PERTEMUAN : KE - DUA PULUH TUJUH
BUKU : MUSTHALAH AL HADITS
PENGARANG : IBNU ‘UTSAIMIN
RAHIMAHULLAH
___________
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"AL-JARH
DAN AT-TA'DIL (AT-TA'DIL)"
Jika
pada pertemuan sebelumnya kita berfokus pada masail seputar Al-Jarh, adapun
untuk hari ini, kita akan berfokus pada masail seputar At-Ta'dil insya Allah.
Berkata
asy-syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah
:
التَّعْدِيْلُ
أ_ تَعْرِيْفُهُ، ب_ أَقْسَامُهُ، ج_ مَرَاتِبُهُ، د_ شُرُوْطُ قَبُوْلِهِ
At-Ta'dil.
A). Definisi At-Ta'dil.
B).
Pembagian At-Ta'dil.
C).
Jenjang At-Ta'dil.
*****
A). Definisi At-Ta'dil.
أ_ التَّعْدِيْلُ
أَنْ يُذْكَرَ الرَّاوِيُّ بِمَا يُوْجِبُ قَبُوْلَ رِوَايَتِهِ: مِنْ
إِثْبَاتِ صِفَةِ قَبُوْلٍ أَوْ نَفْيِ صِفَةِ رَدٍّ، مِثْلُ أَنْ يُقَالَ: هُوَ ثِقَةٌ،
أَوْ ثَبْتٌ، أَوْ لَا بَأْسَ بِهِ، أَوْ لَا يُرَدُّ حَدِيْثُهُ
At-Ta'dil yaitu :
Seorang perawi disebutkan dengan
sesuatu, yang sesuatu tersebut mengharuskan diterima riwayatnya, baik (sesuatu
tersebut _pent) berupa "penetapan
sifat diterimanya", atau "penafian sifat tertolak".
Seperti dikatakan: ia seorang yang tsiqah/terpercaya, atau tsabat/kokoh, La
Ba'sa Bih/tidak mengapa, atau ia seorang yang tidak tertolak haditsnya.
*****
B). Pembagian At-Ta'dil.
ب_ وَيَنْقَسِمُ التَّعْدِيْلُ إِلَى قِسْمَيْنِ: مُطْلَقٌ وَمُقَيَّدٌ
Dan At-Ta'dil terbagi menjadi 2 (dua) bagian:
Muthlaq dan Muqayyad.
1_ فَالْمُطْلَقُ: أَنْ يُذْكَرَ الرَّاوِيُّ بِالتَّعْدِيْلِ بِدُوْنِ
تَقْيِيْدٍ؛ فَيَكُوْن تَوْثِيْقاً لَهُ بِكُلِّ حَالٍ
1_ Adapun Muthlaq yaitu :
Seorang perawi disebutkan dengan
"suatu Ta'dil tanpa adanya keterkaitan". Sehingga
Ta'dil tersebut adalah merupakan bentuk pentsiqahan terhadap sang perawi dalam
segala keadaan.
Tambahan penjelasan (pent).
Sebagai contoh pada kalimat :
(Fulan adalah seorang perawi yang "Tsiqah".)
Lafazh "Tsiqah"
pada kalimat di atas adalah lafazh Ta'dil yang bersifat Muthlaq. Tidak ada
Taqyid/keterkaitan pada lafazh Ta'dil tersebut dengan sesuatu apapun. Tidak
dikatakan padanya, bahwa ia adalah seorang perawi yang "Tsiqah"
dengan Taqyid: "apabila meriwayatkan dari penduduk Hijaz atau Makkah
atau Syam dan yang semisalnya". Sehingga sang perawi dihukumi "Tsiqah"
secara muthlaq, baik meriwayatkan dari penduduk Hijaz, atau Makkah, atau Syam,
dan yang semisalnya.
Berbeda halnya apabila terdapat
Taqyid padanya. Sebagaimana dijelaskan oleh asy-syaikh
rahimahullah :
2_ وَالْمُقَيَّدُ: أَنْ يُذْكَرَ الرَّاوِيُّ بِالتَّعْدِيْلِ بِالنِّسْبَةِ
لِشَيْءٍ مُعَيَّنٍ مِنْ شَيْخٍ، أَوْ طَائِفَةٍ، أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ؛ فَيَكُوْن تَوْثِيْقاً
لَهُ بِالنِّسْبَةِ إِلَى ذَلِكَ الشَّيْءِ الْمُعَيَّنِ دُوْنَ غَيْرِهِ
2_ Adapun Muqayyad yaitu :
Seorang perawi disebutkan dengan
suatu Ta'dil dari sisi karena sesuatu tertentu. Baik berupa karena syaikh, atau
karena kelompok, atau yang semisalnya. Sehingga Ta'dil tersebut adalah
merupakan bentuk pentsiqahan terhadap sang perawi dari sisi sesuatu tertentu
tersebut, tidak pada selainnya.
مِثْلُ أَنْ يُقَالَ: هُوَ ثِقَةٌ فِيْ حَدِيْثِ الزُّهْرِيِّ، أَوْ فِيْ
الْحَدِيْثِ عَنِ الْحِجَازِيِّيْنَ
Seperti dikatakan: "dia
tsiqah pada hadits Az-Zuhri rahimahullah"
(yakni: apabila hadits yang ia riwayatkan adalah dari Az-Zuhri rahimahullah _pent), atau "pada haditsnya dari para penduduk Hijaz"
(yakni: apabila hadits yang ia riwayatkan adalah dari para penduduk Hijaz _pent).
فَلَا يَكُوْنُ ثِقَةً فِيْ حَدِيْثِهِ مِنْ غَيْرِ مَنْ وُثِّقَ فِيْهِمْ
Maka ia tidak menjadi perawi yang
tsiqah pada haditsnya, dari selain yang ia ditsiqahkan pada mereka. (yakni:
apabila hadits yang ia riwayatkan bukan dari Az-Zuhri
rahimahullah atau bukan dari para penduduk Hijaz, maka haditsnya
tertolak _pent).
لَكِنْ إِذَا كَانَ الْمَقْصُوْدُ دَفْعَ دَعْوَى ضَعْفِهِ فِيْهِمْ،
فَلَا يَمْنَعُ حِيْنَئِذٍ أَنْ يَكُوْنَ ثِقَةً فِيْ غَيْرِهِمْ أَيْضاً
Akan tetapi apabila yang diinginkan
dari Taqyid pada suatu Ta'dil adalah menepis sangkaan pen-dha'ifan terhadapnya
pada Taqyid tersebut, maka tidak menutup kemungkinan, ia juga tsiqah pada
selain Taqyid tersebut.
Suatu contoh (pent) :
Apabila Fulan adalah seorang perawi
yang disifati dengan sifat Tsiqah secara Muthlaq. Kemudian datang Alan
bertanya: "apakah Fulan adalah perawi yang Dha'if apabila meriwayatkan
dari penduduk Syam?
Maka dijelaskan kepada Alan, bahwa
riwayat Fulan dari penduduk Syam adalah Tsiqah.
Maka Taqyid yang menepis sangkaan
pen-dha'ifan Alan terhadap Fulan pada Taqyid tersebut, tidak menutup
kemungkinan, Fulan juga Tsiqah pada selain Taqyid tersebut.
*****
C). Jenjang At-Ta'dil.
ج_ وَلِلتَّعْدِيْلِ مَرَاتِبُ
Dan Al-Ta'dil itu memiliki
tingkatan-tingkatan.
* أَعْلَاهَا: مَا دَلَّ عَلَى بُلُوْغِ الْغَايِةِ فِيْهِ مِثْلُ: أَوْثَقُ
النَّاسِ، أَوْ إِلَيْهِ الْمُنْتَهَى فِيْ التَّثَبُّتِ
* Tingkatan
paling atasnya adalah: sesuatu yang menunjukan sampai pada puncak dalam
At-Ta'dil, seperti lafazh: "manusia paling terpercaya",
atau "padanyalah akhir penelitian".
* ثُمَّ مَا تَأَكَّدَ بِصِفَةٍ، أَوْ صِفَتَيْنِ، مِثْلُ: ثِقَةٌ ثِقَةٌ
أَوْ ثِقَةٌ ثَبْتٌ، أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
* Kemudian
suatu lafazh Ta'dil yang dita'kid (dikuatkan) dengan satu sifat (yang semisal _pent) atau dua sifat (yang berbeda _pent). Seperti: "ثِقَةٌ ثِقَةٌ"
(Tsiqah lagi Tsiqah) atau "ثِقَةٌ
ثَبْتٌ" (Tsiqah lagi Kokoh)
* وَأَدْنَاهَا: مَا أُشْعِرَ بِالْقُرْبِ مِنْ أَسْهَلِ الْجَرْحِ، مِثْلُ:
صَالِحٌ، أَوْ مُقَارِبٌ، أَوْ يُرْوَى حَدِيْثُهُ، أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
* Dan
yang paling rendahnya adalah suatu lafazh Ta'dil yang dirasakan mengarah dari
Jarh yang paling ringan. Seperti lafazh: Shalih/bagus haditsnya,
Muqarib/mendekati hujah, atau (boleh) diriwayatkan haditsnya, atau yang
semisalnya.
وَبَيْنَ
ذَلِكَ مَرَاتِبُ مَعْلُوْمَةٌ
Dan di antara hal tersebut ada
tingkatan-tingkatan yang ma'lum (kita ketahui bersama, yakni tidak hanya terbatas
pada tiga tingkatan tersebut _pent).
*****
D). Syarat-Syarat Diterimanya At-Ta'dil.
د_ وَيُشْتَرَطُ لِقَبُوْلِ التَّعْدِيْلِ شُرُوْطٌ أَرْبَعَةٌ
Dan syarat diterimanya At-Ta'dil
adalah tatkala terpenuhi padanya syarat yang empat :
1_ أَنْ يَكُوْنَ مِنْ عَدْلٍ؛ فَلَا يُقْبَلُ مِنْ فَاسِقٍ
Pertama.
Ta'dil tersebut datang dari seorang
yang 'ADL; tidak diterima sebuah Ta'dil apabila datang dari
seorang yang fasiq.
2_ أَنْ يَكُوْنَ مِنْ مُتَيَقِّظٍ؛ فَلَا يُقْبَلُ مِنْ مُغَفَّلٍ يَغْتَرُّ
بِظَاهِرِ الْحَالِ
Kedua.
Ta'dil tersebut datang dari seorang
yang "Mutayaqqizh"; tidak diterima sebuah Ta'dil
apabila datang dari seorang "Mughaffal" yang terkecoh
dengan penampilan (zhahir keadaan).
Adapun rincian apa gerangan yang
dimaksud dengan "MUTAYAQQIZH" dan "MUGHAFFAL", silahkan
baca kembali PERTEMUAN KE-DUA PULUH ENAM.
3_ أَنْ يَكُوْنَ مِنْ عَارِفٍ بِأَسْبَابِهِ؛ فَلَا يُقْبَلُ مِمَّنْ لَا
يَعْرِفُ صِفَاتِ القَبُوْلِ وَالرَّدِّ
Ketiga.
Ta'dil tersebut datang dari seorang
yang memiliki ma'rifah (baca: pengetahuan) terhadap sebab-sebab sebuah Ta'dil;
tidak diterima sebuah Ta'dil yang datang dari seorang yang tidak mengetahui
(sebab-sebab) Al-Qabul dan Ar-Radd.
4_ أَنْ لَا يَكُوْنَ وَاقِعاً عَلَى مَنِ اشْتَهَرَ بِمَا يُوْجِبُ رَدَّ
رِوَايَتِهِ: مِنْ كَذْبٍ، أَوْ فِسْقٍ ظَاهِرٍ، أَوْ غَيْرِهِمَا
Keempat.
Ta'dil
tersebut tidak tertuju kepada sosok yang masyhur/dikenal dengan sesuatu yang
mengharuskan tertolak riwayatnya. Seperti dusta, fasiq yang zhahir, atau
semisal kedua hal tersebut.
Baarakallahu
fikum wa waffaqanallahu wa iyakum ila ma yuhibbuhu wa yardhahu.
Ditulis
oleh :
Ahad, 13 - Dzul Hijjah - 1436 H / 27 - 09 - 2015 M
0 komentar:
Posting Komentar