Translate

Senin, 11 Januari 2016

20). Kesimpulan Sepuluh Pertemuan Kedua Bag-2.



KESIMPULAN SEPULUH PERTEMUAN KEDUA (BAGIAN KEDUA)


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


PERTEMUAN KE-DUA BELAS.

"AL-MUSALSAL"

A). Definisi Al-Musalsal.

·        Yaitu: Sesuatu yang para perawi bersepakat didalamnya pada satu hal. Pada sesuatu yang berkaitan dengan perawi atau periwayatan.

B). Faidah Al-Musalsal.

·        Penjelasan tentang Dhabth-nya perawi dalam pengambilan sebagian mereka dari sebagian yang lainnya, dan perhatian masing-masing perawi dengan mengikuti perawi yang sebelumnya. 


PERTEMUAN KE-TIGA BELAS.

"PENGAMBILAN HADITS"

A). Definisi Pengambilan Hadits.

·        Yaitu: pengambilan suatu hadits dari seseorang yang ia menyampaikan hadits tersebut darinya.

B). Syarat Pengambilan Hadits Ada 3 (Tiga) :

Pertama.
·        At-Tamyiz, yaitu: mampu memahami percakapan dan mampu menjawabnya dengan benar, dan kebanyakan hal tersebut terjadi pada sempurnanya usia tujuh tahun.

Kedua.
·        Al-'Aql. Maka tidak shahih penghafalan dari seorang yang majnun dan yang kurang sempurna fikirannya.

Ketiga.
·        Selamat dari berbagai penghalang. Maka tidak shahih pengambilan yang beriringan dengan beratnya rasa kantuk, atau banyaknya kegaduhan, atau banyaknya kesibukan.

C). Bentuk Pengambilan Hadits.

Dan bentuk-bentuk Pengambilan Hadits itu ada banyak, diantaranya:

·        1). Mendengarkan lafazh syaikhnya. Dan yang paling tinggi adalah yang berbentuk dikte.

·        2). Membacakan terhadap syaikhnya. Dan ini dinamakan Al-'Ardh.

·        3). Al-Ijazah, yaitu: seorang syaikh memberikan izin untuk meriwayatkan darinya. Sama saja baik mengizinkan terhadapnya secara lafazh maupun secara tertulis.


PERTEMUAN KE-EMPAT BELAS.

"PENYAMPAIAN HADITS"

A). Definisi Penyampaian Hadits.

·        Yaitu: menyampaikan suatu hadits kepada yang lainnya.

B). Syarat-Syarat Penyampaian Hadits.

Pertama.
·        Al-'Aql. Maka tidak diterima penyampaian hadits dari seorang yang majnun, atau kurang fikirannya, tidak pula dari seorang yang hilang tamyiznya karena lanjut usia, atau karena selainnnya.

Kedua.
·        Al-Baligh. Maka tidak diterima penyampaian hadits dari seorang anak kecil. Ada juga yang berpendapat: diterimanya penyampaian hadits dari anak yang menjelang baligh yang bisa dipercaya.

Ketiga.
·        Al-Islam. Maka tidak diterima penyampaian hadits dari seorang yang kafir. Walaupun ia mengambil dalam keadaan muslim.  

Keempat.
·        'Adil. Maka tidak diterima penyampaian hadits dari seorang yang fasiq. Walaupun ia mengambil dalam keadaan 'Adil.  

Kelima.
·        Selamat dari berbagai penghalang. Maka tidak diterima penyampaian hadits yang beriringan dengan beratnya rasa kantuk, atau dengan sesuatu yang menyibukkan fikirannya. 

C). Konteks Penyampaian Hadits.

·        Yaitu: Suatu konteks yang disampaikannya sebuah hadits dengan konteks tersebut. Dan Konteks-konteks tersebut berjenjang-jenjang:

Pertama.
·        Apabila ia mendengar hanya seorang diri dari syaikhnya, maka konteks yang digunakan adalah lafazh "سمعت" (aku mendengar) dan lafazh "حدثني" (telah menceritakan kepadaku).

·        Dan apabila bersama orang lain, maka ia berkata: "سمعنا" (kami mendengar) dan "حدثنا" (telah menceritakan kepada kami).

Kedua.
·        Apabila ia membacakan kepada syaikh, maka konteks yang digunakan adalah lafazh "قرأت عليه" (aku membacakan kepadanya), dan lafazh "أخبرني قراءةً عليه" (telah mengkhabarkan kepadaku dengan qiraah kepadanya), dan lafazh "أخبرني" (telah mengkhabarkan kepadaku).

Ketiga.
·        Apabila dibacakan kepada syaikh dan ia mendengar, maka konteks yang digunakan adalah lafazh "قرأ عليه وأنا أسمع" (dibacakan kepada syaikh dan aku mendengar), dan lafazh "قرانا عليه" (kami membacakan kepada syaikh), dan lafazh "أخبرنا" (telah mengkhabarkan kepada kami).

Keempat.
·        Apabila ia meriwayatkan dari syaikh melalui Ijazah, maka konteks yang digunakan adalah: lafazh "أخبرني إجازة" (telah mengkhabarkan kepadaku melalui Ijazah) dan lafazh "حدثني إجازة" (telah menceritakan kepadaku melalui Ijazah) dan lafazh "أنبأني" (mengkhabarkan kepadaku) dan lafazh "عن فلان" (dari fulan).


PERTEMUAN KE-LIMA BELAS.

"PENulisan HADITS"

A). Definisi Penulisan Hadits.

·        Yaitu: menukil hadits dengan cara menulisnya.

B). Hukum Penulisan Hadits.

(Pertama _pent).
·        Asal hukum penulisan hadits adalah boleh. Karena penulisan hadits merupakan wasilah (perantara).

(Kedua _pent).
·        Apabila pada penulisan hadits terdapat sesuatu yang dikhawatirkan secara syar'i, maka penulisan tersebut tidak diperbolehkan.

(Ketiga _pent)
·        Apabila penjagaan sunnah dan penyampaian syariat islam terhenti (baca: mengharuskan) pada penulisan hadits, maka penulisan hadits adalah wajib.


PERTEMUAN KE-ENAM BELAS.

"SHIFAT PENULISAN HADITS (1)"

Wajib memberikan perhatian terhadap 'penulisan hadits' sebagaimana penukilan hadits melalui jalur pelafazhan (yakni: yang dilafazhkan oleh syaikh _pent).

Dan pada metode 'penulisan hadits' ada dua shifat: ada yang shifatnya 'wajib' dan ada yang shifatnya 'dianjurkan'.

Yang wajib adalah:

·        Hendaknya suatu hadits ditulis dengan tulisan yang terang dan jelas, tidak terjadi kejanggalan dan kesamaran.

Dan yang dianjurkan adalah:

·        1). Apabila bertemu dengan penyebutan nama Allah, maka ditulis setelahnya kata "تعالى", atau "عز وجل", atau "سبحانه", atau selainnya berupa kalimat-kalimat pujian yang jelas tanpa rumus (diringkas _pent).

·        Dan apabila bertemu dengan penyebutan Rasul Allah shallallahu 'alaihi wasallam, maka ditulis setelahnya kata "shallallahu 'alaihi wasallam" atau "'alaihi ash-shalatu wa as-salam" dengan jelas tanpa rumus (diringkas _pent).

·        Apabila bertemu dengan penyebutan shahabat nabi, maka ditulis setelahnya kata "radhiallahu 'anhu".

·        Apabila bertemu dengan penyebutan tabi'in dan yang setelahnya yang berhak mendapatkan do'a, maka ditulis setelahnya kata "rahimahullah".

·        2). Hendaknya memberi sebuah isyarat yang terbedakan dengannya sebuah nash (kontek) suatu hadits. Dengan menjadikan nash hadits di antara dua kurung ( ), atau di antara dua segi empat [ ], atau di antara dua bintang * *, atau yang semisal itu. Agar nash hadits tidak tercampur dengan selainnya sehingga tersamarkan.

·        3). Memperhatikan kaidah-kaidah yang disertakan dalam memperbaiki kesalahan:

·        4). Hendaknya tidak memisah antara dua kalimat ke dalam dua garis apabila pemisahan kedua hal tersebut memberi sangkaan makna yang rusak.


PERTEMUAN KE-TUJUH BELAS.

"SHIFAT PENULISAN HADITS (2)"

·        5). Hendaknya meninggalkan perumusan (baca: peringkasan kata) kecuali rumus yang masyhur dikalangan para muhadditsin, diantaranya:

·        Lafazh (ثنا) atau (نا) atau (دثنا), lafazh tersebut adalah rumus dari kata (حدثنا), dan rumus tersebut dibaca (حدثنا).

·        Lafazh (أنا) atau (أرنا) atau (أبنا), lafazh tersebut adalah rumus dari kata (أخبرنا), dan rumus tersebut dibaca (أخبرنا).

·        Huruf (ق), huruf ini adalah rumus dari kata (قال), dan rumus tersebut dibaca (قال). Dan yang sering, kata (قال) dihapus tanpa rumus, akan tetapi kata tersebut tetap diucapkan tatkala membaca.

·        Huruf (ح), huruf  ini adalah rumus untuk perpindahan dari satu sanad ke sanad yang lain apabila suatu hadits memiliki lebih dari satu sanad, sama saja apakah perpindahan tersebut ketika di akhir sanad atau dipertengahannya, dan rumus tersebut diucapkan sebagaimana bentuknya yakni diucapkan: (HA). 


PERTEMUAN : KE-DELAPAN BELAS

"PEMBUKUAN HADITS"

Hadits nabi shallallahu 'alaihi wasallam di masa beliau dan di masa khulafa rasyidin yang empat tidaklah terbukukan sebagaimana di zaman setelahnya.

Kemudian pada masa Khilafah 'Umar Ibnu 'Abdil 'Aziz rahimahullahu, beliau merasa khawatir dengan hilangnya hadits nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliaupun menulis perintah kepada Qadhi beliau Abu Bakr Ibnu Muhammad Ibnu 'Amr Ibnu Hazm rahimahullah di Madinah untuk menulisnya.

Dan beliau juga menulis perintah tersebut ke seluruh penjuru negeri, kemudian beliau memerintahkan Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhri rahimahullah untuk menghimpunnya.

Orang yang pertama kali meng-klasifikasikan hadits adalah imam Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhri, dengan perintah dari amirul mukminin 'Umar Ibnu 'Abdil 'Aziz Allahu yarhamhuma. Dan hal tersebut terjadi pada penghujung tahun ke seratus hijriyah. Kemudian manusia mengikuti metode tersebut, dan beraneka ragam dalam peng-klasifikasian hadits.


PERTEMUAN : KE-SEMBILAN BELAS

"METODE PENG-KLASIFIKASIAN HADITS"

Metode peng-klasifikasian hadits ada dua bentuk:

Pertama.
·        Peng-klasifikasian Ushul.
Ini adalah metode peng-klasifikasian yang suatu hadits disandarkan dari penulisnya hingga akhir sanad. Dan ini memiliki beberapa metode, diantaranya:

·        Satu.
Peng-klasifikasian berdasarkan juz. Dengan menjadikan juz khusus tersendiri untuk masing-masing bab dari bab-bab ilmu. Menjadikan juz khusus untuk bab shalat. Dan juz khusus untuk bab zakat. Demikian seterusnya. Disebutkan, bahwa ini adalah metode imam Az-Zuhri dan orang-orang yang sezaman dengan beliau rahimahumullahu.

·        Dua.
Peng-klasifikasian berdasarkan bab. Dengan menjadikan lebih dari satu bab dalam satu juz. Kemudian ditertibkan di atas berbagai permasalahan; seperti tertib pada bab-bab fiqh, atau selainnya. Seperti metode imam Al-Bukhari dan imam Muslim dan para pemilik kitab Sunan rahimahumullahu.

·        Tiga.
Peng-klasifikasian berdasarkan musnad. Dengan mengumpulkan hadits-hadits masing-masing shahabat pada satu tempat tersendiri. Maka disebutkan pada musnad Abu Bakr radhiallahu 'anhu seluruh riwayat dari Abu Bakr radhiallahu 'anhu. Dan pada musnad 'Umar radhiallahu 'anhu seluruh riwayat dari 'Umar radhiallahu 'anhu. Demikian seterusnya. Seperti metode imam Ahmad pada musnad beliau rahimahullahu.

Kedua.
·        Peng-klasifikasian Furu' (cabang).
Ini adalah metode peng-klasifikasian yang para penulis hadits menukil dari sumber-sumbernya, dengan menisbatkan kepada sumber tersebut tanpa sanad. Dan ini juga memiliki beberapa metode, diantaranya:

·        Satu.
Peng-klasifikasian berdasarkan bab. Seperti: "Bulughul Maram" karya Ibnu Hajar Al-'Asqalani, dan "Umdatul Ahkam" karya 'Abdul Ghani Al-Maqdisi Allahu yarhamhuma.

·        Dua.
Peng-klasifikasian berdasarkan tertib huruf. Seperti: "Al-Jami' Ash-Shaghir" karya imam As-Suyuthi rahimahullahu.

Wallahu a'lam bish-shawab. Wa baarakallahu fikum.

Akhukum fillah :
Senin, 30  - Rabi'ul Awal - 1437 H / 11 - 01 - 2016 M

                                                                                

Baca Juga :
--------------------------


0 komentar:

Posting Komentar

Mubaarok Al-Atsary. Diberdayakan oleh Blogger.