PERTEMUAN : KE - DUA PULUH ENAM
BUKU : MUSTHALAH AL HADITS
PENGARANG : IBNU ‘UTSAIMIN
RAHIMAHULLAH
___________
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"AL-JARH
DAN AT-TA'DIL (AL-JARH)"
Sahabat fillah…
Kaidah
Al-Jarh dan At-Ta'dil dalam mabahis (pembahasan) seputar ilmu rijal (berkaitan
dengan perawi) dalam ilmu Musthalah Al-Hadits adalah termasuk inti dan kategori
terpenting dalam bidang tersebut. Karena dengan mengenal kaidah inilah, derajat
ketsiqahan seorang perawi dalam sanad bisa terdeteksi. Dimana hal ini sangat
erat kaitannya dengan shahih dan tidaknya suatu hadits. Dan masuk dalam ranah
penjagaan kemurnian agama yang diwariskan oleh nabi
shallallahu 'alaihi wasallam baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir,
maupun sifat beliau shallallahu 'alaihi wasallam.
Dan
perlu juga untuk difahami serta dicermati dengan baik, dahulu para muhadditsin (ahlul hadits), mereka
bukanlah berjumlah sedikit. Jumlah mereka adalah bilangan yang sangat banyak.
Namun bersamaan dengan itu, kita mendapati tidak semua para muhadditsin
tersebut menjadi para ahli dalam bidang ini. Maka ini menunjukan, bahwa ranah
ini adalah bukan ranah yang setiap dari kalangan ahlul hadits bisa berbicara
dan turut berkecimpung didalamnya. Terlebih kalangan awwamnya.
Di
sana, para ulama muhadditsin memberikan aturan-aturan, batasan-batasan, dan
ketentuan-ketentuan yang sangat ketat dalam masalah ini. Hal tersebut adalah
sesuatu yang sangat wajar, karena pada dasarnya ranah ini menyangkut harga diri
dan kehormatan seorang muslim, yang apabila keliru dan tasahhul atau
bermudah-mudah dalam hal ini, bisa mengarah kepada ghibah muharramah, mafsadah,
dan kerusakan. Dan pada asalnya harga diri, kehormatan, harta, dan darah
seorang muslim adalah terjaga, lebih mulya dari ka'bah kiblatul muslimin, dan
lebih berharga dari dunia dan seisinya. Oleh karena di antara sebab inilah,
tidak semua ahlul hadits berani berbicara dalam bidang ini.
Maka
diterapkanlah kaidah-kaidah dan ketentuan tersebut, sebagaimana kita ketahui
bersama dalam berbagai kitab-kitab para ahlul hadits yang berkenaan dengan
masail Al-Jarh dan At-Ta'dil.
Sahabat fillah…
Dan kepada
kita sebagai para pemula dalam ilmu musthalah, dalam buku kecil
yang kita pelajari bersama ini, asy-syaikh
rahimahullah memberikan sedikit gambaran global tentang
kaidah-kaidah penting yang berkenaan dengan ranah Al-Jarh dan At-Ta'dil. Yang tentunya apa yang beliau sampaikan
tersebut adalah sesuatu yang sangat bermanfaat bagi kita, dan kelak akan sangat
membantu kita dalam memahami kaidah-kadiah ini pada jenjang buku berikutnya,
insya Allah.
Berkata
asy-syaikh rahimahullah :
الجَرْحُ وَالتَّعْدِيْلُ
AL-JARH DAN
AT-TA'DIL.
Pada pertemuan kali ini yang akan
kita uraikan bersama, kemungkinan akan kita fokuskan pada masail seputar "Al-Jarh".
Adapun uraian "At-Ta'dil", untuk pertemuan selanjutnya
insya Allah. (Pent)
الجَرْحُ
أ_ تَعْرِيْفُهُ، ب_ أَقْسَامُهُ، ج_ مَرَاتِبُهُ، د_ شُرُوْطُ قَبُوْلِهِ
Al-Jarh.
A). Definisi Al-Jarh.
B).
Pembagian Al-Jarh.
C).
Jenjang Al-Jarh.
D).
Syarat-Syarat Diterimanya Al-Jarh.
*****
A). Definisi Al-Jarh.
أ_ الجَرْحُ هُوَ
أَنْ يُذْكَرَ الرَّاوِيُّ بِمَا يُوْجِبُ رَدَّ رِوَايَتِهِ مِنْ إِثْبَاتِ
صِفَةِ رَدٍّ، أَوْ نَفْيِ صِفَةِ قَبُوْلٍ، مِثْلُ أَنْ يُقَالَ: هُوَ كَذَّابٌ،
أَوْ فَاسِقٌ، أَوْ ضَعِيْفٌ، أَوْ لَيْسَ بِثِقَةٍ، أَوْ لَا يُعْتَبَرُ، أَوْ لَا
يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ
Al-Jarh yaitu :
Seorang perawi disebutkan dengan
sesuatu, yang sesuatu tersebut mengharuskan tertolak riwayatnya, baik (sesuatu
tersebut _pent) berupa "penetapan
sifat tertolak", atau "penafian sifat diterimanya".
Seperti dikatakan: ia seorang kadzdzab/pendusta, atau fasiq, atau dha'if/lemah,
atau bukan seorang yang tsiqah/terpercaya, atau bukan seorang yang mu'tabar/terakui,
atau ia tidak ditulis haditsnya.
*****
B). Pembagian Al-Jarh.
ب_ وَيَنْقَسِمُ الجَرْحُ إِلَى قِسْمَيْنِ: مُطْلَقٌ وَمُقَيَّدٌ
Dan Al-Jarh terbagi menjadi 2 (dua) bagian:
Muthlaq dan Muqayyad.
1_ فَالْمُطْلَقُ: أَنْ يُذْكَرَ الرَّاوِيُّ بِالْجَرْحِ بِدُوْنِ تَقْيِيْدٍ،
فَيَكُوْنُ قَادِحاً فِيْهِ بِكُلِّ حَالٍ
1_ Adapun Muthlaq yaitu :
Seorang perawi disebutkan dengan "suatu
Jarh tanpa adanya keterkaitan". Sehingga Jarh tersebut mencemarkan
sang perawi dalam segala keadaan.
Tambahan penjelasan (pent).
Sebagai contoh pada kalimat :
(Fulan adalah seorang perawi yang "dha'if".)
Lafazh "dha'if"
pada kalimat di atas adalah lafazh Jarh yang bersifat Muthlaq. Tidak ada Taqyid/keterkaitan
pada lafazh Jarh tersebut dengan sesuatu apapun. Tidak dikatakan padanya, bahwa
ia adalah seorang perawi yang dha'if dengan Taqyid: "apabila
meriwayatkan dari penduduk Hijaz atau Makkah atau Syam dan yang
semisalnya". Sehingga sang perawi dihukumi dha'if secara muthlaq,
baik meriwayatkan dari penduduk Hijaz, atau Makkah, atau Syam, dan yang
semisalnya.
Berbeda halnya apabila terdapat
Taqyid padanya. Sebagaimana dijelaskan oleh asy-syaikh
rahimahullah :
2_ وَالْمُقَيَّدُ: أَنْ يُذْكَرَ الرَّاوِيُّ بِالْجَرْحِ بِالنِّسْبَةِ
لِشَيْءٍ مُعَيَّنٍ مِنْ شَيْخٍ، أَوْ طَائِفَةٍ، أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ؛ فَيَكُوْنُ
قَادِحاً فِيْهِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى ذَلِكَ الشَّيْءِ المُعَيَّنِ دُوْنَ غَيْرِهِ
2_ Adapun Muqayyad yaitu :
Seorang perawi disebutkan dengan
suatu Jarh dari sisi karena sesuatu tertentu. Baik berupa karena syaikh, atau
karena kelompok, atau yang semisalnya. Sehingga Jarh tersebut mencemari sang
perawi dari sisi sesuatu tertentu tersebut, tidak pada selainnya.
مِثَالُهُ : قَوْلُ ابْنِ حَجَرَ فِيْ "التَّقْرِيْبِ" فِيْ
زَيْدِ بْنِ الحُبَابِ - وَقَدْ رَوَى عَنْهُ مُسْلِمٌ -: صَدُوْقٌ يُخْطِئُ فِيْ
حَدِيْثِ الثَّوْرِيْ؛ فَيَكُوْنُ ضَعِيْفاً فِيْ حَدِيْثِهِ عَنِ الثَّوْرِيِّ دُوْنَ
غَيْرِهِ
Contohnya :
Perkataan Ibnu Hajar rahimahullah sebagaimana dalam
"At-Taqrib" tentang seorang perawi yang bernama Zaid Ibnu Hubab rahimahullah - (perlu
diketahui, bahwa imam Muslim rahimahullah
meriwayatkan darinya) - :
"Ia adalah seorang perawi yang
shaduq/jujur akan tetapi terjadi kesalahan pada haditsnya dari Ats-Tsauri rahimahullah."
Sehingga, jadilah Zaid Ibnu Hubab rahimahullah sebagai seorang
perawi yang dha'if pada haditsnya dari Ats-Tsauri
rahimahullahu, tidak dari selainnya.
وَقَوْلُ صَاحِبِ "الخُلَاصَةِ" فِيْ إِسْمَاعِيْلِ بْنِ عَيَّاشٍ:
وَثَّقَهُ أَحْمَدُ، وَابْنُ مَعِيْنٍ، وَالبُخَارِيُّ فِيْ أَهْلِ الشَّامِ. وَضَعَّفُوْهُ
فِيْ الحِجَازِيِيْنَ؛ فَيَكُوْنُ ضَعِيْفاً فِيْ حَدِيْثِهِ عَنِ الحِجَازِيِّيْنَ
دُوْنَ أَهْلِ الشَّامِ
Demikian juga perkataan shahib kitab
"Al-Khulashah" tentang Isma'il Ibnu
'Ayyasy rahimahullah :
"Imam Ahmad, Ibnu
Ma'in, dan Al-Bukhari Allahu yarhamuhum
menyatakan bahwa ia adalah seorang yang tsiqah apabila meriwayatkan dari
penduduk Syam. Dan mereka menyatakan ia adalah seorang yang dha'if apabila
meriwayatkan dari penduduk Hijaz."
Sehingga, jadilah Isma'il Ibnu 'Ayyasy rahimahullah sebagai seorang
perawi yang dha'if pada haditsnya dari penduduk Hijaz, tidak dari penduduk
Syam.
وَمِثْلُ ذَلِكَ إِذَا قِيْلَ: هُوَ ضَعِيْفٌ فِيْ أَحَادِيْثِ الصِّفَاتِ
–مَثَلاً- فَلَا يَكُوْنُ ضَعِيْفاً فِيْ رِوَايَةِ غَيْرِهَا
Dan yang semisal itu, apabila dikatakan:
"dia adalah seorang yang dha'if pada hadits-hadits tentang sifat"
-sebagai perumpamaan-, maka ia bukan seorang yang dha'if pada riwayat selain
hal tersebut.
لَكِنْ إِذَا كَانَ الْمَقْصُوْدُ بِتَقْيِيْدِ الْجَرْحِ دَفْعَ دَعْوَى
تَوْثِيْقِهِ فِيْ ذَلِكَ الْمُقَيَّدِ، لَمْ يَمْنَعْ أَنْ يَكُوْنَ ضَعِيْفاً فِيْ
غِيْرِهِ أِيْضاً
Akan tetapi apabila yang diinginkan
dari Taqyid pada suatu Jarh adalah menepis sangkaan pentsiqahan terhadapnya
pada Taqyid tersebut, maka tidak menutup kemungkinan, ia juga dha'if pada
selain Taqyid tersebut.
Suatu contoh (pent) :
Apabila Fulan adalah seorang yang
disifati dengan sifat Dha'if yang Muthlaq. Kemudian datang Alan bertanya:
"apakah Fulan adalah perawi yang tsiqah apabila meriwayatkan dari penduduk
Syam?
Maka dijelaskan kepada Alan, bahwa
riwayat Fulan dari penduduk Syam adalah dha'if.
Maka Taqyid yang menepis sangkaan
pentsiqahan Alan terhadap Fulan pada Taqyid tersebut, tidak menutup
kemungkinan, Fulan juga dha'if pada selain Taqyid tersebut. (Pusing ya…? Sama)
*****
C). Jenjang Al-Jarh.
ج_ وَلِلْجَرْحِ مَرَاتِبُ
Dan Al-Jarh itu memiliki
tingkatan-tingkatan.
* أَعْلَاهَا: مَا دَلَّ عَلَى بُلُوْغِ الْغَايَةِ فِيْهِ مِثْلُ: أَكْذَبِ
النَّاسِ، أَوْ رُكْنِ الْكَذِبِ
* Tingkatan
paling atasnya adalah: sesuatu yang menunjukan sampai pada puncak dalam
Al-Jarh, seperti lafazh: "manusia paling pendusta",
atau "bagian dari dusta".
* ثُمَّ مَا دَلَّ عَلَى الْمُبَالَغَةِ، مِثْلُ: كَذَّابٌ، وَوَضَّاعٌ،
وَدَجَّالٌ
* Kemudian
sesuatu yang menunjukan makna mubalaghah (melangit/mendalam), seperti lafazh:
"Kadzdzab/sangat pendusta" atau "Wadhdha'/sangat
pemalsu" atau "Dajjal" (semakna dengan
Kadzdzab _pent).
* وَأَسْهَلُهَا لَيِّنٌ، أَوْ سَيِّئُ الْحِفْظِ، أَوْ فِيْهِ مَقَالٌ
Dan yang paling ringannya adalah
seperti lafazh: "lembek" atau "ia seorang
yang buruk hafalannya" atau "ia seorang yang dipermasalahkan"
وَبَيْنَ ذَلِكَ مَرَاتِبُ مَعْلُوْمَةٌ
Dan di antara hal tersebut ada
tingkatan-tingkatan yang ma'lum (kita ketahui bersama, yakni tidak hanya
terbatas pada tiga tingkatan tersebut _pent).
*****
D). Syarat-Syarat Diterimanya Al-Jarh.
د_ وَيُشْتَرَطُ لِقَبُوْلِ الْجَرْحِ شُرُوْطٌ خَمْسَةٌ
Dan syarat diterimanya sebuah
Al-Jarh adalah tatkala terpenuhi padanya syarat yang lima :
1_ أَنْ يَكُوْنَ مِنْ عَدْلٍ؛ فَلَا يُقْبَلُ مِنْ فَاسِقٍ
Pertama.
Jarh tersebut datang dari seorang
yang 'ADL; tidak diterima sebuah Jarh apabila datang dari seorang
yang fasiq.
2_ أَنْ يَكُوْنَ مِنْ مُتَيَقِّظٍ؛ فَلَا يُقْبَلُ مِنْ مُغَفَّلٍ
Kedua.
Jarh tersebut datang dari seorang
yang "Mutayaqqizh"; tidak diterima sebuah Jarh apabila
datang dari seorang yang "Mughaffal".
Tambahan penjelasan (pent).
"Al-Mutayaqqizh"
yaitu seorang yang memiliki "Tam Dhabth". Adapun masail
seputar "Tam Adh-Dhabth" telah kita uraikan bersama pada
PERTEMUAN KELIMA. Dimana disinggung padanya bahwa di antara tanda seorang yang
memilik "Tam Adh-Dhabth" adalah seorang yang "Mutayaqqizh".
الحِفظُ وَالتَّيَقُّظُ الخَالِي
فِي الغَالِبِ مِنَ السَّهْوِ وَالشَّكِ وَالغَفْلَةِ لِماَ فِي الصَّدْرِ
وَالكِتَابِ حَالَتَيْ التَّحَمُّلِ وَالأَدَاءِ
Penjagaan (yakni: seorang yang hafizh) dan perhatian (yakni: seorang
yang mutayaqqizh) terhadap apa yang di dalam dada (yakni hafalan) dan kitab
(yakni tulisan) yang secara umum selamat dari kelengahan, keraguan, dan
kelalaian baik tatkala mendengarkan maupun menyampaikan. (Syarh Baiquniyyah
Ar-Razihi fashl Shahih Li Dzatih)
Adapun "MUGHAFFAL"
adalah lawan dari "HAFIZH" dan "MUTAYAQQIZH",
yakni tidak memiliki penjagaan dan perhatian. Sering lengah ragu dan lalai baik
terhadap hafalannya maupun tulisannya, baik tatkala mendengarkan maupun
menyampaikan.
* Sampean masuk golongan yang mana gus? (Saia gak nuduh, cuma
gak yakin ajja kalo sampean masuk golongan "Mutayaqqizh", hee… Hayoo ngakuu? Kalau ia, berarti kita senasib gus.)*
3_ أَنْ يَكُوْنَ مِنْ عَارِفٍ بِأَسْبَابِهِ؛ فَلَا يُقْبَلُ مِمَّنْ لَا
يَعْرِفُ الْقَوَادِحَ
Ketiga.
Jarh tersebut datang dari seorang
yang memiliki ma'rifah (baca: pengetahuan) terhadap sebab-sebab sebuah Jarh;
tidak diterima sebuah Jarh yang datang dari seorang yang tidak mengetahui
(sebab-sebab) yang mencacati.
4_ أَنْ يُبَيِّنَ سَبَبَ الْجَرْحِ؛ فَلَا يُقْبَلُ الْجَرْحُ الْمُبْهَمُ،
مِثْلُ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى قَوْلِهِ: ضَعِيْفٌ، أَوْ يُرَدُّ حَدِيْثُهُ، حَتَّى
يُبَيِّنَ سَبَبَ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يُجَرِّحُهُ بِسَبَبٍ لَا يَقْتَضِي الْجَرْحَ،
هَذَا هُوَ الْمَشْهُوْرُ
Keempat.
Seorang yang men-Jarh menjelaskan
sebab-sebab Jarhnya. Tidak diterima sebuah Jarh yang bersifat Mubham (tanpa
penjelasan _pent). Seperti hanya mencukupkan
dengan mengatakan: "dha'if", atau "tertolak haditsnya",
(hal tersebut tidak diterima _pent) hingga sang
pen-Jarh menjelaskan sebabnya.
Karena sungguh bisa jadi ia
men-Jarhnya dengan suatu sebab yang tidak mengharuskan Jarh (yakni Jarhnya
tidak teranggap _pent). Dan ini yang
masyhur/sering terjadi.
وَاخْتَارَ ابْنُ حَجَرَ - رَحِمَهُ اللهُ - قَبُوْلَ الْجَرْحِ الْمُبْهَمِ
إِلَّا فِيْمَنْ عُلِمَتْ عَدَالَتُهُ، فَلَا يُقْبَلُ جَرْحُهُ إِلَّا بِبَيَانِ
السَّبَبِ. وَهَذَا هُوَ الْقَوْلُ الرَّاجِحُ لَا سِيَمَا إِذَا كَانَ الْجَارِحُ
مِنْ أَئِمَّةِ هَذَا الشَّأْنِ
Dan imam Ibnu
Hajar rahimahullah memilih pendapat bahwa Jarh yang Mubham adalah
diterima, terkecuali pada seorang yang diketahui 'ADL-nya. Maka tidak diterima Jarhnya
terkecuali menjelaskan sebabnya. Dan ini adalah pendapat yang rajih, terkhusus
apabila sang pen-Jarh adalah dari kalangan imam dalam bidang ini.
5_ أَنْ لَا يَكُوْنَ وَاقِعاً عَلَى مَنْ تَوَاتَرَتْ عَدَالَتُهُ، وَاشْتَهَرَتْ
إِمَامَتُهُ. كَنَافِعٍ، وَشُعْبَةَ، وَمَالِكٍ، وَالْبُخَارِيِّ، فَلَا يُقْبَلُ
الْجَرْحُ فِيْ هَؤُلَاءِ وَأَمْثَالِهِمْ
Kelima.
Jarh
tersebut tidak tertuju pada sosok yang 'ADL-nya mutawatir dan masyhur
keimamahannya. Seperti: Nafi maula Ibnu 'Umar,
Syu'bah Ibnul Hajjaj, Malik Ibnu Anas imam Darul Hijrah, dan Al-Bukhari. Maka tidak diterima sebuah Jarh
yang tertuju kepada mereka atau yang semisal mereka. Allahu yarhamuhumul jami'.
Gimana
mas, mudah difahami apa tidak?
Malu
bertanya? Malah saia seneng enggak menghadapi pertanyaan.
O
iya, mohon perhatian juga!!! Faidahnya jangan disalah gunakan ya…
Baarakallahu
fikum wa waffaqanallahu wa iyakum ila tafaqquhi fid din.
Ditulis
oleh :
Rabu, 09 - Dzul Hijjah - 1436 H / 23 - 09 - 2015 M
0 komentar:
Posting Komentar