru’ah ini _pent) tidak termasuk dalam perkara
agama. (Irsyad Al-Fuhul : 52. Cet : Darul Fikr)
Kesimpulan.
Apabila pelanggaran muru’ah yang bersifat kembali kepada adat dan
kebiasaan manusia, lingkungan dan waktu. Dimana hal ini bukan dalam kategori
perkara agama. Maka pelanggaran muru’ah ini tidak mencacati sifat ‘Adl-nya
seorang perawi. Walaupun mungkin mengurangi nilai kewibawaannya.
Contohnya adalah seperti kebiasaan makan di pasar, atau menyisir rambut
saat kajian sedang berlangsung dan yang semisalnya.
7). ‘Adl-nya seorang perawi dapat
diketahui dengan : …
وَتُعرَفُ عَدَالَةُ الرَّاوِي
بِالاستِفَاضَةِ كَالأَئِمَّةِ المَشهُورِينَ : مَالِكٍ وَأَحمَدَ وَالبُخَارِيِّ
وَنَحوِهِم، وَبِالنَّصِّ عَلَيهَا مِمَّن يُعتَبَرُ قَولُهُ فِي ذَلِكَ
1). “بِالاستِفَاضَةِ” (yakni dengan tersebar luasnya berita
seorang perawi, bahwa ia adalah seorang yang ‘Adl _pent). Seperti para imam yang masyhur :
Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Bukhari rahimahumullahu, dan yang semisal mereka.
2). “بِالنَّصِّ” (yakni dengan keterangan _pent) tentang ‘Adl-nya seorang perawi
dari seorang imam yang ucapannya terakui dalam hal tersebut. (Dalam hal ini
adalah keterangan para imam dalam bidang jarh dan ta’dil _pent).
Contohnya bagaimana?
Contohnya tatkala engkau melihat seorang perawi dalam suatu
hadits, dan perawi tersebut bukan seorang yang masyhur. Maka untuk mentela’ah
apakah ia seorang yang ‘Adl atau tidak, engkau harus melihat keterangan para
imam yang berkompeten dalam bidang tersebut. Apa komentar mereka terhadap
perawi hadits tersebut.
Wallahu a'lam bish-shawab wa baarakallahu fikum.
Ditulis oleh :
Rabu - 15 - 2015 M.
0 komentar:
Posting Komentar