KESIMPULAN SEPULUH PERTEMUAN KEDUA (BAGIAN KEDUA)
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
PERTEMUAN KE-DUA BELAS.
"AL-MUSALSAL"
A).
Definisi Al-Musalsal.
·
Yaitu: Sesuatu
yang para perawi bersepakat didalamnya pada satu hal. Pada sesuatu yang
berkaitan dengan perawi atau periwayatan.
B). Faidah Al-Musalsal.
·
Penjelasan
tentang Dhabth-nya perawi dalam pengambilan sebagian mereka dari sebagian yang
lainnya, dan perhatian masing-masing perawi dengan mengikuti perawi yang
sebelumnya.
PERTEMUAN KE-TIGA BELAS.
"PENGAMBILAN
HADITS"
A). Definisi
Pengambilan Hadits.
·
Yaitu: pengambilan
suatu hadits dari seseorang yang ia menyampaikan hadits tersebut darinya.
B). Syarat Pengambilan
Hadits Ada 3 (Tiga) :
Pertama.
·
At-Tamyiz,
yaitu: mampu memahami percakapan dan mampu menjawabnya dengan benar, dan
kebanyakan hal tersebut terjadi pada sempurnanya usia tujuh tahun.
Kedua.
·
Al-'Aql. Maka
tidak shahih penghafalan dari seorang yang majnun dan yang kurang sempurna
fikirannya.
Ketiga.
·
Selamat dari
berbagai penghalang. Maka tidak shahih pengambilan yang beriringan dengan
beratnya rasa kantuk, atau banyaknya kegaduhan, atau banyaknya kesibukan.
C). Bentuk
Pengambilan Hadits.
Dan
bentuk-bentuk Pengambilan Hadits itu ada banyak, diantaranya:
·
1).
Mendengarkan lafazh syaikhnya. Dan yang paling tinggi adalah yang berbentuk
dikte.
·
2).
Membacakan terhadap syaikhnya. Dan ini dinamakan Al-'Ardh.
·
3).
Al-Ijazah, yaitu: seorang syaikh memberikan izin untuk meriwayatkan darinya. Sama
saja baik mengizinkan terhadapnya secara lafazh maupun secara tertulis.
PERTEMUAN KE-EMPAT BELAS.
"PENYAMPAIAN
HADITS"
A).
Definisi Penyampaian Hadits.
·
Yaitu:
menyampaikan suatu hadits kepada yang lainnya.
B). Syarat-Syarat
Penyampaian Hadits.
Pertama.
·
Al-'Aql.
Maka tidak diterima penyampaian hadits dari seorang yang majnun, atau kurang
fikirannya, tidak pula dari seorang yang hilang tamyiznya karena lanjut usia,
atau karena selainnnya.
Kedua.
·
Al-Baligh.
Maka tidak diterima penyampaian hadits dari seorang anak kecil. Ada juga yang
berpendapat: diterimanya penyampaian hadits dari anak yang menjelang baligh
yang bisa dipercaya.
Ketiga.
·
Al-Islam.
Maka tidak diterima penyampaian hadits dari seorang yang kafir. Walaupun ia
mengambil dalam keadaan muslim.
Keempat.
·
'Adil.
Maka tidak diterima penyampaian hadits dari seorang yang fasiq. Walaupun ia
mengambil dalam keadaan 'Adil.
Kelima.
·
Selamat dari
berbagai penghalang. Maka tidak diterima penyampaian hadits yang beriringan dengan
beratnya rasa kantuk, atau dengan sesuatu yang menyibukkan fikirannya.
C).
Konteks Penyampaian Hadits.
·
Yaitu: Suatu
konteks yang disampaikannya sebuah hadits dengan konteks tersebut. Dan
Konteks-konteks tersebut berjenjang-jenjang:
Pertama.
·
Apabila ia
mendengar hanya seorang diri dari syaikhnya, maka konteks yang digunakan adalah
lafazh "سمعت" (aku mendengar) dan lafazh "حدثني" (telah menceritakan kepadaku).
·
Dan apabila
bersama orang lain, maka ia berkata: "سمعنا" (kami mendengar) dan "حدثنا" (telah menceritakan kepada kami).
Kedua.
·
Apabila ia
membacakan kepada syaikh, maka konteks yang digunakan adalah lafazh "قرأت عليه"
(aku membacakan kepadanya), dan lafazh "أخبرني
قراءةً عليه"
(telah mengkhabarkan kepadaku dengan qiraah kepadanya), dan lafazh "أخبرني"
(telah mengkhabarkan kepadaku).
Ketiga.
·
Apabila
dibacakan kepada syaikh dan ia mendengar, maka konteks yang digunakan adalah
lafazh "قرأ عليه وأنا
أسمع" (dibacakan kepada syaikh dan aku
mendengar), dan lafazh "قرانا عليه" (kami membacakan kepada syaikh), dan
lafazh "أخبرنا" (telah mengkhabarkan kepada kami).
Keempat.
·
Apabila ia
meriwayatkan dari syaikh melalui Ijazah, maka konteks yang digunakan adalah:
lafazh "أخبرني إجازة" (telah mengkhabarkan kepadaku melalui
Ijazah) dan lafazh "حدثني إجازة" (telah menceritakan kepadaku melalui
Ijazah) dan lafazh "أنبأني" (mengkhabarkan kepadaku) dan lafazh
"عن فلان"
(dari fulan).
PERTEMUAN KE-LIMA BELAS.
"PENulisan
HADITS"
A).
Definisi Penulisan Hadits.
·
Yaitu: menukil hadits dengan cara menulisnya.
B).
Hukum Penulisan Hadits.
(Pertama
_pent).
·
Asal hukum
penulisan hadits adalah boleh. Karena penulisan hadits merupakan wasilah
(perantara).
(Kedua
_pent).
·
Apabila pada
penulisan hadits terdapat sesuatu yang dikhawatirkan secara syar'i, maka
penulisan tersebut tidak diperbolehkan.
(Ketiga
_pent)
·
Apabila
penjagaan sunnah dan penyampaian syariat islam terhenti (baca: mengharuskan)
pada penulisan hadits, maka penulisan hadits adalah wajib.
PERTEMUAN KE-ENAM BELAS.
"SHIFAT
PENULISAN HADITS (1)"
Wajib
memberikan perhatian terhadap 'penulisan hadits' sebagaimana penukilan hadits
melalui jalur pelafazhan (yakni: yang dilafazhkan oleh syaikh _pent).
Dan pada metode
'penulisan hadits' ada dua shifat: ada yang shifatnya 'wajib' dan ada yang
shifatnya 'dianjurkan'.
Yang wajib
adalah:
·
Hendaknya suatu
hadits ditulis dengan tulisan yang terang dan jelas, tidak terjadi kejanggalan
dan kesamaran.
Dan yang
dianjurkan adalah:
·
1).
Apabila bertemu dengan penyebutan nama Allah, maka ditulis setelahnya kata
"تعالى",
atau "عز وجل", atau "سبحانه", atau selainnya berupa kalimat-kalimat
pujian yang jelas tanpa rumus (diringkas _pent).
·
Dan apabila
bertemu dengan penyebutan Rasul Allah
shallallahu 'alaihi wasallam, maka ditulis setelahnya kata
"shallallahu 'alaihi wasallam" atau "'alaihi ash-shalatu wa
as-salam" dengan jelas tanpa rumus (diringkas _pent).
·
Apabila bertemu
dengan penyebutan shahabat nabi, maka ditulis setelahnya kata "radhiallahu
'anhu".
·
Apabila bertemu
dengan penyebutan tabi'in dan yang setelahnya yang berhak mendapatkan do'a,
maka ditulis setelahnya kata "rahimahullah".
·
2).
Hendaknya memberi sebuah isyarat yang terbedakan dengannya sebuah nash (kontek)
suatu hadits. Dengan menjadikan nash hadits di antara dua kurung ( ), atau di
antara dua segi empat [ ], atau di antara dua bintang * *, atau yang semisal
itu. Agar nash hadits tidak tercampur dengan selainnya sehingga tersamarkan.
·
3).
Memperhatikan kaidah-kaidah yang disertakan dalam memperbaiki kesalahan:
·
4).
Hendaknya tidak memisah antara dua kalimat ke dalam dua garis apabila pemisahan
kedua hal tersebut memberi sangkaan makna yang rusak.
PERTEMUAN KE-TUJUH BELAS.
"SHIFAT
PENULISAN HADITS (2)"
·
5).
Hendaknya meninggalkan perumusan (baca: peringkasan kata) kecuali rumus yang
masyhur dikalangan para muhadditsin, diantaranya:
·
Lafazh (ثنا)
atau (نا)
atau (دثنا),
lafazh tersebut adalah rumus dari kata (حدثنا), dan rumus tersebut dibaca (حدثنا).
·
Lafazh (أنا)
atau (أرنا)
atau (أبنا),
lafazh tersebut adalah rumus dari kata (أخبرنا), dan rumus tersebut dibaca (أخبرنا).
·
Huruf
(ق), huruf ini adalah rumus dari kata (قال), dan rumus tersebut dibaca (قال). Dan yang sering, kata (قال) dihapus tanpa rumus, akan tetapi kata tersebut tetap diucapkan
tatkala membaca.
·
Huruf (ح),
huruf ini adalah rumus untuk perpindahan
dari satu sanad ke sanad yang lain apabila suatu hadits memiliki lebih dari
satu sanad, sama saja apakah perpindahan tersebut ketika di akhir sanad atau
dipertengahannya, dan rumus tersebut diucapkan sebagaimana bentuknya yakni
diucapkan: (HA).
PERTEMUAN :
KE-DELAPAN BELAS
"PEMBUKUAN
HADITS"
Hadits nabi shallallahu 'alaihi wasallam di masa
beliau dan di masa khulafa rasyidin yang empat tidaklah terbukukan sebagaimana
di zaman setelahnya.
Kemudian
pada masa Khilafah 'Umar Ibnu 'Abdil 'Aziz
rahimahullahu, beliau merasa khawatir dengan hilangnya hadits nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka
beliaupun menulis perintah kepada Qadhi beliau Abu
Bakr Ibnu Muhammad Ibnu 'Amr Ibnu Hazm rahimahullah di Madinah untuk
menulisnya.
Dan beliau juga
menulis perintah tersebut ke seluruh penjuru negeri, kemudian beliau
memerintahkan Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhri
rahimahullah untuk menghimpunnya.
Orang
yang pertama kali meng-klasifikasikan hadits adalah imam Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhri, dengan perintah
dari amirul mukminin 'Umar Ibnu 'Abdil 'Aziz
Allahu yarhamhuma. Dan hal tersebut terjadi pada penghujung tahun ke
seratus hijriyah. Kemudian manusia mengikuti metode tersebut, dan beraneka
ragam dalam peng-klasifikasian hadits.
PERTEMUAN :
KE-SEMBILAN BELAS
"METODE
PENG-KLASIFIKASIAN HADITS"
Metode
peng-klasifikasian hadits ada dua bentuk:
Pertama.
·
Peng-klasifikasian
Ushul.
Ini adalah
metode peng-klasifikasian yang suatu hadits disandarkan dari penulisnya hingga
akhir sanad. Dan ini memiliki beberapa metode, diantaranya:
·
Satu.
Peng-klasifikasian
berdasarkan juz. Dengan menjadikan juz khusus tersendiri untuk masing-masing
bab dari bab-bab ilmu. Menjadikan juz khusus untuk bab shalat. Dan juz khusus
untuk bab zakat. Demikian seterusnya. Disebutkan, bahwa ini adalah metode imam Az-Zuhri dan orang-orang yang sezaman
dengan beliau rahimahumullahu.
·
Dua.
Peng-klasifikasian
berdasarkan bab. Dengan menjadikan lebih dari satu bab dalam satu juz. Kemudian
ditertibkan di atas berbagai permasalahan; seperti tertib pada bab-bab fiqh,
atau selainnya. Seperti metode imam Al-Bukhari
dan imam Muslim dan para pemilik
kitab Sunan rahimahumullahu.
·
Tiga.
Peng-klasifikasian
berdasarkan musnad. Dengan mengumpulkan hadits-hadits masing-masing shahabat
pada satu tempat tersendiri. Maka disebutkan pada musnad Abu Bakr radhiallahu 'anhu seluruh riwayat
dari Abu Bakr radhiallahu 'anhu. Dan
pada musnad 'Umar radhiallahu 'anhu
seluruh riwayat dari 'Umar radhiallahu 'anhu.
Demikian seterusnya. Seperti metode imam Ahmad
pada musnad beliau rahimahullahu.
Kedua.
·
Peng-klasifikasian
Furu' (cabang).
Ini adalah
metode peng-klasifikasian yang para penulis hadits menukil dari
sumber-sumbernya, dengan menisbatkan kepada sumber tersebut tanpa sanad. Dan
ini juga memiliki beberapa metode, diantaranya:
·
Satu.
Peng-klasifikasian
berdasarkan bab. Seperti: "Bulughul Maram" karya Ibnu Hajar Al-'Asqalani, dan "Umdatul
Ahkam" karya 'Abdul Ghani Al-Maqdisi Allahu
yarhamhuma.
·
Dua.
Peng-klasifikasian berdasarkan tertib huruf. Seperti:
"Al-Jami' Ash-Shaghir" karya imam
As-Suyuthi rahimahullahu.
Wallahu
a'lam bish-shawab. Wa baarakallahu fikum.
Akhukum fillah :
Senin, 30 - Rabi'ul Awal - 1437 H / 11 - 01 - 2016 M
Baca Juga :
--------------------------
0 komentar:
Posting Komentar