PERTEMUAN : KE - TIGA BELAS
BUKU :
MUSTHALAH AL-HADITS
PENGARANG :
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
___________
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
“TAM ADH-DHABTH DAN SANAD MUTTASHIL”
Warning !!!
Mulai pusing dan rumit. Jangan menyerah ya…
Pada pertemuan sebelumnya, asy-syaikh rahimahullah telah menjabarkan syarat pertama pada hadits Shahih Li Dzatih.
Yakni : pembahasan seputar seorang perawi yang ‘Adl. Kemudian untuk pertemuan
kita kali ini, asy-syaikh rahimahullah akan melanjutkan menguraikan permasalahan yang berikutnya. Yakni
: pembahasan seputar seorang perawi yang Tam Adh-Dhabth dan masalah “Sanad
Muttashil”.
Secara garis besar yang akan kita uraikan adalah sebagaimana
berikut :
• 1). Masalah seputar “Tam
Adh-Dhabth yang mencakup :
a). Definisi “Tam Adh-Dhabth”.
b). Bagaimana cara mengenali seorang
perawi yang memiliki Dhabth.
• 2). Masalah seputar “Sanad
Muttashil” yang mencakup :
a). Definisi “Sanad Muttashil”.
b). Sanad Muttashil yang bersifat
Mubasyarah (secara langsung).
c). Sanad Muttashil yang dihukumi
Mubasyarah.
d). Syarat “bertemu” apabila sezaman
antara perawi dan guru.
e). Bagaimana cara mengenali “Sanad
Tidak Muttashil”.
*****
• 1). Masalah seputar “Tam
Adh-Dhabth yang mencakup :
a). Definisi “Tam Adh-Dhabth”.
Berkata asy-syaikh rahimahullah :
وَتَمَامُ الضَّبطِ : أَن
يُؤَدِّيَ مَا تَحَمَّلَهُ مِن مَسمُوعٍ، أَو مَرئِيٍّ عَلَى الوَجهِ الَّذِي
تَحَمَّلَهُ مِن غَيرِ زِيَادَةٍ وِلاَ نَقصٍ، لَكِن لاَ يَضُرُّ خَطَأٌ يَسِيرٌ؛
لِأَنَّهُ لاَ يَسلَمُ مِنهُ أَحَدٌ
Dan “Tam Adh-Dhabth” yaitu :
Seorang perawi menyampaikan apa yang ia bawa, baik berupa apa yang
ia dengar, maupun apa yang ia lihat, sebagaimana ia membawanya tanpa adanya
penambahan dan pengurangan. Akan tetapi tidak mengapa apabila terjadi sedikit
kesalahan. Karena tidak ada seorangpun yang selamat darinya.
Tambahan faidah. (Pent)
Apa yang disampaikan oleh asy-syaikh rahimahullah adalah semakna dengan apa yang telah diisyaratkan oleh penulis
pada pertemuan ke-lima. Dimana penulis menyampaikan, tentang Tam Adh-Dhabth
adalah :
الحِفظُ وَالتَّيَقُّظُ الخَالِي
فِي الغَالِبِ مِنَ السَّهوِ وَالشَّكِ وَالغَفلَةِ لمِاَ فِي الصَّدرِ
وَالكِتَابِ حَالَتيَ التَّحَمُّلِ وَالأَدَاءِ
Penjagaan dan perhatian terhadap apa yang ada di dalam dada (yakni
hafalan) dan apa yang ada di dalam kitab (yakni tulisan) yang secara umum
selamat dari kelengahan, keraguan, dan kelalaian baik tatkala mendengarkan
maupun menyampaikan. (Syarh Baiquniyah Ar-Razihi fashl Shahih Li Dzatih)
Apa yang disampaikan oleh asy-syaikh rahimahullah dan apa yang dinukil oleh penulis adalah dua hal yang saling
mendukung dan saling melengkapi. Kemudian-
b). Bagaimana cara mengenali
seorang perawi yang memiliki Dhabth?
Dhabth-nya seorang perawi dapat dikenali dengan dua perkara.
Sebagaimana telah dijelaskan oleh asy-syaikh rahimahullah :
وَيُعرَفُ ضَبطُ الرَّاوِي
بِمُوَافَقَتِهِ الثِّقَات وَالحُفَّاظَ وَلَو غَالِباً، وَبِالنَّصِّ عَلَيهِ
مِمَّن يُعتَبَرُ قَولُهُ فِي ذَلِكَ
Dan dhabth-nya seorang perawi dapat dikenali dengan :
Pertama.
(Perawi tersebut _pent) mencocoki para perawi yang Tsiqah
dan mencocoki para hufazh secara umum.
Kedua.
Dengan adanya nash (baca_keterangan) tentang perawi tersebut
(bahwa ia adalah seorang perawi yang memiliki dhabth _pent) dari seorang yang ucapannya
terakui dalam masalah tersebut. (Hal ini adalah tugas para imam dalam bidang
Al-Jarh wat Ta’dil _pent)
*****
• 2). Masalah seputar “Sanad
Muttashil” yang mencakup :
a). Definisi “Sanad
Muttashil”.
Berkata asy-syaikh rahimahullah :
وَاتِّصَالُ السَّنَدِ : أَن يَتَلَقَّى
كُلُّ رَاوٍ مِمَّن رَوَى عَنهُ مُبَاشَرَةً أَو حُكماً
Dan “Sanad Muttashil” yaitu :
Masing-masing perawi menemui siapa saja yang ia meriwayatkan
(suatu hadits _pent) darinya (yakni gurunya _pent), baik secara “Mubasyarah”
(langsung), maupun secara “Hukum” (yakni dihukumi Mubasyarah).
b). Sanad Muttashil yang
bersifat Mubasyarah (secara langsung).
Berkata asy-syaikh rahimahullah ;
فَالمُبَاشَرَةُ : أَن يُلاَقِيَ
مَن رَوَى عَنهُ فَيَسمَعُ مِنهُ، أَو يَرَى، وَيَقُولُ : حَدَّثِني، أَو سَمِعتُ،
أَو رَأَيتُ فُلاَناً وَنَحوُهُ
Adapun “Mubasyarah” yaitu :
Seorang perawi bertemu dengan gurunya dan mendengar hadits darinya
atau melihatnya. Dan mengatakan : “حَدَّثِني” (telah menceritakan kepadaku), atau “سَمِعتُ” (saya mendengar), atau “رَأَيتُ فُلاَناً” (saya
melihat fulan) dan yang semisalnya.
c). Sanad Muttashil yang
dihukumi Mubasyarah.
Berkata asy-syaikh rahimahullah :
وَالحُكمُ : أَن يَروِيَ عَمَّن
عَاصَرَهُ بِلَفظٍ يَحتَمِلُ السَّمَاعَ وَالرُّؤيَةَ، مِثلُ : قَالَ فُلاَن، أَو
: عَن فُلاَن، أَو : فَعَلَ فُلاَن، وَنَحوِهِ
Adapun Sanad Muttashil yang dihukumi Mubasyarah yaitu :
Seorang perawi meriwayatkan (suatu hadits _pent) dari seorang yang sezaman
dengannya, dengan suatu lafazh yang mengandung ihtimal (baca_kemungkinkan)
bahwa sang perawi mendengar dan melihatnya. Seperti lafazh : “قَالَ فُلاَن” (fulan berkata), atau “عَن فُلاَن” (dari fulan), atau “فَعَلَ فُلاَن” (fulan
melakukan) dan yang semisalnya.
Tambahan faidah. (Pent)
Apa perbedaan antara : 1)_Sanad Muttashil yang bersifat Mubasyarah
(secara langsung) dan 2)_Sanad Muttashil yang dihukumi Mubasyarah?!
Pertama.
“ثُبُوتُ اللِقَاءِ فَيَسمَعُ وَيَرَى” Adanya kepastian bertemunya antara perawi
dan guru, dan mendengar serta melihat.
Kedua.
“ثُبُوتُ المُعَاصَرَةِ وَاحتِمَالُ السَّمَاعِ وَالرُّؤيَةِ” Adanya kepastian sezaman antara perawi dan
guru, yang mengandung ihtimal (baca_kemungkinan) sang perawi mendengar dan
melihat.
d). Syarat “bertemu” apabila
sezaman antara perawi dan guru.
وَهَل يُشتَرَطُ مَعَ
المُعَاصَرَةِ ثُبُوتُ المُلاَقَاةِ أَو يَكفِي إِمكَانُهَا ؟
Apakah pada “المُعَاصَرَةِ” (sezaman) dipersyaratkan “ثُبُوتُ اللِقَاءِ” (Adanya kepastian bertemu antara perawi dan
guru _pent) atau cukup “إِمكَانُ اللِّقَاءِ” (sekedar adanya kemungkinan bertemu) ???
عَلَى قَولَينِ؛ قَالَ
بِالأَوَّلِ البُخَارِيُّ، وَقَالَ بِالثَّانِيِّ مُسلِمٌ
Ada dua Qaul (baca_pendapat).
Imam Bukhari rahimahullah mempersyaratkan “ثُبُوتُ اللِقَاءِ” (Adanya kepastian bertemu). Dan imam Muslim rahimahullah berpendapat “إِمكَانُ اللِّقَاءِ” (sekedar adanya kemungkinan bertemu).
قَالَ النَّوَوِيُّ عَن قَولِ
مُسلِمٍ : أَنكَرَهُ المُحَقِّقُونَ، قَالَ : وَإِن كُنَّا لاَ نَحكُمُ عَلَى
مُسلِمٍ بِعَمَلِهِ فِي "صَحِيحِهِ" بِهَذَا المَذهَبِ لِكَونِهِ
يَجمَعُ طُرُقاً كَثِيرَةً يَتَعَذَّرُ مَعَهَا وُجُودُ هَذَا الحُكمِ الَّذِي
جَوَّزَهُ، وَاللهُ أَعلَمُ
Imam Nawawi rahimahullah berkata -mengomentari pendapat imam Muslim rahimahullah- : ahli tahqiq mengingkari pendapat imam Muslim tersebut. Dan beliau berkata : dan
sesungguhnya kami tidak menghukumi imam Muslim berdasarkan metodenya dalam shahih
beliau dengan pendapatnya tersebut. Karena faktanya beliau menggunakan metode
pengumpulan jalan-jalan yang banyak, yang mengharuskan pendapat yang beliau
bolehkan tersebut adalah sesuatu yang berudzur (yakni ganjil _pent). Wallahu a’lam.
Kesimpulan.
Metode imam Muslim rahimahullah dalam shahih beliau, dimana beliau mengumpulkan banyak jalan
dalam setiap periwayatan, adalah sesuatu yang mustahil dan ganjil apabila imam Muslim rahimahullah hanya mempersyaratkan “إِمكَانُ اللِّقَاءِ” (sekedar adanya kemungkinan bertemu) pada
masalah “المُعَاصَرَةِ” (sezaman). Wallahu a’lam.
Insya Allah uraian ini akan kita kaji bersama dengan uraian yang
lebih rinci pada buku silsilah ketiga. Yakni buku Syarh Ikhtishar ‘Ulumil
Hadits. Bi idznillah.
Kemudian berkata asy-syaikh rahimahullah ;
وَمَحَلُّ هَذَا فِي غَيرِ
المُدَلِّسِ، أَمَّا المُدَلِّسُ فَلاَ يُحكَمُ لِحَدِيثِهِ بِالاتِّصَالِ إِلَّا
مَا صَرَّحَ فِيهِ بِالسَّمَاعِ أَوِ الرُّؤيَةِ
Dan tempat ini (yakni masalah “المُعَاصَرَة”) bukan pada bab “المُدَلِّسِ” (seorang perawi yang melakukan tadlis).
Adapun mudallis, maka haditsnya tidak dihukumi muttashil kecuali apabila sang
mudallis menyatakan dengan jelas mendengar atau melihat haditsnya.
e). Bagaimana cara mengenali
“Sanad Tidak Muttashil”.
وَيُعرَفُ عَدَمُ اتِّصَالِ
السَّنَدِ بِأَمرَينِ
Dan sanad yang tidak muttashil dapat diketahui dengan dua perkara
:
أَحَدُهُمَا : العِلمُ بِأَنَّ
المَروِيَ عَنهُ مَاتَ قَبلَ أَن يَبلُغَ الرَّاوِيُّ سِنَّ التَّميِيزِ
Pertama.
Diketahui. Bahwa guru yang ia klaim, telah meninggal sebelum ia
mencapai usia tamyiz.
ثَانِيهِمَا : أَن يَنُصَّ
الرَّاوِيُّ أَو أَحَدُ أَئِمَّةِ الحَدِيثِ عَلَى أَنَّهُ لَم يَتَّصِل بِمَن
رَوَى عَنهُ، أَو لَم يَسمَع، أَو يَرَ مِنهُ مَا حَدَّثَ بِهِ عَنهُ
Kedua.
Adanya nash (baca_keterangan) dari perawi atau dari salah seorang
pakar dalam bidang hadits, bahwa sanad tersebut tidak bersambung kepada siapa
yang ia meriwayatkan darinya. Atau tidak mendengar. Atau tidak melihat darinya
apa yang ia sampaikan tersebut darinya.
Wallahu a’lam bish shawab wa baarakallahu fikum.
Ditulis oleh :
Senin - 20 - Juli - 2015 M
0 komentar:
Posting Komentar