Translate

Selasa, 22 September 2015

26). Al-Jarh Dan At-Ta'dil (Al-Jarh).



PERTEMUAN : KE - DUA PULUH ENAM
BUKU : MUSTHALAH AL HADITS
PENGARANG : IBNU ‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
___________

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"AL-JARH DAN AT-TA'DIL (AL-JARH)"

Sahabat fillah…
Kaidah Al-Jarh dan At-Ta'dil dalam mabahis (pembahasan) seputar ilmu rijal (berkaitan dengan perawi) dalam ilmu Musthalah Al-Hadits adalah termasuk inti dan kategori terpenting dalam bidang tersebut. Karena dengan mengenal kaidah inilah, derajat ketsiqahan seorang perawi dalam sanad bisa terdeteksi. Dimana hal ini sangat erat kaitannya dengan shahih dan tidaknya suatu hadits. Dan masuk dalam ranah penjagaan kemurnian agama yang diwariskan oleh nabi shallallahu 'alaihi wasallam baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau shallallahu 'alaihi wasallam.

Dan perlu juga untuk difahami serta dicermati dengan baik,  dahulu para muhadditsin (ahlul hadits), mereka bukanlah berjumlah sedikit. Jumlah mereka adalah bilangan yang sangat banyak. Namun bersamaan dengan itu, kita mendapati tidak semua para muhadditsin tersebut menjadi para ahli dalam bidang ini. Maka ini menunjukan, bahwa ranah ini adalah bukan ranah yang setiap dari kalangan ahlul hadits bisa berbicara dan turut berkecimpung didalamnya. Terlebih kalangan awwamnya.

Di sana, para ulama muhadditsin memberikan aturan-aturan, batasan-batasan, dan ketentuan-ketentuan yang sangat ketat dalam masalah ini. Hal tersebut adalah sesuatu yang sangat wajar, karena pada dasarnya ranah ini menyangkut harga diri dan kehormatan seorang muslim, yang apabila keliru dan tasahhul atau bermudah-mudah dalam hal ini, bisa mengarah kepada ghibah muharramah, mafsadah, dan kerusakan. Dan pada asalnya harga diri, kehormatan, harta, dan darah seorang muslim adalah terjaga, lebih mulya dari ka'bah kiblatul muslimin, dan lebih berharga dari dunia dan seisinya. Oleh karena di antara sebab inilah, tidak semua ahlul hadits berani berbicara dalam bidang ini.

Maka diterapkanlah kaidah-kaidah dan ketentuan tersebut, sebagaimana kita ketahui bersama dalam berbagai kitab-kitab para ahlul hadits yang berkenaan dengan masail Al-Jarh dan At-Ta'dil.

Sahabat fillah…
Dan kepada kita sebagai para pemula dalam ilmu musthalah, dalam buku kecil yang kita pelajari bersama ini, asy-syaikh rahimahullah memberikan sedikit gambaran global tentang kaidah-kaidah penting yang berkenaan dengan ranah Al-Jarh dan At-Ta'dil.  Yang tentunya apa yang beliau sampaikan tersebut adalah sesuatu yang sangat bermanfaat bagi kita, dan kelak akan sangat membantu kita dalam memahami kaidah-kadiah ini pada jenjang buku berikutnya, insya Allah.

Berkata asy-syaikh rahimahullah :

الجَرْحُ وَالتَّعْدِيْلُ

AL-JARH DAN AT-TA'DIL.

Pada pertemuan kali ini yang akan kita uraikan bersama, kemungkinan akan kita fokuskan pada masail seputar "Al-Jarh". Adapun uraian "At-Ta'dil", untuk pertemuan selanjutnya insya Allah. (Pent)

الجَرْحُ
أ_ تَعْرِيْفُهُ، ب_ أَقْسَامُهُ، ج_ مَرَاتِبُهُ، د_ شُرُوْطُ قَبُوْلِهِ

Al-Jarh.
A). Definisi Al-Jarh.
B). Pembagian Al-Jarh.
C). Jenjang Al-Jarh.
D). Syarat-Syarat Diterimanya Al-Jarh.

*****

A). Definisi Al-Jarh.

أ_ الجَرْحُ هُوَ
أَنْ يُذْكَرَ الرَّاوِيُّ بِمَا يُوْجِبُ رَدَّ رِوَايَتِهِ مِنْ إِثْبَاتِ صِفَةِ رَدٍّ، أَوْ نَفْيِ صِفَةِ قَبُوْلٍ، مِثْلُ أَنْ يُقَالَ: هُوَ كَذَّابٌ، أَوْ فَاسِقٌ، أَوْ ضَعِيْفٌ، أَوْ لَيْسَ بِثِقَةٍ، أَوْ لَا يُعْتَبَرُ، أَوْ لَا يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ

Al-Jarh yaitu :
Seorang perawi disebutkan dengan sesuatu, yang sesuatu tersebut mengharuskan tertolak riwayatnya, baik (sesuatu tersebut _pent) berupa "penetapan sifat tertolak", atau "penafian sifat diterimanya". Seperti dikatakan: ia seorang kadzdzab/pendusta, atau fasiq, atau dha'if/lemah, atau bukan seorang yang tsiqah/terpercaya, atau bukan seorang yang mu'tabar/terakui, atau ia tidak ditulis haditsnya.  

*****

B). Pembagian Al-Jarh.

ب_ وَيَنْقَسِمُ الجَرْحُ إِلَى قِسْمَيْنِ: مُطْلَقٌ وَمُقَيَّدٌ

Dan Al-Jarh terbagi menjadi 2 (dua) bagian: Muthlaq dan Muqayyad.

1_ فَالْمُطْلَقُ: أَنْ يُذْكَرَ الرَّاوِيُّ بِالْجَرْحِ بِدُوْنِ تَقْيِيْدٍ، فَيَكُوْنُ قَادِحاً فِيْهِ بِكُلِّ حَالٍ

1_ Adapun Muthlaq yaitu :
Seorang perawi disebutkan dengan "suatu Jarh tanpa adanya keterkaitan". Sehingga Jarh tersebut mencemarkan sang perawi dalam segala keadaan.

Tambahan penjelasan (pent).

Sebagai contoh pada kalimat :

(Fulan adalah seorang perawi yang "dha'if".)

Lafazh "dha'if" pada kalimat di atas adalah lafazh Jarh yang bersifat Muthlaq. Tidak ada Taqyid/keterkaitan pada lafazh Jarh tersebut dengan sesuatu apapun. Tidak dikatakan padanya, bahwa ia adalah seorang perawi yang dha'if dengan Taqyid: "apabila meriwayatkan dari penduduk Hijaz atau Makkah atau Syam dan yang semisalnya". Sehingga sang perawi dihukumi dha'if secara muthlaq, baik meriwayatkan dari penduduk Hijaz, atau Makkah, atau Syam, dan yang semisalnya.

Berbeda halnya apabila terdapat Taqyid padanya. Sebagaimana dijelaskan oleh asy-syaikh rahimahullah :

2_ وَالْمُقَيَّدُ: أَنْ يُذْكَرَ الرَّاوِيُّ بِالْجَرْحِ بِالنِّسْبَةِ لِشَيْءٍ مُعَيَّنٍ مِنْ شَيْخٍ، أَوْ طَائِفَةٍ، أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ؛ فَيَكُوْنُ قَادِحاً فِيْهِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى ذَلِكَ الشَّيْءِ المُعَيَّنِ دُوْنَ غَيْرِهِ

2_ Adapun Muqayyad yaitu :
Seorang perawi disebutkan dengan suatu Jarh dari sisi karena sesuatu tertentu. Baik berupa karena syaikh, atau karena kelompok, atau yang semisalnya. Sehingga Jarh tersebut mencemari sang perawi dari sisi sesuatu tertentu tersebut, tidak pada selainnya.

مِثَالُهُ : قَوْلُ ابْنِ حَجَرَ فِيْ "التَّقْرِيْبِ" فِيْ زَيْدِ بْنِ الحُبَابِ - وَقَدْ رَوَى عَنْهُ مُسْلِمٌ -: صَدُوْقٌ يُخْطِئُ فِيْ حَدِيْثِ الثَّوْرِيْ؛ فَيَكُوْنُ ضَعِيْفاً فِيْ حَدِيْثِهِ عَنِ الثَّوْرِيِّ دُوْنَ غَيْرِهِ

Contohnya :
Perkataan Ibnu Hajar rahimahullah sebagaimana dalam "At-Taqrib" tentang seorang perawi yang bernama Zaid Ibnu Hubab rahimahullah - (perlu diketahui, bahwa imam Muslim rahimahullah meriwayatkan darinya) - :

"Ia adalah seorang perawi yang shaduq/jujur akan tetapi terjadi kesalahan pada haditsnya dari Ats-Tsauri rahimahullah."

Sehingga, jadilah Zaid Ibnu Hubab rahimahullah sebagai seorang perawi yang dha'if pada haditsnya dari Ats-Tsauri rahimahullahu, tidak dari selainnya.

وَقَوْلُ صَاحِبِ "الخُلَاصَةِ" فِيْ إِسْمَاعِيْلِ بْنِ عَيَّاشٍ: وَثَّقَهُ أَحْمَدُ، وَابْنُ مَعِيْنٍ، وَالبُخَارِيُّ فِيْ أَهْلِ الشَّامِ. وَضَعَّفُوْهُ فِيْ الحِجَازِيِيْنَ؛ فَيَكُوْنُ ضَعِيْفاً فِيْ حَدِيْثِهِ عَنِ الحِجَازِيِّيْنَ دُوْنَ أَهْلِ الشَّامِ

Demikian juga perkataan shahib kitab "Al-Khulashah" tentang Isma'il Ibnu 'Ayyasy rahimahullah :

"Imam Ahmad, Ibnu Ma'in, dan Al-Bukhari Allahu yarhamuhum menyatakan bahwa ia adalah seorang yang tsiqah apabila meriwayatkan dari penduduk Syam. Dan mereka menyatakan ia adalah seorang yang dha'if apabila meriwayatkan dari penduduk Hijaz."

Sehingga, jadilah Isma'il Ibnu 'Ayyasy rahimahullah sebagai seorang perawi yang dha'if pada haditsnya dari penduduk Hijaz, tidak dari penduduk Syam. 

وَمِثْلُ ذَلِكَ إِذَا قِيْلَ: هُوَ ضَعِيْفٌ فِيْ أَحَادِيْثِ الصِّفَاتِ –مَثَلاً- فَلَا يَكُوْنُ ضَعِيْفاً فِيْ رِوَايَةِ غَيْرِهَا

Dan yang semisal itu, apabila dikatakan: "dia adalah seorang yang dha'if pada hadits-hadits tentang sifat" -sebagai perumpamaan-, maka ia bukan seorang yang dha'if pada riwayat selain hal tersebut.

لَكِنْ إِذَا كَانَ الْمَقْصُوْدُ بِتَقْيِيْدِ الْجَرْحِ دَفْعَ دَعْوَى تَوْثِيْقِهِ فِيْ ذَلِكَ الْمُقَيَّدِ، لَمْ يَمْنَعْ أَنْ يَكُوْنَ ضَعِيْفاً فِيْ غِيْرِهِ أِيْضاً

Akan tetapi apabila yang diinginkan dari Taqyid pada suatu Jarh adalah menepis sangkaan pentsiqahan terhadapnya pada Taqyid tersebut, maka tidak menutup kemungkinan, ia juga dha'if pada selain Taqyid tersebut.

Suatu contoh (pent) :

Apabila Fulan adalah seorang yang disifati dengan sifat Dha'if yang Muthlaq. Kemudian datang Alan bertanya: "apakah Fulan adalah perawi yang tsiqah apabila meriwayatkan dari penduduk Syam?

Maka dijelaskan kepada Alan, bahwa riwayat Fulan dari penduduk Syam adalah dha'if.  

Maka Taqyid yang menepis sangkaan pentsiqahan Alan terhadap Fulan pada Taqyid tersebut, tidak menutup kemungkinan, Fulan juga dha'if pada selain Taqyid tersebut. (Pusing ya…? Sama)

*****

C). Jenjang Al-Jarh.

ج_ وَلِلْجَرْحِ مَرَاتِبُ

Dan Al-Jarh itu memiliki tingkatan-tingkatan.

* أَعْلَاهَا: مَا دَلَّ عَلَى بُلُوْغِ الْغَايَةِ فِيْهِ مِثْلُ: أَكْذَبِ النَّاسِ، أَوْ رُكْنِ الْكَذِبِ

* Tingkatan paling atasnya adalah: sesuatu yang menunjukan sampai pada puncak dalam Al-Jarh, seperti lafazh: "manusia paling pendusta", atau "bagian dari dusta".  

* ثُمَّ مَا دَلَّ عَلَى الْمُبَالَغَةِ، مِثْلُ: كَذَّابٌ، وَوَضَّاعٌ، وَدَجَّالٌ

* Kemudian sesuatu yang menunjukan makna mubalaghah (melangit/mendalam), seperti lafazh: "Kadzdzab/sangat pendusta" atau "Wadhdha'/sangat pemalsu" atau "Dajjal" (semakna dengan Kadzdzab _pent). 

* وَأَسْهَلُهَا لَيِّنٌ، أَوْ سَيِّئُ الْحِفْظِ، أَوْ فِيْهِ مَقَالٌ

Dan yang paling ringannya adalah seperti lafazh: "lembek" atau "ia seorang yang buruk hafalannya" atau "ia seorang yang dipermasalahkan

وَبَيْنَ ذَلِكَ مَرَاتِبُ مَعْلُوْمَةٌ

Dan di antara hal tersebut ada tingkatan-tingkatan yang ma'lum (kita ketahui bersama, yakni tidak hanya terbatas pada tiga tingkatan tersebut _pent).

*****

D). Syarat-Syarat Diterimanya Al-Jarh.

د_ وَيُشْتَرَطُ لِقَبُوْلِ الْجَرْحِ شُرُوْطٌ خَمْسَةٌ

Dan syarat diterimanya sebuah Al-Jarh adalah tatkala terpenuhi padanya syarat yang lima :

1_ أَنْ يَكُوْنَ مِنْ عَدْلٍ؛ فَلَا يُقْبَلُ مِنْ فَاسِقٍ

Pertama.
Jarh tersebut datang dari seorang yang 'ADL; tidak diterima sebuah Jarh apabila datang dari seorang yang fasiq.

2_ أَنْ يَكُوْنَ مِنْ مُتَيَقِّظٍ؛ فَلَا يُقْبَلُ مِنْ مُغَفَّلٍ

Kedua.
Jarh tersebut datang dari seorang yang "Mutayaqqizh"; tidak diterima sebuah Jarh apabila datang dari seorang yang "Mughaffal".

Tambahan penjelasan (pent).

"Al-Mutayaqqizh" yaitu seorang yang memiliki "Tam Dhabth". Adapun masail seputar "Tam Adh-Dhabth" telah kita uraikan bersama pada PERTEMUAN KELIMA. Dimana disinggung padanya bahwa di antara tanda seorang yang memilik "Tam Adh-Dhabth" adalah seorang yang "Mutayaqqizh".

الحِفظُ وَالتَّيَقُّظُ الخَالِي فِي الغَالِبِ مِنَ السَّهْوِ وَالشَّكِ وَالغَفْلَةِ لِماَ فِي الصَّدْرِ وَالكِتَابِ حَالَتَيْ التَّحَمُّلِ وَالأَدَاءِ

Penjagaan (yakni: seorang yang hafizh) dan perhatian (yakni: seorang yang mutayaqqizh) terhadap apa yang di dalam dada (yakni hafalan) dan kitab (yakni tulisan) yang secara umum selamat dari kelengahan, keraguan, dan kelalaian baik tatkala mendengarkan maupun menyampaikan. (Syarh Baiquniyyah Ar-Razihi fashl Shahih Li Dzatih)

Adapun "MUGHAFFAL" adalah lawan dari "HAFIZH" dan "MUTAYAQQIZH", yakni tidak memiliki penjagaan dan perhatian. Sering lengah ragu dan lalai baik terhadap hafalannya maupun tulisannya, baik tatkala mendengarkan maupun menyampaikan.

* Sampean masuk golongan yang mana gus? (Saia gak nuduh, cuma gak yakin ajja kalo sampean masuk golongan "Mutayaqqizh", hee… Hayoo ngakuu? Kalau ia, berarti kita senasib gus.)*


3_ أَنْ يَكُوْنَ مِنْ عَارِفٍ بِأَسْبَابِهِ؛ فَلَا يُقْبَلُ مِمَّنْ لَا يَعْرِفُ الْقَوَادِحَ

Ketiga.
Jarh tersebut datang dari seorang yang memiliki ma'rifah (baca: pengetahuan) terhadap sebab-sebab sebuah Jarh; tidak diterima sebuah Jarh yang datang dari seorang yang tidak mengetahui (sebab-sebab) yang mencacati.   

4_ أَنْ يُبَيِّنَ سَبَبَ الْجَرْحِ؛ فَلَا يُقْبَلُ الْجَرْحُ الْمُبْهَمُ، مِثْلُ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى قَوْلِهِ: ضَعِيْفٌ، أَوْ يُرَدُّ حَدِيْثُهُ، حَتَّى يُبَيِّنَ سَبَبَ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يُجَرِّحُهُ بِسَبَبٍ لَا يَقْتَضِي الْجَرْحَ، هَذَا هُوَ الْمَشْهُوْرُ

Keempat.
Seorang yang men-Jarh menjelaskan sebab-sebab Jarhnya. Tidak diterima sebuah Jarh yang bersifat Mubham (tanpa penjelasan _pent). Seperti hanya mencukupkan dengan mengatakan: "dha'if", atau "tertolak haditsnya", (hal tersebut tidak diterima _pent) hingga sang pen-Jarh menjelaskan sebabnya.

Karena sungguh bisa jadi ia men-Jarhnya dengan suatu sebab yang tidak mengharuskan Jarh (yakni Jarhnya tidak teranggap _pent). Dan ini yang masyhur/sering terjadi.   

وَاخْتَارَ ابْنُ حَجَرَ - رَحِمَهُ اللهُ - قَبُوْلَ الْجَرْحِ الْمُبْهَمِ إِلَّا فِيْمَنْ عُلِمَتْ عَدَالَتُهُ، فَلَا يُقْبَلُ جَرْحُهُ إِلَّا بِبَيَانِ السَّبَبِ. وَهَذَا هُوَ الْقَوْلُ الرَّاجِحُ لَا سِيَمَا إِذَا كَانَ الْجَارِحُ مِنْ أَئِمَّةِ هَذَا الشَّأْنِ

Dan imam Ibnu Hajar rahimahullah memilih pendapat bahwa Jarh yang Mubham adalah diterima, terkecuali pada seorang yang diketahui  'ADL-nya. Maka tidak diterima Jarhnya terkecuali menjelaskan sebabnya. Dan ini adalah pendapat yang rajih, terkhusus apabila sang pen-Jarh adalah dari kalangan imam dalam bidang ini.

5_ أَنْ لَا يَكُوْنَ وَاقِعاً عَلَى مَنْ تَوَاتَرَتْ عَدَالَتُهُ، وَاشْتَهَرَتْ إِمَامَتُهُ. كَنَافِعٍ، وَشُعْبَةَ، وَمَالِكٍ، وَالْبُخَارِيِّ، فَلَا يُقْبَلُ الْجَرْحُ فِيْ هَؤُلَاءِ وَأَمْثَالِهِمْ

Kelima.
Jarh tersebut tidak tertuju pada sosok yang 'ADL-nya mutawatir dan masyhur keimamahannya. Seperti: Nafi maula Ibnu 'Umar, Syu'bah Ibnul Hajjaj, Malik Ibnu Anas imam Darul Hijrah, dan Al-Bukhari. Maka tidak diterima sebuah Jarh yang tertuju kepada mereka atau yang semisal mereka. Allahu yarhamuhumul jami'.

Gimana mas, mudah difahami apa tidak?
Malu bertanya? Malah saia seneng enggak menghadapi pertanyaan.
O iya, mohon perhatian juga!!! Faidahnya jangan disalah gunakan ya…

Baarakallahu fikum wa waffaqanallahu wa iyakum ila tafaqquhi fid din.



Ditulis oleh :
Rabu, 09 - Dzul Hijjah - 1436 H / 23 - 09 - 2015 M



0 komentar:

Posting Komentar

Mubaarok Al-Atsary. Diberdayakan oleh Blogger.