PERTEMUAN : KE - ENAM BELAS
BUKU :
MUSTHALAH AL-HADITS
PENGARANG :
IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
___________
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
“MUNQATHI’US SANAD & HUKUMNHYA”
Munqathi’us Sanad terbagi menjadi empat bagian. Pertama berkaitan dengan
Mursal dan telah berlalu uraiannya. Kedua berkaitan dengan Mu’allaq, juga telah
berlalu uraiannya. Ketiga berkaitan dengan Mu’dhal, juga telah berlalu
uraiannya. Walhamdulillah.
Kemudian yang terakhir, yakni bagian yang ke-empat, yaitu
Al-Munqathi’. Berkata asy-syaikh rahimahullah :
4_ وَالمُنقَطِعُ
: مَا حُذِفَ مِن أَثنَاء ِسَنَدِهِ رَاوٍ وَاحِدٌ، أَو رَاوِيَانِ فَأَكثَرُ لاَ
عَلَى التَّوَالِي
4_ Dan Al-Munqathi’ yaitu :
Sebuah hadits yang dihilangkan pada pertengahan sanadnya seorang
perawi atau dua atau lebih dengan tanpa berturut-turut.
وَقَد يُرَادُ بِهِ : كُلُّ مَا
لَم يَتَّصِل سَنَدُهُ، فَيَشمَلُ الأَقسَامَ الأَربَعَةَ كُلَّهَا
Dan terkadang yang diinginkan dengan Al-Munqathi’ adalah : setiap
hadits yang tidak bersambung sanadnya. Sehingga mencakup ke-empat bagian
tersebut seluruhnya.
c). Contoh Munqathi’us Sanad.
Berkata asy-syaikh rahimahullah :
مِثَالُ ذَلِكَ : مَا رَوَاهُ
البُخَارِيُّ؛ قَالَ : حَدَّثَنَا الحُمَيدِيُّ عَبدُ اللهِ بنُ الزُّبَيرِ؛ قَالَ
: حَدَّثَنَا سُفيَانُ، قَالَ : حَدَّثَنَا يَحيَى بنُ سَعِيدٍ الأَنصَارِيُّ؛
قَالَ : أَخبَرَنِي مُحَمَّدٌ بنُ إِبرَاهِيمَ التَّيمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ
عَلقَمَةَ بنَ وَقَّاصٍ اللَّيثِيَّ يَقُولُ : سَمِعتُ عُمَرَ بنَ الخَطَّابِ
رَضِيَ اللهُ عَنهُ عَلَى المِنبَرِ قَالَ : سَمِعتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : "إِنَّمَا الأَعمَالُ بِالنِّيَاتِ ..."
إلخ
Contoh hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh imam Bukhari rahimahullah. Beliau berkata :
1.
Telah menceritakan kepada kami AL-HUMAIDI yakni ABDULLAH IBNU AZ-ZUBAIR.
2.
Berkata Al-Humaidi: telah menceritakan kepada kami SUFYAN yakni IBNU ‘UYAINAH.
3.
Berkata Sufyan: telah menceritakan kepada kami YAHYA IBNU
SA’ID AL-ANSHARI.
4.
Berkata Yahya: telah mengkhabarkan kepadaku MUHAMMAD IBNU
IBRAHIM AT-TAIMI.
5.
Beliau (yakni Muhammad) mendengar ‘ALQAMAH IBNA WAQQASH AL-LAITSI berkata.
6.
‘Alqamah berkata; saya mendengar ‘UMAR IBNAL KHATHTHAB radhiallahu ‘anhu di atas mimbar beliau berkata.
Berkata UMAR IBNUL KHATHTHAB radhiallahu ‘anhu : saya mendengar Rasul Allah shallallahu ‘alalihi wasallam bersabda :
"إِنَّمَا
الأَعمَالُ بِالنِّيَاتِ ..."
“Sesungguhnya amalan itu dengan niat-niatnya…” dst.
Poin penting yang perlu diperhatikan dari contoh hadits di atas,
adalah poin para perawi dalam sanadnya. Secara kesimpulan, para perawi
tersebut, mereka adalah :
1. AL-HUMAIDI yakni ABDULLAH IBNU AZ-ZUBAIR.
2. SUFYAN yakni IBNU ‘UYAINAH.
3. YAHYA IBNU SA’ID AL-ANSHARI.
4. MUHAMMAD IBNU IBRAHIM AT-TAIMI.
5. ‘ALQAMAH IBNA WAQQASH AL-LAITSI.
6. ‘UMAR IBNUL KHATHTHAB radhiallahu
‘anhu.
PENTING PERLU DIPERHATIKAN.
فَإِذَا حُذِفَ مِن هَذَا
السَّنَدِ عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنهُ؛ سُمِيَ مُرسَلاً
(Pertama _pent).
Apabila ‘UMAR IBNUL KHATHTHAB radhiallahu ‘anhu yang dihilangkan dalam sanad hadits ini, maka
hadits tersebut dinamakan MURSAL.
Mengapa kita hukumi mursal ???
Karena ‘Alqamah tidak mendengar dari nabi. Dan
beliau adalah seorang tabi’i. Dan kaidah tetap menegaskan : "Apa-apa yang
dihubungkan kepada nabi shallallahu ‘alaih wa sallam, baik oleh sahabat yang tidak ia dengar dari nabi shallallahu ‘alaih wa sallam, maupun oleh tabi’in, maka masuk dalam kategori mursal".
وَإِذَا حُذِفَ مِنهُ
الحُمَيدِيُّ؛ سُمِيَ مُعَلَّقاً
(Kedua _pent).
Apabila yang dihilangkan dari sanad tersebut adalah AL-HUMAIDI, maka hadits tersebut dinamakan MU’ALLAQ.
Mengapa kita hukumi mu’allaq ???
Karena dihilangkan bagian awal sanadnya. Sebagaimana kaidah tetap
menegaskan : “Sebuah hadits yang dihilangkan bagian awal sanadnya adalah masuk
dalam kategori mu’allaq”.
وَإِذَا حُذِفَ مِنهُ سُفيَانُ
وَيَحيَى بنُ سَعِيدٍ؛ سُمِيَ مُعضَلاً
(Ketiga _pent).
Apabila yang dihilangkan pada sanad tersebut adalah SUFYAN dan YAHYA IBNU SA’ID, maka dinamakan MU’DHAL.
Mengapa kita hukumi mu’dhal ???
Karena dihilangkan pada pertengahan sanadnya dua orang perawi
secara berturut-turut. Sebagaimana ditegaskan dalam kaidah : “Sebuah hadits
yang dihilangkan pada pertengahan sanadnya dua orang perawi atau lebih secara
berturut-turut adalah masuk dalam kategori mu’dhal”.
وَإِذَا حُذِفَ مِنهُ سُفيَانُ
وَحدَهُ أَو مَعَ التَّيمِيِّ؛ سُمِيَ مُنقَطِعاً
(Ke-empat _pent).
Apabila yang dihapus dari sanad tersebut adalah SUFYAN saja, atau bersama AT-TAIMI, maka dinamakan MUNQATHI’.
Mengapa kita hukumi munqathi’ ???
Karena sebuah hadits yang dihilangkan pada pertengahan sanadnya
seorang perawi atau dua atau lebih dengan tanpa berturut-turut masuk dalam
kategori munqathi’. Wallahu a’lam.
*****
جـ - حُكمُهُ
d). Hukum Munqathi’us Sanad.
(Seharusnya "C" bukan "D", akan tetapi sengaja
kami menggunakan huruf "D" untuk menyesuaikan dengan poin besar
pembahasan _pent)
وَمُنقَطِعُ السَّنَدِ بِجَمِيعِ
أَقسَامِهِ مَردُودٌ؛ لِلجَهلِ بِحَالِ المَحذُوفِ، سِوَى مَا يَأتِي
Dan Munqathi’us Sanad dengan ke-empat jenisnya, semuanya adalah
masuk dalam kategori MARDUD (tertolak). (Mengapa? _pent) karena kita tidak mengetahui
keadaan perawi yang dihilangkan (apakah perawi tersebut bisa dipercaya atau
tidak _pent). Terkecuali berikut ini :
1_ مُرسَلُ الصَّحَابِيِّ
Pertama.
Mursal Shahabi.
2_ مُرسَلُ كِبَارِ التَّابِعِينَ عِندَ كَثِيرٍ مِن أَهلِ العِلمِ،
إِذَا عَضَدَهُ مُرسَلٌ آخَرُ، أَو عَمَلُ صَحَابِيٍّ أَو قِيَاسٍ
Kedua.
Mursal Kibar Tabi’in menurut pendapat kebanyakan ahlul ilmi, apabila
dikuatkan oleh mursal yang lainnya, atau dikuatkan oleh perbuatan shahabat, atau
dikuatkan oleh kiyas.
3_ المُعَلَّقُ إِذَا كَانَ بِصِيغَةِ الجَزمِ فِي كِتَابِ
اُلْتُزِمَت صِحَّتُهُ كَصَحِيحِ البُخَارِيِّ
Ketiga.
Al-Mu’allaq, apabila dengan konteks jazm pada sebuah buku yang terjamin
keshahihannya semisal shahih Al-Bukhari.
Tambahan Faidah. (Pent)
Adapun berkaitan dengan Sighat Al-Jazm, berkata imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab 1/63 :
قَالَ العُلَمَاءُ المُحَقِّقُونَ
مِن أَهلِ الحَدِيثِ وَغَيرِهِم : إِذَا كَانَ الحَدِيثُ ضَعِيفًا لاَ يُقَالُ
فِيهِ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَو فَعَلَ أَو أَمَرَ
أَو نَهَى أَو حَكَمَ وَمَا أَشبَهَ ذَالِكَ مِن
صِيَغِ الجَزمِ
Berkata para ulama ahli tahqiq dari kalangan pakar hadits dan
selain mereka : apabila pada suatu hadits yang dha'if, maka tidak digunakan
padanya (dengan konteks jazm seperti lafazh _pent) : " قَالَ رَسُولُ اللهِ "
(berkata Rasul Allah shallallahu 'alaihi
wasallam) atau "فَعَلَ" (beliau berbuat) atau "أَمَرَ" (beliau memerintahkan) atau "نَهَى" (beliau melarang) atau "حَكَمَ" (beliau menghukumi) dan yang semisal
itu dari konteks-konteks penjazeman.
وَكَذَا لاَ يُقَالُ فِيهِ رَوَى
أَبُو هُرَيرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنهُ أَو قَالَ أَو ذَكَرَ أَو أَخبَرَ أَو حَدَّثَ
أَو نَقَل أَو أَفتَى وَمَا أَشبَهَهُ
Demikian juga tidak digunakan pada suatu hadits yang dha’if : “رَوَى أَبُو هُرَيرَةَ” (Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu telah meriwayatkan) atau “قَالَ” (beliau telah berkata) atau “ذَكَرَ” (beliau menyebutkan) atau “أَخبَرَ” (beliau mengkhabarkan) atau “حَدَّثَ” (beliau menceritakan) atau “نَقَل” (beliau menukilkan) atau “أَفتَى” (beliau berfatwa) dan yang semisalnya.
وَكَذَا لاَ يُقَالُ ذَالِكَ فِي
التَّابِعِينَ وَمَن بَعدَهُم فِيمَا كَانَ ضَعِيفًا فَلَا يُقَالُ فِي شَيءٍ مِن ذَالِكَ
بِصِيغَةِ الجَزمِ
Demikian juga hal tersebut tidak digunakan pada tabi'in dan yang
setelah mereka, pada suatu riwayat yang dha'if, maka tidak digunakan pada
sesuatu tersebut dengan Sighat Al-Jazm.
وَإِنَّمَا يُقَالُ فِي هَذَا
كُلِّهِ : رُوِيَ عَنهُ أَو نُقِلَ عَنهُ أَو حُكِيَ عَنهُ أَو جَاءَ عَنهُ أَو
بَلَغَنَا عَنهُ أَو يُقَالُ أَو يُذكَرُ أَو يُحكَى أَو يُروَى أَو يُرفَعُ أَو
يُعَزَّى وَمَا أَشبَهَ ذَالِكَ مِن صِيَغِ التَّمرِيضِ وَلَيسَت مِن صِيَغِ
الجَزمِ
Akan tetapi konteks yang digunakan pada semua ini (yakni pada
semua riwayat yang dha’if, adalah seyogiannya dengan lafazh _pent) : “رُوِيَ عَنهُ” (diriwayatkan darinya) atau“نُقِلَ عَنهُ” (dinukilkan darinya) atau “حُكِيَ عَنهُ” (dihikayatkan darinya) atau “جَاءَ عَنهُ” (datang darinya) atau “بَلَغَنَا عَنهُ” (sampai
kepadaku darinya) atau “يُقَالُ” (dikatakan) atau “يُذكَرُ” (disebutkan) atau “يُحكَى” (dihikayatkan) atau “يُروَى” (diriwayatkan) atau “يُرفَعُ” (dirafa’kan) atau “يُعَزَّى” (dikuatkan) dan yang semisal itu berupa Sighat
At-Tamridh. Bukan berupa Sighat Al-Jazm.
قَالَوا : فَصِيَغُ الجَزمِ
مَوضُوعُةٌ لِلصَّحِيحِ أَوِ الحَسَنِ. وَصِيَغُ التَّمرِيضِ لِمَا سِوَاهُمَا
Para ulama mengatakan : ‘Sighat Al-Jazm’ digunakan untuk riwayat yang shahih dan hasan. Sementara ‘Sighat
At-Tamridh’ untuk riwayat selain shahih dan
hasan.
Kesimpulan.
Apabila seseorang ingin menyampaikan suatu hadits yang shahih atau
hasan, maka gunakanlah Sighat Al-Jazm. Adapun apabila ingin menyampaikan suatu
hadits yang dha’if, maka gunakanlah Sighat At-Tamridh. Demikian di antara
bentuk adab dalam menyampaikan suatu riwayat. Wallahu a’lam.
4_ مَا جَاءَ مُتَّصِلاً مِن طَرِيقٍ آخَر، وَتَمَّتْ فِيهِ شُرُوْطُ
القَبُولِ
Keempat.
Jenis Munqathi’us Sanad, apa bila datang dari jalan lain yang
terpenuhi pada jalan tersebut syarat-syarat diterimanya.
Wallahu a’lam bish shawab.
*****
LATIHAN
1). Munqathi’us Sanad yaitu : …
2). Terkadang yang diinginkan dengan
Munqathi’us Sanad yaitu : …
3). Bagaimanakah hukum Munqathi’us
Sanad?
4). Mengapa Munqathi’us Sanad masuk
dalam jenis mardud?
5). Sebutkan 4 (empat) pengecualian pada
Munqathi’us Sanad yang tidak masuk dalam jenis mardud!
JAWABAN
1). Berkata asy-syaikh rahimahullah : . . .
وَالمُنقَطِعُ : مَا حُذِفَ مِن
أَثنَاء ِسَنَدِهِ رَاوٍ وَاحِدٌ، أَو رَاوِيَانِ فَأَكثَرُ لاَ عَلَى التَّوَالِي
Dan Al-Munqathi’ yaitu :
Sebuah hadits yang dihilangkan pada pertengahan sanadnya seorang
perawi atau dua atau lebih dengan tanpa berturut-turut.
2). Berkata asy-syaikh rahimahullah : . . .
وَقَد يُرَادُ بِهِ : كُلُّ مَا لَم
يَتَّصِل سَنَدُهُ، فَيَشمَلُ الأَقسَامَ الأَربَعَةَ كُلَّهَا
Dan terkadang yang diinginkan dengan Al-Munqathi’ adalah : setiap
hadits yang tidak bersambung sanadnya. Sehingga mencakup ke-empat bagian
tersebut seluruhnya.
3). Berkata asy-syaikh rahimahullah : . . .
وَمُنقَطِعُ السَّنَدِ بِجَمِيعِ
أَقسَامِهِ مَردُودٌ
Dan Munqathi’us Sanad dengan ke-empat jenisnya, semuanya adalah
masuk dalam kategori MARDUD (tertolak).
4). Berkata asy-syaikh rahimahullah : . . .
لِلجَهلِ بِحَالِ المَحذُوفِ
karena kita tidak mengetahui keadaan perawi yang dihilangkan
(apakah perawi tersebut bisa dipercaya atau tidak _pent).
5). Berkata asy-syaikh rahimahullah : . . .
1_ مُرسَلُ الصَّحَابِيِّ
Pertama.
Mursal Shahabi.
2_ مُرسَلُ كِبَارِ التَّابِعِينَ عِندَ كَثِيرٍ مِن أَهلِ العِلمِ،
إِذَا عَضَدَهُ مُرسَلٌ آخَرُ، أَو عَمَلُ صَحَابِيٍّ أَو قِيَاسٍ
Kedua.
Mursal Kibar Tabi’in menurut pendapat kebanyakan ahlul ilmi, apabila
dikuatkan oleh mursal yang lainnya, atau dikuatkan oleh perbuatan shahabat, atau
dikuatkan oleh kiyas.
3_ المُعَلَّقُ إِذَا كَانَ بِصِيغَةِ الجَزمِ فِي كِتَابِ
اُلْتُزِمَت صِحَّتُهُ كَصَحِيحِ البُخَارِيِّ
Ketiga.
Al-Mu’allaq, apabila dengan konteks jazm pada sebuah buku yang
terjamin keshahihannya semisal shahih Al-Bukhari.
4_ مَا جَاءَ مُتَّصِلاً مِن طَرِيقٍ آخَر، وَتَمَّتْ فِيهِ شُرُوْطُ
القَبُولِ
Keempat.
Jenis Munqathi’us Sanad, apa bila datang dari jalan lain yang
terpenuhi pada jalan tersebut syarat-syarat diterimanya.
Wallahu a’lam bish shawab.
Akhukum fillah
Kamis - 30 - Juli - 2015 M
0 komentar:
Posting Komentar