Translate

Minggu, 27 Desember 2015

16). Shifat Penulisan Hadits (1).


(Bagian Kedua)

PERTEMUAN : KE-ENAM BELAS
BUKU : MUSTHALAH AL-HADITS
KARYA : IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
____________


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


"SHIFAT PENULISAN HADITS (1)"


Berkata Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah

ج_ صِفَتُهَا:

C. Shifat Penulisan Hadits.

وَتَجِبُ الْعِنَايَةُ بِكِتَابَةِ الْحَدِيْثِ؛ لِأَنَّهَا إِحْدَى وَسِيْلَتَيْ نَقْلِهِ، فَوَجَبَتِ الْعِنَايَةُ بِهَا كَنَقْلِهِ عَنْ طَرِيْقِ اللَّفْظِ.

Wajib memberikan perhatian terhadap penulisan hadits; karena hal tersebut merupakan salah satu dari dua wasilah penukilan hadits. Maka wajib memberikan perhatian terhadap 'penulisan hadits' sebagaimana penukilan hadits melalui jalur pelafazhan (yakni: yang didiktekan oleh syaikh _pent).

Kesimpulan :
Wajib memberikan perhatian terhadap penulisan hadits sebagaimana yang dilafazhkan oleh syaikh.

Faidah (pent) :
Dari apa yang disampaikan oleh asy-syaikh rahimahullah, beliau memberikan isyarat kepada kita bahwa: ada dua metode dalam penukilan hadits: metode 'penulisan' dan metode 'penghafalan'. Wallahu a'lam.

وَلِلْكِتَابَةِ صِفَتَانِ: وَاجِبَةٌ وَمُسْتَحْسَنَةٌ:

Dan pada metode 'penulisan hadits' ada dua shifat: ada yang shifatnya 'wajib' dan ada yang shifatnya 'dianjurkan'.

فَالْوَاجِبَةُ: أَنْ يُكْتَبَ الْحَدِيْثُ بِخَطٍّ وَاضِحٍ بَيِّنٍ، لَا يُوْقَعُ فِيْ الْإِشْكَالِ وَالْاِلْتِبَاسِ.

Yang wajib adalah:
Hendaknya suatu hadits ditulis dengan tulisan yang terang dan jelas, tidak terjadi kejanggalan dan kesamaran.

وَالْمُسْتَحْسَنَةُ: أَنْ يَرَاعَي مَا يَأْتِي:

Dan yang dianjurkan adalah:
Memperhatikan hal-hal berikut ini:

1_ إِذَا مَرَّ بِذِكْرِ اسْمِ اللهِ كُتِبَ: تَعَالَى، أَوْ عَزَّ وَجَلَّ، أَوْ سُبْحَانَهُ، أَوْ غَيْرُهَا مِنْ كَلِمَاتِ الثَّنَاءِ الصَّرِيْحَةِ بِدُوْنِ رَمْزٍ.

1). Apabila bertemu dengan penyebutan nama Allah, maka ditulis setelahnya kata "تعالى", atau "عز وجل", atau "سبحانه", atau selainnya berupa kalimat-kalimat pujian yang jelas tanpa rumus (diringkas _pent).

وَإِذَا مَرَّ بِذِكْرِ اسْمِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُتِبَ: صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَوْ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ صَرِيْحَةً بِدُوْنِ رَمْزٍ.

Dan apabila bertemu dengan penyebutan Rasul Allah shallallahu 'alaihi wasallam, maka ditulis setelahnya kata "shallallahu 'alaihi wasallam" atau "'alaihi ash-shalatu wa as-salam" dengan jelas tanpa rumus (diringkas _pent).

قَالَ الْعِرَاقِيُّ رَحِمَهُ اللهُ فِيْ "شَرْحِ أَلْفِيَّتِهِ" فِيْ الْمُصْطَلَحِ:

Berkata Al-Hafizh Al-'Iraqi rahimahullah dalam "Syarh Alfiyah" beliau dalam bidang musthalah  :

وَيُكْرَهُ أَنْ يُرْمَزَ لِلصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ الْخَطِّ بِأَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى حَرْفَيْنِ وَنَحْوِ ذَلِكَ.

Makruh hukumnya meringkas shalawat kepada nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam penulisan, dengan meringkas menjadi dua huruf dan yang semisal itu. 

وَقَالَ أَيْضاً: وَيُكْرَهُ حَذْفُ وَاحِدٍ مِنَ الصَّلَاةِ، أَوِ التَّسْلِيْمِ، وَالْاِقْتِصَارُ عَلَى أَحَدِهِمَا. اهـ.

Beliau rahimahullah juga berkata:
Dan juga makruh hukumnya menghapus salah satu dari kata "Ash-Shalat" atau "As-Salam", dan meringkas terhadap salah satu dari keduanya. Selesai.

* وَإِذَا مَرَّ بِذِكْرِ صَحَابِيٍّ كُتِبَ: رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، وَلَا يَخُصُّ أَحَداً مِنَ الصَّحَابَةِ بِثَنَاءٍ، أَوْ دُعَاءٍ مُعَيَّنٍ يَجْعَلُهُ شَعَاراً لَهُ كُلَّمَا ذَكَرَهُ. كَمَا يَفْعَلُ الرَّافِضَةُ فِيْ عَلِيٍّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِيْ قَوْلِهِمْ عِنْدَ ذِكْرِهِ: عَلَيْهِ السَّلَامُ أَوْ كَرَمَ اللهُ وَجْهَهُ.

Apabila bertemu dengan penyebutan shahabat nabi, maka ditulis setelahnya kata "radhiallahu 'anhu".

Tidak mengkhususkan seorangpun dari shahabat nabi dengan sebuah pujian atau do'a tertentu dengan menjadikannya sebagai sebuah Syiar (lambang kebesaran) terhadapnya setiap kali menyebutnya.

Sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Syiah Rafidhah terhadap shahabat Ali Ibnu Abi Thalib radhiallahu 'anhu. Tatkala menyebutnya, mereka mengatakan: 'alaihi As-Salam atau Karamallahu Wajhah. 

قَالَ ابْنُ كَثِيْرٍ رَحِمَهُ اللهُ: فَإِنَّ هَذَا مِنْ بَابِ التَّعْظِيْمِ، وَالتَّكْرِيْمِ، فَالشَّيْخَانِ - يَعْنِيْ: أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ - وَأَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ عُثْمَانُ أَوْلَى بِذَلِكَ مِنْهُ. اهـ.

Berkata imam Ibnu Katsir rahimahullah:
Sesungguhnya ini adalah termasuk dalam bab pemulyaan dan penghormatan. Maka dua syaikh - yakni Abu Bakar dan Umar Ibnul Khaththab - dan amirul mukminin Utsman Ibnu 'Affan radhiallahu 'anhum adalah sosok yang lebih berhak menyandang hal tersebut dari shahabat Ali Ibnu Abi Thalib radhiallahu 'anhu. Selesai.

فَأَمَّا إِنْ أَضَافَ الصَّلاَةَ إِلَى السَّلاَمِ عِنْدَ ذِكْرِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ دُوْنَ غَيْرِهِ فَهُوَ مَمْنُوْعٌ، لَا سِيَمَا إِذَا اتَّخَذَهُ شَعَاراً لاَ يَخُلُّ بِهِ، فَتَرْكُهُ حِيْنَئِذٍ مَتَعَيَّنٌ، قَالَهُ ابْنُ الْقَيِّمِ فِيْ كِتَابِ "جَلَاءُ الأَفْهَامِ".

Adapun menyandarkan kata "Ash-Shalat" kepada "As-Salam" tatkala menyebut shahabat Ali Ibnu Abi Thalib radhiallahu 'anhu tidak kepada selainnya, maka hal tersebut adalah terlarang. Terlebih apabila menjadikan hal tersebut sebagai Syi'ar (lambang kebesaran) tidak terpisah dengannya, maka meninggalkannya adalah lebih tepat. Dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab "Jala'ul Afham".  

* وَإِذَا مَرَّ بِذِكْرِ تَابِعِيٍّ فَمَنْ بَعْدَهُ مِمَّنْ يَسْتَحِقُّوْنَ الدُّعَاءَ كُتِبَ: رَحِمَهُ اللهُ.

Apabila bertemu dengan penyebutan Tabi'in dan yang setelahnya yang berhak mendapatkan do'a, maka ditulis setelahnya kata "rahimahullah".

2_ أَنْ يُشِيْرَ إِلَى نَصِّ الْحَدِيْثِ بِمَا يَتَمَيَّزُ بِهِ: فَيَجْعَلُهُ بَيْنَ قَوْسَيْنِ () أَوْ مُرَبَّعَيْنِ [] أَوْ دَائِرَتَيْنِ ** أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ، لِئَلَّا يَخْتَلِطَ بِغَيْرِهِ فَيَشْتَبِهُ.

2). Hendaknya memberi sebuah isyarat yang terbedakan dengannya sebuah nash (kontek) suatu hadits. Dengan menjadikan nash hadits di antara dua kurung ( ), atau di antara dua segi empat [ ], atau di antara dua bintang * *, atau yang semisal itu. Agar nash hadits tidak tercampur dengan selainnya sehingga tersamarkan.

3_ أَنْ يُرَاعَي الْقَوَاعِدُ الْمُتَّبَعَةُ فِيْ إِصْلَاحِ الْخَطَأِ:

3). Memperhatikan kaidah-kaidah yang disertakan dalam memperbaiki kesalahan:

* فَالسَّاقِطُ يَلْحَقُهُ فِيْ أَحَدِ الْجَانِبَيْنِ، أَوْ فَوْقَ، أَوْ تَحْتَ مُشِيْراً إِلَى مَكَانِهِ بِمَا يُعَيِّنُهُ.

Sesuatu yang tertinggal hendaknya dikaitkan pada salah satu dari dua tepinya, atau di sebelah atas, atau di sebelah bawah dengan mengisyaratkan kepada tempat yang tertinggal dengan sesuatu yang menunjuk kepadanya.

* وَالزَّائِدُ يُشْطَبُ عَلَيْهِ مِنْ أَوَّلِ كَلِمَةٍ مِنْهُ إِلَى الْأَخِيْرَةِ بِخَطٍّ وَاحِدٍ؛ لِئَلَّا يَنْطَمِسُ مَا تَحْتَهُ فَيَخْفَى عَلَى الْقَارِئِ.

Apabila terjadi penambahan (baca: kesalahan), maka diberi garis (dicoret) padanya dari awal kata tersebut hingga akhir dengan satu garis; (yang demikian itu _pent) agar tidak menghilangkan yang berada di bawahnya sehingga menjadi samar bagi pembaca.

وَإِذَا كَانَ الزَّائِدُ كَثِيْراً كُتِبَ قَبْلَ أَوَّلِ كَلِمَةٍ مِنْهُ (لا) وَبَعْدَ آخِرِ كَلِمَةٍ مِنْهُ (إلى) تُرْفَعَانِ قَلِيْلاً عَنْ مُسْتَوَى السَّطْرِ.

Apabila penambahan (baca: kesalahan) tersebut banyak, maka diberi keterangan sebelum awal kata dari penambahan tersebut dengan isyarat (لا), dan setelah akhir kata darinya diberi isyarat (إلى), dengan agak ke atas sedikit dari arah lurus penulisan.   

وَإِذَا كَانَتِ الزِّيَادَةُ بِتِكْرَارِ كَلِمَةٍ شُطِبَتِ الْأَخِيْرَةُ مِنْهَا، إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ لَهَا صِلَةٌ بِمَا بَعْدَهَا فَيُشْطَبُ الْأُوْلَى، مِثْلُ أَنْ يُكَرِّرَ كَلِمَةَ عَبْدٍ فِيْ عَبْدِ اللهِ، أَوِ امْرِئٍ فِيْ امْرِئٍ مُؤْمِنٍ، فَيُشْطَبُ الْأُوْلَى.

Apabila penambahan (baca: kesalahan) tersebut adalah pengulangan kata, maka kata yang terakhir hendaknya diberi garis (dicoret). Terkecuali apabila kata yang terakhir tersebut memiliki keterkaitan dengan kata yang setelahnya, maka yang digaris (dicoret) adalah kata yang pertama.

Seperti berulangnya kata "عبد" pada "عبد الله", atau kata "امرئ" pada "امرئ مؤمن", maka yang diberi garis (dicoret) adalah kata yang pertama.

4_ أَنْ لَا يُفْصَلَ بَيْنَ كَلِمَتَيْنِ فِيْ سَطْرَيْنِ إِذَا كَانَ الْفَصْلُ بَيْنَهُمَا يُوْهِمُ مَعْنًى فَاسِداً.

4). Hendaknya tidak memisah antara dua kalimat ke dalam dua garis apabila pemisahan kedua hal tersebut memberi sangkaan makna yang rusak.

مِثْلُ قَوْلِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: بَشِّرْ قَاتِلَ ابْنِ صَفِيَّةَ (يَعْنِيْ: الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ) بِالنَّارِ، فَلَا يُجْعَلُ "بَشِّرْ قَاتِلَ" فِيْ سَطْرٍ، وَ "ابْنِ صَفِيَّةَ فِيْ النَّارِ" فِيْ سَطْرٍ آخَرٍ.

Seperti perkataan shahabat Ali Ibnu Abi Thalib radhiallahu 'anhu:

بَشِّرْ قَاتِلَ ابْنِ صَفِيَّةَ (يَعْنِيْ: الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ) بِالنَّارِ

Berilah kabar gembira si pembunuh Ibnu Shafiyyah (yakni: Az-Zubair Ibnul 'Awwam) dengan api neraka.

Maka jangan menjadikan kalimat "بشر قاتل" pada satu garis dan kalimat "ابن صفية في النار" pada garis yang lain.

Wallahu a'lam bish-shawab. Wa baarakallahu fikum.

Akhukum fillah :
Ahad, 15  - Rabi'ul Awal - 1437 H / 27 - 12 - 2015 M

                                                                                

Baca Juga :
--------------------------


0 komentar:

Posting Komentar

Mubaarok Al-Atsary. Diberdayakan oleh Blogger.