PERTEMUAN : KE-DUA PULUH TIGA
BUKU : MUSTHALAH AL-HADITS
PENGARANG : IBNU 'UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
__________
بِسْمِ اللهِ الرَّحمَنِ الرَّحِيْمِ
"RIWAYATUL HADITS BIL MAKNA"
Para
pembaca dan para pengunjung sekalian yang Allah mulyakan.
Alhamdulillah,
segala pujian dan pengagungan hanya bagi Allah semata. Yang atas izin
dari-Nyalah kita dimudahkan memasuki pada pertemuan ke-23 (dua puluh tiga)
dalam kajian kitab yang indah dan sederhana ini.
Yang insya
Allah, kemungkinan besar empat atau lima pertemuan lagi, kita akan menuntaskan
bagian pertama dari kitab ini. Kemudian berlanjut memasuki bagian kedua. Semoga
Allah senantiasa memudahkan dan semoga senantiasa bernilai pahala di sisi-Nya.
Amin…
Kemudian, insya
Allah yang akan kita perhatikan bersama pada kesempatan ini, adalah
permasalahan seputar "meriwayatkan suatu hadits secara makna, bukan
dengan lafazh atau teks sebagaimana seorang perawi mengambil dan mendengar dari
gurunya". Dimana hal ini dikenal dalam istilah musthalah sebagai
"Riwayatul Hadits Bil Makna".
Berkata asy-syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah :
رِوَايَةُ الْحَدِيْثِ بِالْمَعْنَى
أ_ تَعْرِيْفُهَا، ب_ حُكْمُهَا
Riwayatul
Hadits Bil Makna mencakup :
A). Definisi Riwayatul Hadits Bil Makna.
B). Hukum Riwayatul Hadits Bil Makna.
__________
A). Definisi Riwayatul Hadits
Bil Makna.
أ_ رِوَايَةُ الْحَدِيْثِ بِالْمَعْنَى
نَقْلُهُ بِلَفْظٍ غَيْرِ لَفْظِ المَرْوِيِّ عَنْهُ
Riwayatul
Hadits Bil Makna yaitu :
Menukil suatu
hadits dengan lafazh yang bukan lafazh asal periwayatan hadits tersebut.
B). Hukum Riwayatul Hadits Bil
Makna.
ب_ وَلَا تَجُوْزُ إِلَّا بِشُرُوْطٍ ثَلَاثَةٍ
Tidak
diperbolehkan meriwayatkan suatu hadits secara makna, terkecuali dengan tiga
syarat.
1_ أَنْ
تَكُوْنَ مِنْ عَارِفٍ بِمَعْنَاهُ: مِنْ حَيْث اللُّغَةِ، وَمِنْ حَيْث مُرَادِ
المَرْوِيِّ عَنْهُ
Syarat pertama.
Riwayatul
Hadits Bil Makna tersebut dilakukan oleh seorang yang memiliki pengetahuan akan
makna hadits tersebut: dari sisi bahasa, dan dari sisi yang diinginkan oleh
lafazh asal periwayatan hadits tersebut.
2_ أَنْ
تَدْعُوَ الضَّرُوْرَةُ إِلَيْهَا، بِأَنْ يَكُوْنَ الرَّاوِيُّ نَاسِياً لِلَفْظِ
الْحَدِيْثِ حَافِظاً لِمَعْنَاهُ. فَإِنْ كَانَ ذَاكِراً لِلَفْظِهِ لَمْ يَجُزْ
تَغْيِيْرُهُ، إِلَّا أَنْ تَدْعُوَ الحَاجَةُ إِلَى إِفْهَامِ المُخَاطَبِ بِلُغَتِهِ
Syarat kedua.
Keadaan
dharurat mengharuskan ia melakukan hal tersebut. Semisal dikarenakan sang
perawi lupa terhadap lafazh haditsnya, akan tetapi ia hafal secara makna.
Apabila ia mengingat lafazhnya, maka tidak boleh merubahnya (meriwayatkan
secara makna _pent). Terkecuali karena adanya
kebutuhan yang mendesak, semisal untuk memahamkan lawan bicara dengan
bahasanya.
3_ أَنْ
لَا يَكُوْنَ اللَّفْظُ مُتَعَبِّداً بِهِ: كَأَلْفَاظِ الْأَذْكَارِ وَنَحْوِهَا
Syarat ketiga.
Lafazh hadits
tersebut bukan suatu lafazh yang kita beribadah dengannya. Seperti
lafazh-lafazh dzikir dan yang semisalnya.
وَإِذَا رَوَاهُ بِالْمَعْنَى فَلْيَأْتِ بِمَا يُشْعَرُ بِذَلِكَ، فَيَقُوْلُ
عَقْبَ الحَدِيْثِ: أَوْ كَمَا قَالَ، أَوْ نَحْوُهُ
Apabila meriwayatkan
suatu hadits secara makna, hendaknya mendatangkan dengan cara yang diketahui
bahwa ia meriwayatkan secara makna. Dengan mengatakan di akhir hadits : "أَوْ كَمَا قَالَ" (atau sebagaimana disabdakan oleh nabi shallallahu 'alaihi wasallam), atau yang
semisalnya.
Sebagai contoh.
كَمَا فِيْ حَدِيْثِ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِيْ قِصَّةِ الأَعْرَابِيِّ
الَّذِيْ بَالَ فِيْ المَسْجِدِ قَاَلَ: ثُمَّ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ: "إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ
لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا البَوْلِ وَلَا القَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ
وَجَلَّ، وَالصَّلَاةِ، وَقِرَاءَةِ القُرْآنِ"، أَوْ كَمَا قَالَ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Sebagaimana
dalam hadits Anas radhiallahu 'anhu,
tentang kisah seorang badui yang menunaikan hajat kecil di masjid nabi.
Shahabat Anas radhiallahu 'anhu
berkata: kemudian rasul Allah shallallahu
'alaihi wasallam memanggilnya, lalu bersabda kepadanya:
"Sesungguhnya
masjid ini tidak layak untuk sesuatu dari hajat kecil ini dan juga tidak layak
untuk hajat besar. Akan tetapi masjid adalah untuk berdzikir kepada Allah,
untuk shalat, dan membaca Al-Qur'an."
Kemudian di
akhir hadits mengatakan (pent):
"Atau sebagaimana disabdakan oleh nabi shallallahu 'alaihi wasallam".
وَكَمَا فِيْ حَدِيْثِ مُعَاوِيَةَ بْنِ الحَكَمِ - وَقَدْ تَكَلَّمَ
فِيْ الصَّلَاةِ لَا يَدْرِيْ - فَلَمَّا صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ: "إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيْهَا شَيْءٌ
مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيْحُ، وَالتَّكْبِيْرُ، وَقِرَاءَةُ
الْقُرْآنِ"، أَوْ كَمَا قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Juga
sebagaimana dalam hadits Mu'awiyah Ibnul Hakam
radhiallahu 'anhu -dimana beliau berbicara dalam shalat, dalam
keadaan beliau tidak mengetahui larangannya-. Maka tatkala nabi shallallahu 'alaihi wasallam
menyelesaikan shalatnya, beliau bersabda kepadanya :
Sesungguhnya
shalat ini tidak dibenarkan sedikitpun di dalamnya dari ucapan manusia. Akan
tetapi ia adalah tasbih, takbir, dan membaca Al-Qur'an.
Kemudian di
akhir hadits mengatakan (pent):
"Atau sebagaimana disabdakan oleh nabi shallallahu 'alaihi wasallam".
Wallahu
a'lam bish-shawab.
Ditulis oleh :
Ahad, 13 - 09 - 2015 M
0 komentar:
Posting Komentar