Translate

Rabu, 09 September 2015

22). Ikhtisharul Hadits.



PERTEMUAN : KE-DUA PULUH DUA
BUKU : MUSTHALAH AL-HADITS
PENGARANG : IBNU 'UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
__________

بِسْمِ اللهِ الرَّحمَنِ الرَّحِيْمِ

"IKHTISHARUL HADITS"

Yang akan kita uraikan pada pertemuan kita kali ini adalah masail seputar "Ikhtisharul Hadits" atau meringkas lafazh suatu hadits, insya Allah.

Berkata asy-syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah :

اخْتِصَارُ الحَدِيْثِ
أ_ تَعْرِيْفُهُ، ب_ حُكْمُهُ

Ikhtisharul Hadits (mencakup) :
A). Definisi "Ikhtisharul Hadits". Dan B). Hukum "Ikhtisharul Hadits".

A). Definisi "Ikhtisharul Hadits".

أ_ اخْتِصَارُ الحَدِيْثِ
أَنْ يُحْذِفَ رَاوِيْهِ، أَوْ نَاقِلُهِ شَيْئاً مِنْهُ

"Ikhtisharul Hadits" yaitu :
Seorang perawi atau penukil terhadap suatu hadits menghilangkan sebagian dari hadits tersebut.

B). Hukum "Ikhtisharul Hadits".

ب_ وَلَا يَجُوْزُ إِلَّا بِشُرُوْطٍ خَمْسَةٍ

Tidak diperbolehkan meng-ikhtishar suatu hadits kecuali terpenuhi padanya 5 (lima) syarat.

الأَوَّلُ_ أَنْ لَا يُخِلَّ بِمَعْنَى الحَدِيثِ: كَالاِستِثْنَاءِ، وَالغَايَةِ، وَالحَالِ، وَالشَّرْطِ، وَنَحْوِهَا

Syarat pertama.
Hal tersebut tidak mencacati makna hadits. (Kapan mencacati makna hadits, maka tidak boleh dilakukan. Contoh yang tidak boleh _pent) seperti "الاِستِثْنَاء" (sebuah pengecualian), dan "الغَايَة" (puncak), dan "الحَال" (keadaan), dan "الشَّرْط" (syarth), dan yang semisalnya.

Asy-syarth "الشَّرْط" yakni: dua sesuatu yang keduanya saling memiliki keterkaitan dan keterikatan. Dimana kedua hal tersebut tidak boleh dihilangkan salah satunya. Seperti antara pertanyaan dan jawaban. Dan yang semisalnya. (pent)

Contoh.

مِثْلُ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Contohnya seperti sabda nabi shallallahu 'alaihi wasallam :

(1). Tentang "الاِستِثْنَاء" (sebuah pengecualian).

"لَا تَبِيْعُوْا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلاً بِمِثْلٍ". الحَدِيثُ

"Janganlah kalian menjual emas dengan emas, terkecuali semisal dengan semisal." (Al-hadits)

(2). Tentang "الغَايَة" (puncak).

"لَا تَبِيْعُوْا الثَّمَرَ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهُ". الحَدِيثُ

"Janganlah kalian menjual buah hingga nampak ranumnya." (Al-hadits)

(3). Tentang "الحَال" (keadaan).

"لَا يَقْضِيَنَّ حَكَمٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ". الحَدِيْثُ

"Janganlah seorang hakim memutuskan sebuah perkara di antara dua orang, dalam keadaan ia sedang marah." (Al-hadits)

(4). Tentang "الشَّرْط" (Syarth).

"نَعَمْ إِذَا هِيَ رَأَتِ المَاءَ"؛ قَالَهُ جَوَاباً لَأُمِّ سُلَيْم حِيْنَ سَأَلَتْهُ: هَل عَلَى المَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِيَ احْتَلَمَتْ؟. الحَدِيْثُ

"Na'am, apabila ia melihat air (yakni air tanda mimpi basah _pent)." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan hal tersebut sebagai jawaban terhadap Ummu Sulaim radhiallahu 'anha tatkala ia bertanya : apakah terkena kewajiban mandi bagi seorang wanita yang mengalami mimpi basah?."  (Al-hadits)

Demikian juga sabda nabi shallallahu 'alaihi wasallam :

"لَا يَقُلْ أَحَدُكُمْ: اللَّهُمَّ! اغْفِرْ لِيْ إِنْ شِئْتَ". الحَدِيْثُ

"Janganlah salah seorang di antara kalian berdoa: ya Allah! Ampunilah aku apabila Engkau berkenan." (Al-hadits)

Demikian juga seperti sabda nabi shallallahu 'alaihi wasallam :

"الحَجُّ المَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ". الحَدِيْثُ

Haji yang mabrur, tidak ada balasan baginya melainkan syurga. (Al-hadits)

Kemudian asy-syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah menjelaskan :

فَلَا يَجُوْزُ حَذْفُ قَوْلِهِ

Maka tidak diperbolehkan menghapus sabda nabi shallallahu 'alahi wasallam :

(إِلَّا مِثْلاً بِمِثْلٍ)

"Terkecuali semisal dengan semisal."

(حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهُ)

"Hingga nampak ranumnya."

(وَهُوَ غَضْبَانُ)

"Dalam keadaan ia sedang marah."

(إِذَا ِهِيَ رَأَتِ المَاءَ)

"Apabila ia melihat air (yakni air tanda mimipi basah _pent)."

(إِنْ شِئْتَ)

"Apabila Engkau berkenan."

(المَبْرُوْرُ)

"Mabrur."

Kemudian asy-syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah menjelaskan :

لِأَنَّ حَذْفَ هَذِهِ الأَشْيَاءِ يُخِلُّ بِمَعْنَى الحَدِيْثِ

Karena menghapus sesuatu tersebut akan mencacati makna hadits.

الثَّانِيْ_ أَنْ لَا يُحْذَفَ مَا جَاءَ الحَدِيثُ مِنْ أَجْلِهِ

Syarat ke-dua.
Tidak menghilangkan sesuatu, yang datangnya suatu hadits dikarenakan (untuk menjelaskan _pent) hal tersebut.

Contoh.

مِثْلُ: حَدِيثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّا نَرْكَبُ البَحْرَ، وَنَحْمِلُ مَعَنَا القَلِيْلَ مِنَ المَاءِ، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطَشْنَا! أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ البَحْرِ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: "هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الحِلُّ مَيْتَتُهُ". الحَدِيْثُ

Contohnya : hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwa seseorang bertanya kepada nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata : sesungguhnya kami mengendarai sebuah kapal, dan kami hanyalah membawa sedikit persediaan air. Apabila kami berwudhu dengan air tersebut, niscaya kami akan kehausan! Haruskah kami berwudhu dengan air laut? Maka nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : 

 "هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الحِلُّ مَيْتَتُهُ". الحَدِيْثُ

"Air laut itu suci airnya dan halal bangkainya." (Al-hadits)

فَلَا يَجُوْزُ حَذْفُ قَوْلِهِ: (هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ)؛ لِأَنَّ الحَدِيْثَ جَاءَ مِنْ أَجْلِهِ، فَهُوَ المَقْصُوْدُ بِالحَدِيْثِ

Maka tidak boleh menghilangkan sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam "air laut itu suci airnya". Karena hadits tersebut datang disebabkan untuk menjelaskan hal tersebut. Dan itu adalah inti hadits.

الثَّالِثُ_ أَنْ لَا يَكُوْنَ وَارِداً لِبَيَانِ صِفَةِ عِبَادَةٍ قَوْلِيَّةٍ أَوْ فِعْلِيَّةٍ

Syarat ke-tiga.
Hadits tersebut bukan datang untuk menjelaskan suatu sifat ibadah, baik ibadah yang berbentuk ucapan maupun perbuatan.

Contoh.

مِثْلُ حَدِيْثِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ فِيْ الصَّلَاةِ فَلْيَقُلْ: التَّحِيَاتُ لِلَّهِ، وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ". الحَدِيْثُ

Contohnya: hadits Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu bahwa nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : apabila salah seorang di antara kalian  duduk dalam shalatnya, maka ucapkanlah :

التَّحِيَاتُ لِلَّهِ، وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

Segala penghormatan hanyalah milik Allah, juga segala pengagungan dan segala kebaikan. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada engkau wahai nabi, demikian juga rahmat Allah dan berkah-Nya. Dan juga semoga kesejahteraan telimpahkan kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih. Dan aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan hanya Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Kemudian asy-syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah menjelaskan :

فَلَا يَجُوْزُ حَذْفُ شَيْءٍ مِن هَذَا الحَدِيْثِ؛ لِإِخْلَالِهِ بِالصِّفَةِ المَشْرُوْعَةِ إِلَّا أَنْ يُشِيْرَ إِلَى أَنَّ فِيْهِ حَذْفاً

Maka tidak diperbolehkan untuk menghilangkan sesuatu dari hadits ini. Karena akan mencacati sifat ibadah yang disyariatkan. Terkecuali apabila mengisyaratkan bahwa ada yang dihilangkan pada hadits tersebut.

الرَّابِعُ_ أَنْ يَكُوْنَ مِنْ عَالِمٍ بِمَدْلُولَاتِ الْأَلْفَاظِ، وَمَا يُخِلُّ حَذْفُهُ بِالمَعْنَى وَمَا لَا يُخِلُّ؛ لِئَلَّا يُحْذَفَ مَا يُخِلُّ بِالمَعْنَى مِنْ غَيْرِ شُعُوْرٍ بِذَلِكَ

Syarat ke-empat.
Yang melakukan hal tersebut adalah seorang yang 'alim (memiliki ilmu) tentang kandungan-kandungan dari lafazh-lafazh tersebut. Mengetahui mana mencacati makna dan mana yang tidak mencacati. Agar apa-apa yang mencacati makna (apabila terhapus _pent), tidak terhapus tanpa menyadari hal tersebut.

الخَامِسُ_ أَنْ لَا يَكُوْنَ الرَّاوِيُّ مَحَلًّا لِلتُّهْمَةِ، بِحَيْثُ يُظَنُّ بِهِ سَوْءُ الحِفْظِ إِنِ اخْتَصَرَهُ، أَوِ الزِّيَادَةُ فِيْهِ إِنْ أَتَمَّهُ؛ لِأَنَّ اخْتِصَارَهُ فِيْ هَذِهِ الحَالِ يَسْتَلْزِمُ التَّرَدُّدَ فِيْ قَبُوْلِهِ، فَيُضَعَّفُ بِهِ الحَدِيْثُ

Syarat ke-lima.
Sang perawi (atau yang melakukan hal tersebut _pent) adalah bukan sasaran terhadap suatu tuduhan.

Dari sisi terdeteksi bahwa ia buruk hafalannya apabila meng-Ikhtishar. Atau bisa terjadi penambahan pada hadits, apabila menyempurnakan. Karena perbuatannya meng-Ikhtishar dalam keadaan yang demikian (yakni tertuduh _pent) berkonsekuensi mendatangkan kebimbangan untuk diterimanya. Sehingga dilemahkanlah suatu hadits dikarenakan hal tersebut.

وَمَحَلُّ هَذَا الشَّرْطِ فِيْ غَيْرِ الْكُتُبِ المُدَوَّنَةِ الْمَعْرُوْفَةِ؛ لِأَنَّهُ يُمْكِنُ الرُّجُوْعُ إِلَيْهُا فَيَنْتَفِيْ التَّرَدُّدُ

Dan syarat yang ke-lima ini bukan berlaku pada kitab-kitab yang terbukukan lagi ma'ruf. Karena dalam hal ini, kita bisa langsung meninjau pada kitab-kitab yang ma'ruf tersebut, sehingga hilanglah kebimbangan.

فَإِذَا تَمَّتْ هَذِهِ الشُّرُوْطُ جَازَ اخْتِصَارُ الْحَدِيْثِ، وَلَا سِيَمَا تَقْطِيْعُهُ لِلْاِحتِجَاجِ بِكُلِّ قِطْعَةٍ مِنْهُ فِيْ مَوْضِعِهَا، فَقَدْ فَعَلَهُ كَثِيْرٌ مِنَ الْمُحَدِّثِيْنَ وَالفُقَهَاءِ

Apabila terpenuhi syarat-syarat ini, maka boleh meng-Ikhtishar atau meringkas suatu hadits. Terlebih pemotongan terhadap suatu hadits untuk berargumentasi dengan setiap dari potongan tersebut pada fungsinya. Sungguh, hal ini banyak dilakukan oleh para muhadditsin dan fuqaha.

وَالأَوْلَى أَنْ يُشِيْرَ عِنْدَ اخْتِصَارِ الْحَدِيْثِ إِلَى أَنَّ فِيْهِ اخْتِصَاراً فَيَقُوْلُ: إِلَى آخِرِ الحَدِيْثِ، أَوْ: ذُكِرَ الحَدِيْثُ وَنَحْوُهُ

Dan yang lebih utama adalah dengan mengisyaratkan tatkala meringkas suatu hadits bahwa padanya terjadi peringkasan. Dengan mengatakan: "ila akhiril hadits", atau: "disebutkan dalam suatu hadits", dan yang semisalnya.

Wallahu A'lam Bish Shawab.



Ditulis oleh :
Rabu, 09 - 09 - 2015 M


0 komentar:

Posting Komentar

Mubaarok Al-Atsary. Diberdayakan oleh Blogger.