Translate

Sabtu, 11 Juli 2015

11). Kesimpulan Dari Sepuluh Pertemuan Sebelumnya.




Keterangan Gambar.


KESIMPULAN DARI SEPULUH PERTEMUAN SEBELUMNYA.


• A). Al-Hadits yaitu :
Apa - apa yang disandarkan kepada nabi shallallahu ‘alaihi wasallam baik berupa “Ucapan” maupun “Perbuatan” maupun “Pengakuan” maupun “Shifat”.

• Dan hadits terbagi menjadi 2 (dua) : “مُتَوَاتِر” (Mutawatir) dan “آحَادٌ” (Ahad).

• Dan “آحَادٌ” (Ahad) dari sisi penukilannya terbagi menjadi 3 (tiga) :
مَشهُورٌ” (Masyhur), “عَزِيزٌ” (‘Aziz) dan “غَرِيبٌ” (Gharib).

• B). Hadits “آحَادٌ” (Ahad) ditinjau dari sisi kekuatan sanadnya terbagi menjadi 2 (dua) yaitu :

1).مَقبُولٌ” (diterima).
2).مَردُودٌ” (ditolak).

• 1). Yang “مَقبُولٌ” (diterima) terbagi menjadi 2 (dua) :

Pertama.
صَحِيحٌ” (shahih).
Ini terbagi menjadi 2 (dua) :
Shaih Li Dzatih dan Shahih Li Ghairih.

• Kedua.
حَسَنٌ” (hasan).
Ini juga terbagi menjadi 2 (dua) :
Hasan Li Dzatih dan Hasan Li Ghairih.

• 2). Dan yang “مَردُودٌ” (ditolak) juga terbagi menjadi 2 (dua) :

• Pertama.
خَفِيفُ الضَّعفِ”(dha’if yang ringan).
Dha’if jenis ini bisa menjadi penguat.

• Kedua.
شَدِيدُ الضَّعفِ”(dha’if yang syadid).
Dha’if jenis ini tidak bisa menjadi penguat.

*****


TAMBAHAN FAIDAH BERKAITAN DENGAN HADITS DHA’IF.

Pada pertemuan ke-sepuluh, penulis ingin membawakan ucapan asy-syaikh Ahmad Syakir dan asy-syaikh Al-Albani -Allah yarhamuhuma- berkaitan dengan hadits dha’if. Akan tetapi dikarenakan halaman yang tidak memungkinkan, maka penulis memandang di halaman ini insya Allah lebih munasib dan bersesuaian.

Dalam kitab “Al-Ba’itsul Hatsits” pada halaman 91. Kitab yang ada pada penulis adalah cetakan Al-Jailul Jadid Nasyirun San’a. Berkata asy-syaikh Ahmad Syakir rahimahullah :

وَالَّذِي أَرَاهُ أَنَّ بَيَانَ الضَّعفِ فِي الحَدِيثِ الضَّعِيفِ وَاجِبٌ فِي كُلِّ حَالٍ، لِأَنَّ تَركَ البَيَانِ يُوهِمُ المُطَّلِعَ عَلَيهِ أَنَّهُ حَدِيثٌ صَحِيحٌ. وَبِالنَّوعِ الخَاصِ إِذَا كَانَ النَّاقِلُ لَهُ مِن عُلَمَاءِ الحَدِيثِ الَّذِينَ يُرجَعُ إِلَى قَولِهِم ذَالِكَ

Pendapat yang aku pandang adalah :
Sesungguhnya menjelaskan kelemahan pada suatu hadits yang dha’if adalah merupakan suatu keharusan dalam segala keadaan. Karena apabila tidak dijelaskan, hal tersebut akan memberikan sangkaan bagi orang yang mentelaah seakan hadits lemah tersebut adalah hadits yang shahih.

Terlebih apabila yang menukilkan hadits tersebut adalah seorang ulama pakar dalam bidang hadits, yang ucapannya adalah rujukan dalam hal tersebut (maka kewajiban menjelaskan kelemahan hadits yang ia nukil adalah suatu keharusan yang bermakna lebih _pent).

وَأَنَّهُ لَا فَرقَ بَينَ الأَحكَامِ وَبَينَ فَضَائِلِ الأَعمَالِ وَنَحوِهَا فِي عَدَمِ الأَخذِ بِالرِّوَايَةِ الضَّعِيفَةِ. بَل لَا حُجَّةَ لِأَحَدٍ إِلَّا بِمَا صَحَّ عَن رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَ سَلَّمَ مِن حَدِيثٍ صَحِيحٍ أَو حَسَنٍ

Dan sesungguhnya tidak ada perbedaan baik dalam masalah Ahkam (hukum-hukum) maupun dalam masalah keutamaan amal dan yang semisalnya, (pendapat yang aku pegang adalah _pent) tidak mengambil riwayat yang lemah. Bahkan tidak ada argument bagi seorangpun melainkan hanya dari apa yang valid dari Rasul Allah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik hadits yang shahih maupun hasan.

Dan dalam “Takhrijul Kalimith Thayib” pada halaman 14. Kitab yang ada pada penulis adalah cetakan Darul Kutub Ilmiyah. Berkata asy-syaikh Al-Albani rahimahullah :

وَلَسنَا نَرَى التَّسَاهُلَ فِي رِوَايَةِ شَيءٍ مِنَ الأَحَادِيثِ الضَّعِيفَةِ دُونَ بَيَانِ ضَعفِهَا، وَلاَ فَرقَ عِندَنَا بَينَ أَحَادِيثِ الأَحكَامِ وَبَينَ أَحَادِيثِ الفَضَائِلِ، إِذِ الكُلُّ شَرعٌ

Dan kami tidak memandang bolehnya bermudah-mudah dalam periwayatan sesuatu dari hadits-hadits yang lemah tanpa menjelaskan kelemahannya. Dan bagi kami (hal tersebut _pent) tidak ada perbedaan baik pada hadits-hadits ahkam maupun pada hadits-hadits fadhail. Karena semua itu adalah perkara agama.

وَمِنَ المَعلُومِ أَنَّ الإِستِحبَابَ حُكمٌ شَرعِيٌ، لاَ يُثبَتُ إِلاَّ بِنَصٍّ ثَابِتٍ إِتِّفَاقًا. فَكَيفَ يُرَادُ إِثبَاتُهُ فِيمَا نَحنُ فِيهِ بِالحَدِيثِ الضَّعِيفِ

Sebagaimana diketahui bersama, sesungguhnya “ISTIHBAB” adalah suatu hukum syar’i. Hal tersebut tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan nash yang autentik berdasarkan kesepakatan. Maka bagaimana ingin menetapkan hukum tersebut yang kita berada di dalamnya dengan suatu hadits yang dha’if ?!.

Dan dalam “Shahihul Jami’ush Shaghir Wa Ziyadatuh” 1/50 Maktabah Ar-Risalah. Beliau rahimahullah juga berkata :

وَهَذَا الَّذِي أَدِينُ اللهَ بِهِ، وَأَدعُو النَّاسَ إِلَيهِ، أَنَّ الحَدِيثَ الضَّعِيفَ لاَ يُعمَلُ بِهِ مُطلَقًا، لاَ فِي الفَضَائِلِ وَلاَ المُستَحَبَّاتِ وَلاَ فِي غَيرِهِمَا. ذَالِكَ لِأَنَّ الحَدِيثَ الضَّعِيفَ إِنمَّاَ يُفِيدُ الظَّنَّ المَرجُوحَ بِلاَ خِلاَفٍ أَعرِفُهُ بَينَ العُلَمَاءِ. وَإِذَا كَانَ كَذَالِكَ، فَكَيفَ يُقَالُ بِجَوَازِ العَمَلِ بِهِ

Dan inilah yang kami beragama kepada Allah dengannya. Dan mengajak manusia kepadanya. Bahwa hadits yang lemah tidak boleh diamalkan secara muthlak, tidak dalam fadhail dan tidak pula pada mustahabbat dan tidak pula pada selain keduanya.

Yang demikian itu, karena hadits yang dha’if sesungguhnya memberikan faidah “Zhan yang tidak bisa dirajihkan”. Tanpa ada perbedaan pendapat - sepengetahuanku- di kalangan para ulama.

Apabila demikian, maka bagaimana dikatakan boleh mengamalkan hadits yang dha’if ?!

*****

Apa yang disampaikan oleh asy-syaikh Ahmad Syakir dan asy-syaikh Al-Albani rahimahumallah adalah pendapat dan argument yang sangat kuat. Namun apa yang disampaikan oleh asy-syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah bahwa terdapat sejumlah ulama yang membolehkan pada masalah fadhail atau masalah targhib dan tarhib dengan syarat dan ketentuan sebagaimana telah dijelaskan, juga merupakan pendapat yang mu’tamad.

Wallahu a’lam bish-shawab. Wa baarakallahu fikum.


Ditulis oleh :
Ahad - 12 - Juli - 2015


0 komentar:

Posting Komentar

Mubaarok Al-Atsary. Diberdayakan oleh Blogger.