Keterangan Gambar.
KESIMPULAN DARI SEPULUH PERTEMUAN SEBELUMNYA.
• A). Al-Hadits yaitu :
Apa - apa yang disandarkan kepada nabi shallallahu ‘alaihi wasallam baik berupa “Ucapan” maupun “Perbuatan” maupun “Pengakuan” maupun
“Shifat”.
• Dan hadits terbagi menjadi 2 (dua) : “مُتَوَاتِر” (Mutawatir) dan “آحَادٌ” (Ahad).
• Dan “آحَادٌ” (Ahad) dari sisi penukilannya terbagi
menjadi 3 (tiga) :
“مَشهُورٌ” (Masyhur), “عَزِيزٌ” (‘Aziz) dan “غَرِيبٌ” (Gharib).
• B). Hadits “آحَادٌ”
(Ahad) ditinjau dari sisi kekuatan sanadnya terbagi menjadi 2 (dua) yaitu :
1). “مَقبُولٌ” (diterima).
2). “مَردُودٌ” (ditolak).
• 1). Yang “مَقبُولٌ” (diterima) terbagi menjadi 2 (dua) :
Pertama.
“صَحِيحٌ” (shahih).
Ini terbagi menjadi 2 (dua) :
Shaih Li Dzatih dan Shahih Li Ghairih.
• Kedua.
“حَسَنٌ” (hasan).
Ini juga terbagi menjadi 2 (dua) :
Hasan Li Dzatih dan Hasan Li Ghairih.
• 2). Dan yang “مَردُودٌ” (ditolak) juga terbagi menjadi 2 (dua) :
• Pertama.
“خَفِيفُ الضَّعفِ”(dha’if yang ringan).
Dha’if jenis ini bisa menjadi penguat.
• Kedua.
“شَدِيدُ الضَّعفِ”(dha’if yang syadid).
Dha’if jenis ini tidak bisa menjadi penguat.
*****
TAMBAHAN FAIDAH BERKAITAN DENGAN HADITS DHA’IF.
Pada pertemuan ke-sepuluh, penulis ingin membawakan ucapan asy-syaikh Ahmad Syakir dan asy-syaikh Al-Albani -Allah yarhamuhuma- berkaitan dengan hadits dha’if. Akan tetapi dikarenakan halaman
yang tidak memungkinkan, maka penulis memandang di halaman ini insya Allah
lebih munasib dan bersesuaian.
Dalam kitab “Al-Ba’itsul Hatsits” pada halaman 91. Kitab yang ada pada penulis
adalah cetakan Al-Jailul Jadid Nasyirun San’a. Berkata asy-syaikh Ahmad Syakir rahimahullah :
وَالَّذِي أَرَاهُ أَنَّ بَيَانَ
الضَّعفِ فِي الحَدِيثِ الضَّعِيفِ وَاجِبٌ فِي كُلِّ حَالٍ، لِأَنَّ تَركَ
البَيَانِ يُوهِمُ المُطَّلِعَ عَلَيهِ أَنَّهُ حَدِيثٌ صَحِيحٌ. وَبِالنَّوعِ
الخَاصِ إِذَا كَانَ النَّاقِلُ لَهُ مِن عُلَمَاءِ الحَدِيثِ الَّذِينَ يُرجَعُ
إِلَى قَولِهِم ذَالِكَ
Pendapat yang aku pandang adalah :
Sesungguhnya menjelaskan kelemahan pada suatu hadits yang dha’if
adalah merupakan suatu keharusan dalam segala keadaan. Karena apabila tidak
dijelaskan, hal tersebut akan memberikan sangkaan bagi orang yang mentelaah
seakan hadits lemah tersebut adalah hadits yang shahih.
Terlebih apabila yang menukilkan hadits tersebut adalah seorang
ulama pakar dalam bidang hadits, yang ucapannya adalah rujukan dalam hal
tersebut (maka kewajiban menjelaskan kelemahan hadits yang ia nukil adalah
suatu keharusan yang bermakna lebih _pent).
وَأَنَّهُ لَا فَرقَ بَينَ
الأَحكَامِ وَبَينَ فَضَائِلِ الأَعمَالِ وَنَحوِهَا فِي عَدَمِ الأَخذِ
بِالرِّوَايَةِ الضَّعِيفَةِ. بَل لَا حُجَّةَ لِأَحَدٍ إِلَّا بِمَا صَحَّ عَن
رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَ سَلَّمَ مِن حَدِيثٍ صَحِيحٍ أَو حَسَنٍ
Dan sesungguhnya tidak ada perbedaan baik dalam masalah Ahkam
(hukum-hukum) maupun dalam masalah keutamaan amal dan yang semisalnya,
(pendapat yang aku pegang adalah _pent) tidak mengambil riwayat yang
lemah. Bahkan tidak ada argument bagi seorangpun melainkan hanya dari apa yang
valid dari Rasul Allah shallallahu ‘alaihi
wasallam, baik hadits yang shahih maupun
hasan.
Dan dalam “Takhrijul Kalimith Thayib” pada halaman 14. Kitab yang ada pada penulis
adalah cetakan Darul Kutub Ilmiyah. Berkata asy-syaikh Al-Albani rahimahullah :
وَلَسنَا نَرَى التَّسَاهُلَ فِي
رِوَايَةِ شَيءٍ مِنَ الأَحَادِيثِ الضَّعِيفَةِ دُونَ بَيَانِ ضَعفِهَا، وَلاَ
فَرقَ عِندَنَا بَينَ أَحَادِيثِ الأَحكَامِ وَبَينَ أَحَادِيثِ الفَضَائِلِ، إِذِ
الكُلُّ شَرعٌ
Dan kami tidak memandang bolehnya bermudah-mudah dalam periwayatan
sesuatu dari hadits-hadits yang lemah tanpa menjelaskan kelemahannya. Dan bagi
kami (hal tersebut _pent) tidak ada perbedaan baik pada hadits-hadits ahkam maupun pada
hadits-hadits fadhail. Karena semua itu adalah perkara agama.
وَمِنَ المَعلُومِ أَنَّ الإِستِحبَابَ
حُكمٌ شَرعِيٌ، لاَ يُثبَتُ إِلاَّ بِنَصٍّ ثَابِتٍ إِتِّفَاقًا. فَكَيفَ يُرَادُ
إِثبَاتُهُ فِيمَا نَحنُ فِيهِ بِالحَدِيثِ الضَّعِيفِ
Sebagaimana diketahui bersama, sesungguhnya “ISTIHBAB” adalah
suatu hukum syar’i. Hal tersebut tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan
nash yang autentik berdasarkan kesepakatan. Maka bagaimana ingin menetapkan
hukum tersebut yang kita berada di dalamnya dengan suatu hadits yang dha’if ?!.
Dan dalam “Shahihul Jami’ush Shaghir Wa Ziyadatuh” 1/50
Maktabah Ar-Risalah. Beliau rahimahullah juga berkata :
وَهَذَا الَّذِي أَدِينُ اللهَ
بِهِ، وَأَدعُو النَّاسَ إِلَيهِ، أَنَّ الحَدِيثَ الضَّعِيفَ لاَ يُعمَلُ بِهِ
مُطلَقًا، لاَ فِي الفَضَائِلِ وَلاَ المُستَحَبَّاتِ وَلاَ فِي غَيرِهِمَا.
ذَالِكَ لِأَنَّ الحَدِيثَ الضَّعِيفَ إِنمَّاَ يُفِيدُ الظَّنَّ المَرجُوحَ بِلاَ
خِلاَفٍ أَعرِفُهُ بَينَ العُلَمَاءِ. وَإِذَا كَانَ كَذَالِكَ، فَكَيفَ يُقَالُ
بِجَوَازِ العَمَلِ بِهِ
Dan inilah yang kami beragama kepada Allah dengannya. Dan mengajak
manusia kepadanya. Bahwa hadits yang lemah tidak boleh diamalkan secara
muthlak, tidak dalam fadhail dan tidak pula pada mustahabbat dan tidak pula
pada selain keduanya.
Yang demikian itu, karena hadits yang dha’if sesungguhnya
memberikan faidah “Zhan yang tidak bisa dirajihkan”. Tanpa ada perbedaan
pendapat - sepengetahuanku- di kalangan para ulama.
Apabila demikian, maka bagaimana dikatakan boleh mengamalkan
hadits yang dha’if ?!
*****
Apa yang disampaikan oleh asy-syaikh Ahmad Syakir dan asy-syaikh Al-Albani
rahimahumallah adalah pendapat dan argument yang
sangat kuat. Namun apa yang disampaikan oleh asy-syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah bahwa terdapat sejumlah ulama yang membolehkan pada masalah
fadhail atau masalah targhib dan tarhib dengan syarat dan ketentuan sebagaimana
telah dijelaskan, juga merupakan pendapat yang mu’tamad.
Wallahu a’lam bish-shawab. Wa baarakallahu fikum.
Ditulis oleh :
Ahad - 12 - Juli - 2015
0 komentar:
Posting Komentar